Setelah taksi aplikasi online, perusahaan teknologi finansial harus urus izin

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Setelah taksi aplikasi online, perusahaan teknologi finansial harus urus izin

ANTARA FOTO

OJK belajar dari kontroversi bisnis taksi. Perusahaan harus investasi dalam inovasi. Regulator perlu melindungi keselamatan dan keamanan publik.

Kontroversi soal boleh atau tidaknya operasi taksi dengan aplikasi daring (online), untuk sementara telah ditemukan solusinya. 

Pemerintah mewajibkan perusahaan taksi yang mengaku mengusung konsep berbagi kendaraan (ride-sharing), seperti Uber dan Grab, untuk mendirikan badan hukum lokal, mendaftarkannya ke pemerintah daerah —dalam hal ini adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta— dan memenuhi semua aturan dalam Undang-Undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Uber maupun Grab diberikan waktu memenuhi aturan selama dua bulan, sampai akhir Mei 2016.

Sejak awal saya menduga kompromi antara Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dengan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan tak akan jauh dari “wajib mendaftarkan diri”. Arahan dari Presiden Joko “ Jokowi” Widodo jelas, bahwa inovasi dalam bentuk aplikasi daring berbagi berkendaraan harus diakomodir karena itu dianggap dibutuhkan rakyat. Ini disampaikan Jokowi saat kontroversi terkait operasional ojek daring atau Go-Jek pada Desember lalu. 

Solusi yang dijalankan pemerintah mengikuti pola di sejumlah kota di Eropa yang pernah alami protes dari sopir dan perusahaan taksi konvensional, termasuk di Moskow, Rusia. 

Di negara-negara Eropa, hal penting yang wajib dipenuhi oleh bisnis berbagi berkendaraan adalah sopir yang memiliki lisensi surat izin mengemudi untuk angkutan umum, aturan keamanan dan keselamatan kendaraan, mengasuransikan penumpang, dan membayar pajak di level kota.

Jokowi jelas tak akan membuat pernyataan publik bahwa regulasi yang ada harus diterobos. Ia menyuruh pembantunya di kabinet mencari solusi. Rupanya, duduk bersama itu baru serius dilakukan setelah pecah ricuh demo pengemudi taksi konvensional pada 22 Maret. 

Ricuh karena diwarnai perusakan taksi, sweeping, dan aksi kekerasan yang disiarkan secara langsung dan mendunia melalui video dan foto yang beredar viral di media sosial.

Pemerintah mengakui lambat dalam mengantisipasi beroperasinya angkutan umum berbasis aplikasi daring. Sebelum ricuh memalukan pada 22 Maret itu, debat pihak Uber adalah,mereka bukan perusahaan angkutan umum —dalam hal ini taksi— dan karena itu tidak perlu tunduk kepada UU No. 22 tahun 2009 tentang LLAJ. Sementara aturan mengenai aplikasi daringnya sendiri belum ada. 

Ini pintu masuk Uber, Grab, dan Go-Jek. Ini juga yang terjadi di berbagai kota di dunia ketika konsep bisnis berbagi berkendaraan ini diperkenalkan.

Aplikasi keuangan harus mendaftar

Kasus di bisnis transportasi menginspirasi industri keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan agar perusahaan teknologi bidang jasa keuangan untuk mendaftarkan diri sebelum dianggal ilegal, pada Senin, 28 Maret.

Laman bisnis.com melaporkan bahwa Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK, Dumoly F. Pardede, mengatakan setiap perusahaan teknologi informasi yang bergerak dalam bidang jasa keuangan (financial technology) harus tunduk kepada regulasi sektor usaha tersebut.  

“Mereka harus minta izin ke OJK agar dapat diatur dan diawasi,” kata Dumoly.

OJK menganggap perusahaan fintech tidak lagi dapat mengatakan dirinya sebagai perusahaan teknologi sehingga tak mau tunduk kepada aturan sektor jasa keuangan.  

Dumoly mengatakan bahwa keputusan pemerintah meminta penyedia aplikasi transportasi seperti Uber dan Grab, yang harus mengurus izin sebagai perusahaan angkutan umum, mempertegas batasan bagi seluruh perusahaan teknologi.  

“Ini kan membedakan perusahaan teknologi sebagai layanan pendukung terhadap kegiatan usaha tertentu menjadi jelas,” kata Dumoly.

Mengubah UU adalah proses yang lama, berliku, dan mahal. Ini dilema dari upaya revisi sebuah aturan setingkat undang-undang. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan bersikeras bahwa aturan tak perlu diubah. Uber, Grab, dan Go-Jek yang harus memenuhi aturan yang ada.  

Jonan mengambil risiko dikecam sebagian publik yang sudah merasakan manfaat layanan baru itu yang menawarkan tarif murah, layanan cepat, kendaraan dan sopir wangi, dan dilengkapi aplikasi penunjuk lokasi.  

