Suara Mahasiswa: Ketika minat membaca dan berdiskusi menurun

Tony Firman

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Suara Mahasiswa: Ketika minat membaca dan berdiskusi menurun
Ospek jangan hanya dijadikan momen pengenalan kampus dan segregasi senior-junior saja

Menjadi mahasiswa dewasa ini sudah seperti kewajiban pendidikan yang harus ditempuh setelah lulus dari SMA. Pergantian jenjang dari yang awalnya menyandang status siswa-siswi sekolah kemudian menjadi mahasiswa-mahasiswi kampus umum disambut dengan masa ospek. 

Para mahasiswa menjadi semakin tahu bahwa dalam ospek, identitas senior dan junior sangat ditekankan bahkan dengan cara-cara seperti kekerasan verbal hingga tak jarang kontak fisik agar semua patuh.

Tetapi di sini tidak sedang berfokus pada ospek yang selalu menuai kontra, namun menyoal tradisi setelah menjadi anak kuliah. Bukan juga soal tradisi yang mengharuskan hidup mandiri, pintar mengatur uang saku, dan menjaga diri, tetapi tentang tradisi membaca dan berdiskusi. 

Ya, dua hal ini tampaknya ada di tempat yang jauh dari kebanyakan mahasiswa sekarang.

Berdasarkan data UNESCO, persentase minat baca anak Indonesia sebesar 0,01 persen. Artinya, dari 10.000 anak bangsa, hanya satu saja yang memiliki minat baca. 

Ini terlihat sangat memperihatinkan, khususnya kepada kalangan mahasiswa jika sampai saat ini hampir tidak pernah membaca sebuah buku atau menempatkan waktu membaca buku sebagai prioritas. Tetapi ada tanggapan lain bahwa minat baca jangan hanya disempitkan pada membaca sebuah buku yang dipegang secara fisik karena di era kemajuan teknologi sekarang, apapun bisa dicari di Internet dan kemudian dibaca.

Yang berikutnya, tentang berdiskusi. Mendiskusikan buku-buku bacaan, misalnya. Bertukar pikiran dan persepsi setelah membaca buku tentu saja akan lebih memperkaya obrolan di ruang-ruang dan sudut-sudut kampus. Dunia kampus yang syarat akan ilmu menjadi hidup. 

Proses belajar tidak lagi terpaku saat di dalam ruang dan jam kelas. Dialektika bisa mengalir setiap harinya tanpa mengganggu obrolan yang lain. Tetapi tak jarang juga kemajuan teknologi turut membawa kegiatan berdiskusi di dunia maya lewat berbagai aplikasi chat.

Baik membaca dan berdiskusi nyatanya masih selalu relevan berjalan mengimbangi perubahan zaman. Keduanya ini juga bukan hal baru dalam sejarah peradaban manusia. Sejak ditemukannya medium untuk menulis, manusia-manusia di masa itu juga memulai sebuah dialektika ketika membaca ulang catatan-catatan mereka di rentang waktu yang berbeda.

Pada era digital sekarang, sebenarnya akses membaca maupun berdiskusi sangat dimudahkan, seperti yang dijelaskan di atas. Membaca ternyata tak hanya bisa dipatok asalnya dari buku saja. Kehadiran Internet banyak sekali memberi informasi pengetahuan yang sangat melimpah. 

Jika dikembalikan lagi, saat ini sudahkah kita memanfaatkan Internet lebih dari sekadar menghidupkan berbagai aplikasi chat atau game? Jika iya, seberapa sering kita memanfaatkan melimpahnya informasi yang tersedia di Internet?

Juga soal berdiskusi. Dari derasnya arus informasi yang didapat tentu sebenarnya lebih mudah untuk mengeluarkan pikiran hasil reaksi dari aksi membaca. Berdiskusi secara online di grup-grup dalam aplikasi chat sebenarnya amat sangat memungkinkan. Namun sekali lagi, sudahkah kita memanfaatkannya untuk hal-hal lain, seperti diskusi di grup dengan anggota banyak orang daripada hanya untuk berkirim pesan ke satu orang saja?

Ospek yang kental dengan konsep senior-junior tampaknya tidak menjadikan tradisi membaca dan berdiskusi sebagai poin utama menuju jalan “agent of change”. Ospek hanya menyentuh halaman luar soal pengenalan fitur-fitur kampus dan pengkaderan organisasi pembantu kerja birokrat kampus.

Membaca adalah sarana meluaskan pengetahuan dan mempertajam nalar kritis, memengaruhi pola pikir kita melihat realita sosial dan mendiskusikan banyak hal terkait apa yang dipikirkan. 

Serangkaian tradisi ini secara tidak langsung sebenarnya adalah sebuah langkah-langkah menuju ke perubahan seperti jargon mahasiswa sebagai “agent of change”. Selamat membaca dan berdiskusi. —Rappler.com

Tony Firman sedang belajar menulis bio yang apik dan bergelut meluluskan diri dari Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya.

Suara Mahasiswa adalah kolom terbaru Rappler Indonesia untuk menyuarakan aspirasi calon pemimpin bangsa. Ingin berkontribusi? Kirim tulisanmu ke indonesia@rappler.com.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!