HRW: SKB Menteri terkait Gafatar diskriminatif

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

HRW: SKB Menteri terkait Gafatar diskriminatif

ANTARA FOTO

SKB Menteri juga dikhawatirkan membuka pintu lebar diskriminasi terhadap warga Gafatar.

JAKARTA, Indonesia— (UPDATED) Human Rights Watch Indonesia menyayangkan surat keputusan bersama (SKB) yang dikeluarkan oleh tiga menteri terkait Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Menurut peneliti HRW Andreas Harsono, pernyataan sesat bersifat diskriminatif, dan tidak adil pada minoritas. 

“SKB anti-Gafatar ini harus dicabut, sama dengan SKB anti-Ahmadiyah, karena mereka bertentangan dengan UUD 1945, yang menjamin kebebasan beragama, maupun berbagai kewajiban Indonesia dalam traktat internasional, International Covenant on Civil and Political Rights,” ujar Andreas pada Rappler, Minggu, 27 Maret. 

Pada 2015, Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional terkait Hak Sipil dan Politik (ICCPT), yang ada di pasal 18 poin 2 menyebutkan bahwa, “Tidak ada satupun warga negara yang dikenakan paksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk mengadopsi agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri.” 

Sedangkan di pasal 27 disebutkan bahwa, “Orang yang tergolong minoritas tidak seharusnya ditolak hak-haknya, di masyarakat atau kelompok mereka sendiri, untuk menganut dan menjalankan keyakinan agama mereka masing-masing.” 

Andreas menambahkan di UUD 1954, tidak ada kata sesat. 

Beberapa pasal di UUD 1945 dan Undang-undang tentang HAM terkait hak untuk memeluk kepercayaannya sendiri antara lain: 

SKB dinilai membuka ruang untuk diskriminasi 

Andreas menambahkan, “Format hukum dari SKB anti-Gafatar ini sama dgn SKB anti-Ahmadiyah tahun 2008. Kalau melihat pengalaman Ahmadiyah, saya khawatir, SKB ini akan membuka pintu lebar diskriminasi terhadap warga Gafatar, intimidasi dan mungkin juga kekerasan.” ujarnya. 

Pada 9 Juni 2008, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Jaksa Agung Hendarman Supanji menandatangani Surat Keputusan Bersama yang mengatur minoritas muslim Ahmadiyah untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam, termasuk penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. 

Pelanggaran atas SKB ini dapat diancam penjara maksimal 5 tahun.

Tapi SKB ini diprotes baik oleh HRW maupun Setara Institute. HRW saat itu mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu untuk mencabut keputusan kementerian yang akan mengizinkan penuntutan pidana kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia karena keyakinan agama mereka. Baca kronologi desakannya di sini.

Bahkan setelah dua tahun diterbitkan, SKB anti-Ahmadiyah masih memicu tindak kekerasan yang diskriminatif, sehingga mendorong Setara Institute untuk mengeluarkan pernyataan keras, mirip seperti HRW. 

Berdasarkan catatan lembaga ini, pada tahun 2008, dari 367 tindakan pelanggaran kebebasan beragama, 238 di antaranya menyasar warga Ahmadiyah. Sedangkan sepanjang tahun 2009, tercatat 33 tindakan kekerasan terhadap warga Ahmadiyah.

Menurut peneliti Setara Institute, Ismail Hasani, keberadaan SKB ini juga telah menjadi legitimasi berbagai keputusan pemerintah daerah untuk melakukan kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah. Selain itu, Ismail menilai kekerasan terhadap Ahmadiyah terjadi karena pemerintah daerah sering menggunakan Ahmadiyah sebagai kepentingan politik mereka. Baca laporan lengkap mereka di sini.

(BACA: Reinkarnasi Gafatar dari masa ke masa)

‘Pelarangan bertentangan dengan prinsip kebebasan’

Pengacara ternama, Todung Mulya Lubis, mengamini pernyataan Andreas. Dalam sebuah komentar yang diunggah di media sosial pada Sabtu, 26 Maret, Todung menyebut pelarangan terhadap aliran atau sekte tertentu jelas bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama.

“Saya hanya setuju jika agama tertentu dilarang jika mempromosikan tindak kekerasan. Tetapi, jika agama tertentu hanya merupakan penafsiran yang umum atau gabungan dari berbagai aliran agama, maka mengapa dilarang?,” kata Todung.  

“Kalau umatnya hidup damai dalam suatu kampung entah itu dengan bermetamorfosa menjadi semacam cult, sepanjang tidak mempropagandakan tindak kekerasan, saya kira mereka punya hak yang sah untuk hidup,” katanya lagi.

Menurut dia, pelarangan terhadap keberadaan Gafatar dan Ahmadiyah adalah tirani keagamaan. “Dalam zaman yang sudah berubah, apakah keliru kalau ada penafsiran yang mulai berubah?” tanya Todung.

Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah? 

 “Jadi negara tidak berhak memberikan label sesat pada iman apapun. Negara seharusnya melindungi kebebasan beragama, melindungi semua warga Indonesia, tanpa pandang iman,” ujar Andreas. 

Rappler berusaha meminta tanggapan pada juru bicara Gafatar Farah Meifira, namun panggilan ataupun pesan kami belum ia balas. 

Sebelumnya, Kejaksaan Agung mengumumkan SKB mengenai keberadaan organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) pada Kamis, 24 Maret 2016. SKB tersebut berisi perintah dan peringatan kepada mantan simpatisan Gafatar untuk menghentikan kegiatannya. 

Jaksa Muda Bidang Intelijen M Adi Togarisma mengatakan ada lima poin yang menjadi pokok dari keputusan ini. Pertama adalah pelarangan terhadap eks pengikut Gafatar untuk menceritakan dengan sengaja di muka umum tentang ajaran yang dianggap menyesatkan.

Kedua, menghentikan penyebaran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam. Ketiga, pemberian sanksi pidana berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 PnPs Tahun 1965. Bagi yang melanggar, akan dikenai hukuman penjara 5 tahun.

Dalam surat tersebut, Kejaksaan juga memerintahkan masyarakat menjaga kerukunan umat beragama. Masyarakat dilarang melakukan perbuatan yang melanggar hukum terhadap eks anggota Gafatar.

Yang terakhir, kejaksaan akan memberi sanksi kepada masyarakat yang tak mengindahkan larangan tersebut.

Prasetyo mengatakan SKB ini dibuat dengan pertimbangan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mengatakan Gafatar adalah organisasi yang sesat. Dikatakan sesat karena Gafatar merupakan metamorfosis dari Al-Qiyadah al-Islamiah, yang pernah dicap sebagai aliran sesat.

Surat keputusan itu ditandatangani Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Jaksa Agung HM Prasetyo. —Rappler.com

BACA JUGA

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!