Bandingkan dengan taksi konvensional, termasuk Blue Bird yang menuai keluhan karena banyak memperkerjakan sopir yang tidak menguasai jalan di ibu kota. Ini pengalaman pribadi saya beberapa kali naik taksi Blue Bird. Tarifnya juga lebih mahal.  

Bedanya adalah soal rasa aman. Bagaimanapun, jika ada sesuatu hal saat berkendara dengan taksi konvensional yang punya reputasi baik selama ini, maka kita tahu ke mana harus mengeluh atau meminta pertanggungjawaban.  

Grab jalin kerjasama dengan Lippo Group untuk pengembangan situs MatahariMall. Foto dari Tech in Asia

Benarkah tarif taksi berbasis aplikasi daring lebih murah? Pengalaman di semua kota, demikian pada awalnya, karena injeksi kapital dari investor yang mengincar kenaikan valuasi dari perusahaan aplikasi. Subsidi harga terjadi. Grab yang beroperasi di Indonesia sejak 2014, misalnya, mendapat suntikan dana dari investor senilai Rp 9,6 triliun tahun lalu. 

Pada 21 Maret 2016, sehari sebelum demo taksi konvensional, terungkap bahwa Lippo Group selama ini menjadi investor awal Grab di Indonesia. Lippo Group adalah salah satu konglomerat yang memiliki ragam usaha dari properti, mall, rumah sakit, sampai grup media.

Euforia di awal beoperasinya Uber di berbagai kota akan turun. Kompetisi makin berat, kemacetan kota kian parah. Di New York, ini memaksa Uber memangkas tarif dan memicu protes dari mitra pengendara yang menganggap Uber menjadikan mereka sebagai buruh.

Di India, Uber menggugat pesaingnya, perusahaan lokal, Ola, dengan tuduhan memalsukan akun dengan memesan sampai 400.000, namun mendadak membatalkan pesananIronisnya, Uber dianggap melakukan hal yang sama terhadap pesaingnya di AS, Lyft. Ibarat senjata makan tuan.  

Jadi, jangan heran kalau tahun depan atau berikutnya, kita akan melihat kejadian yang sama di Indonesia. Perang bukan antara taksi konvesional melawan taksi aplikasi daring, melainkan di antara sesama pengelola taksi aplikasi.

Oh ya, tentu saja saya tak menutup mata terhadap kemudahan tarif pajak dalam mendapatkan kendaraan untuk angkutan umum, termasuk taksi. Ini yang tak pernah dijelaskan kepada pengemudi taksi konvensional bahwa majikan mereka juga mendapatkan kemudahan. 

Begitu juga dengan keluhan para sopir taksi konvensional bahwa penghasilan mereka kian turun, dengan beragam alasan termasuk penumpang beralih ke kendaraan berbasis aplikasi termasuk Go-Kek, sementara target pemasukan kian mencekik leher.  

Perusahaan taksi konvensional seperti Blue Bird dan Express yang membukukan laba cukup tinggi sebagaimana tercatat di pasar modal, misalnya, sudah sepatutnya membekali sopir dengan aplikasi yang tak kalah canggih, sehingga bisa bersaing dengan taksi seperti Uber dan Grab.

Saya tidak ingin banyak membahas kontroversi soal makhluk apakah Uber, Grab, dan sebangsanya. Silakan membaca tulisan Ardi Wirdamulia mengenai kontroversi Uber vs taksi konvensional di sini

Mengenai bagaimana Uber memosisikan diri sebagai ekonomi berbagi (sharing-economy), padahal yang dikejar adalah lonjakan nilai perusahaan untuk kemudian dilepas di pasar modal pun sudah banyak dikritisi, salah satunya adalah tulisan ini.

Pemerintah perlu lindungi keselamatan publik

Kontroversi taksi konvensional versus taksi berbasis aplikasi daring yang disediakan perusahaan teknologi, serta respon pemerintah dan OJK, menegaskan posisi pemerintah sebagai pihak yang wajib menjaga keselamatan dan keamanan publik.  

Ini juga debatnya bisa panjang, karena jelas pemerintah dan Organisasi Angkutan Darat  (Organda) selama ini tak bisa berbuat banyak terhadap kondisi transportasi publik seperti bus angkutan kota yang menyedihkan. Mobil tua dan sopir yang ugal-ugalan. Ini peluang bagi munculnya bisnis semacam Uber, Grab, dan Go-Jek, bahkan ojek konvensional.

Pelajaran ini dipetik hikmahnya oleh OJK dan industri keuangan, yang notabene adalah industri kepercayaan. Ini yang mengingatkan saya kepada pengalaman Bank Mandiri Tbk saat melakukan inovasi dengan memperkenalkan e-Cash, sebuah aplikasi teknologi di bidang finansial.   

