Indonesia

Deja Vu Orde Baru

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kasus-kasus intoleransi di era Jokowi mengulang masa Orde Baru. Benarkah?

This compilation was migrated from our archives

Visit the archived version to read the full article.

JAKARTA, Indonesia — Bukan pertama kalinya pertunjukan seni bermuatan kritis dibubarkan paksa di Indonesia. Kasus terbaru, Forum Masyarakat Anti Komunis Bandung membubarkan secara paksa pentas seni monolog Tan Malaka di Institut Francaise D’Indonesie (IFI) Bandung, pada 23 Maret pekan lalu.

Padahal, pagelaran monolog berjudul Saya Rusa Berbulu Merah tersebut bertepatan dengan penyematan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Presiden pertama RI, Sukarno, menetapkan pemilik nama lengkap Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka itu sebagai pahlawan nasional pada 23 Maret 1963 silam, berdasarkan Keputusan Presiden No. tahun 1963.

Pembubaran monolog ini menimbulkan pertanyaan, apakah acara yang digagas keliru?  

Menurut Front Pembela Islam (FPI), alasan pelarangan acara itu karena Tan Malaka merupakan seorang tokoh komunis.

“Ini indikasi penyebaran, ada teater, itu kan hidupkan paham komunis. Itu sudah jelas munculnya komunisme gaya baru,” kata Ketua Bidang Hisbah FPI DPD Jawa Barat Dedi Subu kepada wartawan saat itu.

Kasus ini hanya satu di antara sekian banyak diskusi, pemutaran film, dan pertunjukan seni yang batal digelar dengan dalih tak mendapat izin. Topiknya beragam, mulai dari tragedi pembantaian massal 1965, kesetaraan gender, hingga hak asasi manusia.

Di bawah ini adalah daftar 9 insiden pelarangan acara yang bertemakan tragedi 1965 saja dalam setahun terakhir, yakni:

  1. Intimidasi terhadap pertemuan korban 1965 di Salatiga, Jawa Tengah, yang diselenggarakan pada 7-8 Agustus 2015. 
  2. Acara diskusi mengenai 1965 dan pemutaran film Senyap karya Joshua Oppenheimer di Yogyakarta. 
  3. Pertemuan korban atau penyintas 1965 oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan yang diintimidasi, didatangi, bahkan rumahnya digeledah, di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada Februari 2015.
  4. Pencekalan Tom Illyas, penyintas 1965 yang selama ini menjadi eksil di Eropa pada 11 Oktober 2015. 
  5. Pelarangan diskusi 1965 di Ubud Writers Readers Festival di Bali, akhir Oktober dan awal November 2015.
  6. Pelarangan pembacaan naskah drama 50 tahun memori 1965 di Taman Ismail Marzuki (TIM) oleh Kapolda Jakarta, pada Desember 2015. 
  7. Intimidasi dan interogasi aparat terhadap tim kecil riset dokumenter Peace Women Across the Globe (PWAG) Indonesia di Padang Pariaman pada 16 Februari 2016. 
  8. Pelarangan dan protes terhadap festival Belok Kiri yang seharusnya dilaksanakan di TIM pada 27 Februari – 5 Maret 2016, yang kemudian dipindahkan ke kantor LBH Jakarta dan tetap dijalankan sepanjang akhir pekan Maret 2016.
  9. Pelarangan pemutaran film Pulau Buru: Tanah Air Beta karya Rahung Nasution. Film itu seharusnya diputar di pusat kebudayaan Goethe Haus, tapi kemudian dipindah ke kantor Komnas HAM pada Maret 2016.

Jawa Timur paling rawan insiden intoleransi

TOLAK LGBT. Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Pembebasan berunjuk rasa di bawah jembatan layang, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (8/3). Dalam aksinya, mereka menolak keberadaan Lesbi Gay Biseksual Transgender (LGBT) karena dinilai membahayakan generasi muda serta dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat. Foto oleh Abriawan Abhe/Antara    

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) juga membuat laporan sepanjang 2015 tentang dugaan pelanggaran kebebasan berekspresi. 

ELSAM mencatat sebanyak 20 kasus pelanggaran yang berkaitan dengan peristiwa 1965; satu kasus pelarangan diskusi bertemakan lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, interseksual, dan aseksual (LGBTQIA); serta 14 kasus pembubaran demonstran.