Budi menyampaikan pemaparan kinerja triwulan IV-2015 di Jakarta, pada 23 Februari 2016. Foto oleh Sigid Kurniawan/Antara

Dalam wawancara dengan Budi G. Sadikin, sehari sebelum dia lengser dari kursi CEO Bank Mandiri Tbk, pada 21 Maret, saya mendapatkan informasi bahwa ide aplikasi ini muncul pada 2012. Budi menghadiri sebuah acara di Hongkong, yang menghadirkan co-founder dan CEO Twitter, Jack Dorsey.  

Dorsey saat itu memperkenalkan aplikasi SquareReader, alat yang bisa membaca kartu kredit yang dicolokin ke telepon pintar. Budi heran, SquareReader itu yang punya bank, Chase Payment Tech. Pendanaan untuk membuat aplikasi itu dari fund milik JP MorganChase.  

Budi lantas diminta menemui Mike Davis, CTO JPMorganChase, di San Francisco pada 2012. Davis sudah meninggal sekarang. Waktu itu dia bilang ke Budi mereka punya anggaran IT besar sekali, miliaran dolar, kebijakan dari James Dimon — chairman, president, dan CEO JPMorganChase. Tapi orang IT mereka kerja lamban sekali dan mahal.

Akhirnya Davis bicara ke Dimon, dia mau buat private equity, dengan modal US$ 100 juta, setiap proyek yang diberikan ke IT, dikasih juga ke startup IT. Yang dikerjakan startup terbukti 10 kali lebih murah, 10 kali lebih cepat, dan 10 kali lebih bagus.  

Setelah ketemu Davis, Budi belajar ke Berkeley, lalu Bank Mandiri membuat startup pertama kali pada 2012 dengan Agung Adiprasetyo dari Kompas. Bank Mandiri memasukkan modal Rp 2 miliar, yang membuat aplikasi e-Cash untuk Bank Mandiri. Ini aplikasi seperti WhatsApp, untuk mengirimkan uang.  

Tahun 2013 jadi, belum dapat ijzn, Bank Mandiri melobi, baru dapat izin dari BI dan OJK pada 2014. Mulai akhir 2014, Bank Mandiri menjadikan e-Cash sebagai platform untuk menyalurkan bantuan langsung tunainya Presiden Jokowi. Jadi, wajib ada izin.

Sejak beroperasi 2014, sekarang nasabah e-Cash sudah mencapai 2,5 juta. Budi yang kini “pensiunan” Bank Mandiri berharap pada 2020, Bank Mandiri sudah punya 50 juta nasabah, karena sekarang lebih banyak orang memiliki ponsel ketimbang rekening bank. Bertahun-tahun nasabah Bank Mandiri baru mencapai 16 juta orang.

Jadi, di mata Budi, bisnis perbankan ini sebagaimana bisnis taksi dengan adanya Uber, toko CD dengan adanya i-Tunes, toko buku dengan Amazon.com, harus inovatif, adaptif terhadap fenomena distruptive economy.  

Ini kaitannya dengan Fourth Industrial Revolution. Bisa di-disintermediate. Sebagaimana perusahaan telco di-disintermediate Google, Facebook, dan lainnya.  

“Daripada kita di-disintermediate orang lain, mendingan kita lakukan sekarang. Sekarang perusahaan startup pembuat aplikasi e-Cash yang kami dirikan, value-nya sudah menjadi Rp 100 miliar, dari modal Rp 2 miliar. Sudah ada yang mau membeli 30 persen dengan harga Rp 30 miliar,” kata  Budi.  

Wawancara lengkapnya dapat dibaca di sini.

Melihat peluang yang ada, Bank Mandiri ingin lebih sistematis. Awal 2016, mereka mendirikan Mandiri Capital Indonesia, dengan investasi US$ 50 juta dolar sebagai private equity. Perusahaan ini serius membuat aplikasi finansial. Kalau bikin aplikasi seperti e-Cash, dikasih ke orang IT, bisa lebih mahal dan lama, bisa tiga tahun. Ini dibuat 6 bulan, modal Rp 2 miliar.

Saya membayangkan perusahaan seperti Blue Bird yang tergolong raksasa transportasi harusnya melakukan hal serupa. Investasi Rp 2 miliar tak ada artinya bagi Blue Bird, Express, bahkan beberapa pengelola taksi konvensional lain.  

Duit itu bisa digunakan memodali startup membangun aplikasi yang tak kalah reliable.  Membiarkan sopir dan armada terlibat dalam demo yang berujung ricuh dan membahayakan nyawa sopir, penumpang, maupun masyarakat di sekitarnya, adalah posisi yang tidak terpuji sebagai perusahaan publik.

Ketika gajah melawan gajah, pelanduk kejepit di tengah. Pertarungan antara taksi konvensional vs taksi aplikasi daring adalah pertarungan antara pemilik usaha bernilai triliunan rupiah. Yang terjepit adalah sopir yang kian sulit membawa pulang duit untuk keluarga di rumah. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!