Dari 20 pelanggaran kebebasan berekspresi terkait peristiwa 1965, pelarangan diskusi adalah yang banyak terjadi (7 kasus), diikuti dengan pembubaran paksa diskusi (6 kasus), penangkapan sewenang-wenang (6 kasus), serta intimidasi, pembredelan, dan deportasi sebanyak satu kasus. 

Jika dilihat dari sebaran wilayah dalam laporan ELSAM, daerah Jawa Timur merupakan provinsi yang paling banyak terjadi kasus pelanggaran kebebasan berekspresi dengan 8 kasus dari total 20.

Salah satu kasus yang terjadi di Jawa Timur, misalnya, pelarangan diskusi tentang lagu Genjer-Genjer di Banyuwangi oleh polisi. 

Di urutan kedua ditempati Jawa Tengah dengan 5 kasus, diikuti Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Sumatera Barat, dengan masing-masing dua kasus.

Di Bali juga terdapat satu kasus. Kasus di Bali berkaitan dengan pelarangan sesi diskusi tentang peristiwa 1965 yang diselenggarakan dalam rangkaian acara Ubud Writers and Readers Festival 2015.

Sedangkan kasus pelanggaran kebebasan berekspresi dalam bentuk pembubaran paksa demonstrasi paling banyak ditemukan di Jawa Barat dan DKI Jakarta yang masing-masing berjumlah 3 kasus. 

Adapun tiga dari 6 kasus di kedua wilayah tersebut menimpa kelompok buruh yang menolak Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.

Selain isu pengupahan, pembubaran demonstrasi juga terjadi dalam aksi unjuk rasa memperingati Hari Pembebasan Irian Barat oleh aliansi mahasiswa Papua pada Desember lalu di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat.

‘Tidak ada perubahan dalam setahun’

Sementara itu, peneliti Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, memaparkan data yang senada. Menurutnya, kasus pelanggaran kebebasan beragama meningkat dalam 10 tahun terakhir, atau pasca reformasi.

“Setahun belakangan tidak ada perbedaan, pelanggarannya mencapai 200 kasus, sama dengan tahun-tahun lainnya,” kata Bonar, merujuk pada masa kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang mulai menjabat sejak Oktober 2014.

Setara melihat pelanggaran salah satunya dipicu ketidaktegasan pemerintah pusat pada pemerintah lokal.

“Di tingkat lokal itu ada kecenderungan untuk mencari dukungan politik, contohnya polemik Gereja Santa Clara Bekasi,” ujarnya. 

(BACA: Sudah berizin, pembangunan Gereja Santa Clara Bekasi dihentikan)

Namun di era Jokowi, ia menilai di bidang agama masih lebih baik dibanding era sebelumnya.

“Karena dua menteri, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, memiliki komitmen atas kebhinekaan yang cukup dibanding menteri yang sama di era Susilo Bambang Yudhoyono,” kata Bonar. 

Hanya satu yang kurang dari era Jokowi, konsolidasi dengan pemerintah lokal. Pemerintah saat ini juga belum menunjukkan komitmen dan strategi kebijakan mereka untuk deradikalisasi agama. 

LBH: Pola diskriminasi mirip dengan Orde Baru 

Demo perlindungan hak LGBT di Yogyakarta. Foto Istimewa    

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alghiffari Aqsa, mengatakan insiden intoleransi memang meningkat setahun belakangan ini.

“Bahkan saya jujur melihat ada setback zaman Orde Baru, di mana tempat yang aman itu hanya di LBH,” ujar Alghif pada Rappler, Minggu, 27 Maret. 

Ia mencontohkan saat pelarangan diskusi LGBT, maka panitia mengadu pada LBH. Festival Belok Kiri yang dituding berbau komunis juga demikian, akhirnya diselenggarakan di LBH.

Begitu pula dengan film karya Rahung Nasution, Pulau Buru. Karena situasi yang tidak memungkinkan untuk diputar di Goethe Haus, maka karya dokumenter tentang bekas tapol ini diputar di kantor LBH Jakarta. 

“Ini situasi yang sama ketika LBH menjadi sentral gerakan aktivis Orde Baru,” kata Alghif sembari menambahkan bahwa lembaga itu telah berdiri sejak 1970. 

Apa indikasi kemiripan itu? “Tidak ada ruang berekspresi dan mengeluarkan pikiran dan juga ruang berkumpul di tempat lain, dan kami melihat aparatur negara yang mendorong hal tersebut,” ujarnya. 

Hanya satu insiden yang membedakan, ketika Polda Metro Jaya memutuskan untuk memberikan pengamanan ekstra dengam menurunkan satu kompi pasukannya saat pemutaran film Pulau Buru di Festival Belok Kiri pekan lalu. 

“Itulah yang harus dilakukan oleh polisi seharusnya, melindungi event kebebasan berekspresi dan berkumpul,” ujarnya. 

Tapi di acara sebelumnya, yaitu pemutaran film Pulau Buru di Goethe Haus, polisi justru menjadi pihak yang paling aktif untuk menganjurkan agar karya Rahung Nasution tersebut untuk tidak ditayangkan di tempat umum. 

“Polisi masih berwajah dua, dan sering kali berpihak pada kelompok intoleran,” kata Alghif. 

Ia menambahkan, LBH cukup kecewa dengan polisi karena alih-alih menangkap oknum-oknum dari kelompok intoleran yang melakukan tindakan pemaksaan, polisi justru mengikuti alur mereka. 

Ditambah, kata Alghif, polisi sendiri kurang memahami substansi dari acara yang digelar.

“Pengalaman saya, polisi itu enggak tahu siapa Tan Malaka,” katanya. Ada permasalahan ketidakpahaman sejarah yang tidak hanya dihadapi oleh kelompok intoleran, tapi juga aparat. 

Melihat kondisi ini, Alghif mengatakan negara harus mengambil sikap, sehingga kelompok intoleran tidak mendominasi tanah air. “Sehingga kebudayaan itu tidak mundur jauh ke belakang,” ujarnya. 

‘Mengakhiri transisi demokrasi dengan sempurna’

Menko Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Panjaitan (tengah) bertemu dengan pengasuh Ponpes Bahrul Ulum KH Hasib Wahab (kedua kanan) dan para kyai se Jawa Timur di Jombang, RADIKALISME. Jawa Timur, Rabu (16/3). Silaturahmi Menkopolhukam dengan para kyai NU tersebut untuk mengantisipasi perkembangan gerakan radikal, karena NU merupakan pilar dari persatuan bangsa Indonesia. Foto oleh Syaiful Arif/Antara   

Lalu mau dibawa ke mana Indonesia?

Wahyudi Djafar dari ELSAM mengatakan, Indonesia saat ini sedang berada di periode akhir transisi demokrasi. “Pendulumnya sedang mencari keseimbangan, apakah dia akan melanjutkan sistim demokrasi ataukah dia akan kembali ke periode otoritarian?” ujarnya. 

Wahyudi mengutip sebuah penelitian dari sebuah lembaga survei di Jerman, Bertelsmann Stifftung, bahwa ada tiga indikator demokrasi yang menunjukkan Indonesia dalam masalah serius pada 2016 ini.

Pertama, lemahnya penegakan hukum itu sendiri. Kedua, banyaknya pelanggaran terhadap kelompok sipil. Ketiga, banyaknya aktor politik yang ada di lingkaran kekuasan. 

Konstitusi memang telah menjamin hak-hak setiap warga negara, tapi memastikan setiap warga negara memperoleh haknya masih menjadi pekerjaan rumah. “Praktiknya di lapangan masih banyak pelanggaran terhadap jaminan-jaminan itu,” ujarnya.  

Lalu siapa yang bisa mengantar Indonesia mendarat sempurna di masa transisi ini? “Presiden Jokowi bisa mengambil posisi kunci, melanjutkan posisi demokrasi itu sendiri. Kalau dibiarkan seperti ini, kami khawatir Indonesia terjerumus di masa transisi demokrasi itu sendiri,” kata Wahyudi. 

Ia mengatakan, negara sebaiknya tidak melakukan pembiaran terhadap oknum-oknum yang melakukan tindakan intoleran. 

Polisi sebagai pemegang mandat keamanan harus bisa memberikan perlindungan pada warga negara. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!