Philippine economy

Kesaksian warga Gafatar: Kami diusir, direlokasi, dan ditahan oleh aparat

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kesaksian warga Gafatar: Kami diusir, direlokasi, dan ditahan oleh aparat

ANTARA FOTO

Setidaknya 2.422 keluarga, total 7.916 individu termasuk anak-anak, yang terdaftar sebagai warga Gafatar, diusir dari Kalimantan Barat dan Timur sejak Januari sampai akhir Februari 2016.

 

JAKARTA, Indonesia—Susi, bukan nama sebenarnya, seorang ibu rumah tangga yang berumur 30 tahun sedang berada di rumahnya di Desa Lempai Jaya, Kalimantan Barat, pada 22 Januari lalu. Ia sedang hamil 5 bulan. 

Mendadak, ada tamu tak diundang. Mereka adalah 32 pejabat pemerintah daerah setempat, polisi hingga tentara. “Mereka minta kami meninggalkan lahan pertanian kami dalam 24 jam. Mereka mengatakan massa akan serang kami,” kata Susi pada peneliti Human Rights Watch (HRW) Indonesia. 

Susi saat itu bukan hanya sedang mengandung, tapi juga sedang mengasuh kedua anaknya. Ia terpaksa mengikuti permintaan pejabat Pemda dan Polisi. 

“Kami tidak memiliki pilihan lagi kecuali pergi,” ujarnya. 

Ia kemudian dievakuasi dengan beberapa bus dan truk ke kantor bupati dibawa ke Pembekalan Angkutan Kongdam di Pontianak. Di sana sudah ada dua kelompok tani Gafatar yang juga diusir dari Melawi. 

Sesampainya di pos pengungsian, ia mencari dokter untuk memeriksa kehamilannya. Tapi tidak ada satupun dokter kandungan yang bisa ia temui. 

Apalagi di pengungsian, ia harus makan mi instant dan sarden kaleng mentah yang notabene tak baik untuk janin. Padahal di rumahnya ia biasa mengkonsumsi makanan organik yang ia hasilkan di kebunnya sendiri. 

“Malnutrisi adalah masalah kami. Kami menghabiskan banyak uang selama perjalanan untuk makanan tambahan anak-anak,” tuturnya. 

Selain Susi, ada juga Adi, bukan nama sebenarnya, ia tinggal di sebuah lahan pertanian Gafatar, desa Suka Maju, Kalimantan Barat. 

Ia juga diusir beberapa hari setelah Susi, yakni pada 26 Januari lalu. “Saya tinggal semalam di gudang semen di Ketapang dan kemudian dibawa kapal TNI Angkatan Laut menuju Semarang (Jawa Tengah),” tuturnya. 

Bersama ratusan warga Gafatar, ia dibawa menggunakan 13 bus menuju asrama haji di Boyololali. Ada lebih dari 1.600 orang di asrama tersebut.

Lalu apa yang terjadi? “Kami wajib mengikuti pembinaan bela negara, pelajaran agama selama tiga hari, termasuk pasal penodaan agama,” katanya. 

“Mereka juga menugaskan seorang psikiater untuk mengajari kami, mencoba membuat kami percaya bahwa kami menderita sakit mental,” katanya lagi. 

Ia bahkan tidak tidak diizinkan keluar asrama. Gedung yang ia tempati tersebut dijaga polisi, tentara beserta pejabat dari beberapa kementerian.

Setelah dua minggu, menurut Adi, sebagian besar anggota Gafatar dipindahkan ke provinsi tempat mereka berasal. 

“Tapi tidak termasuk kami, 302 orang dari Sumatera Utara. Kami tinggal di sana hampir dua bulan. Pemerintah Sumatera Utara bilang mereka belum memiliki dana untuk menjemput kami,” ujarnya. 

Pemerintah melakukan pembiaran?

Susi dan Adi hanya dua dari ratusan kesaksian yang dikumpulkan oleh peneliti HRW. Dalam riset terbarunya, peneliti HRW di Kalimantan Barat dan Timur menemukan fakta bahwa aparat keamanan gagal melindungi anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). 

Laporan itu menyebut, Pemerintah Indonesia, pejabat sipil maupun aparat keamanan, ikut terlibat dalam penggusuran lebih dari 7.000 anggota komunitas keagamaan Gafatar dari rumah dan lahan pertanian mereka di Pulau Kalimantan sejak Januari 2016.  

Jajaran pemerintahan melakukan pembiaran saat pemuda etnik Melayu dan Dayak mengancam, mengusir, menjarah serta menghancurkan barang-barang milik Gafatar.  

Pemerintah lantas memindahkan para anggota Gafatar ke tempat penahanan tak resmi, mengirim mereka ke kampung halaman masing-masing, tetapi bukan sebagai sebuah perlindungan, melainkan sebagai upaya membubarkan keberadaan Gafatar. 

“Beberapa gerombolan etnik dan lembaga pemerintah bertindak atas nama ‘kerukunan beragama’ mengabaikan hak asasi berupa keamanan dan kebebasan beragama anggota Gafatar,” kata Phelim Kine, wakil direktur Asia dari Human Rights Watch, Rabu, 6 April. 

“Lembaga pemerintah dan aparat keamanan tak berbuat banyak untuk memberikan perlindungan kepada anggota Gafatar dari penggusuran, pengurungan, dan mengirimkan mereka ke daerah-daerah asalnya.”

Polisi dan militer memang mencegah terjadinya kekerasan fisik pada anggota Gafatar, namun hanya mengevakuasi dari Kalimantan ke Jawa, kata puluhan anggota Gafatar pada Human Rights Watch.  

“Pemerintah sewenang-wenang menahan, menginterogasi, dan mengancam mereka seperti layaknya kriminal.” tulis laporan tersebut. 

Dari mana ini semua bermuara? 

Menurut temuan HRW, penggusuran dan penahanan menyusul gelombang kebencian kepada anggota Gafatar, dimulai oleh laporan berbagai media sejak awal Januari, yang menuduh komunitas ini terlibat penculikan dan perekrutan paksa. 

Anggota Gafatar telah lama dicurigai landasan sistem kepercayaannya karena menggabungkan Islam dengan kepercayaan Kristen dan Yahudi, dengan tuduhan “ajaran sesat dan menyesatkan.”

Laporan beberapa media juga menuduh bahwa Gafatar memiliki kecenderungan untuk bikin gerakan separatis, tanpa bukti kuat, dan menciptakan negara agama (teokrasi) di Kalimantan. Mereka dituduh dengan label “Negeri Karunia Tuan Semesta Alam.”

Pada 14 Januari, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengintruksikan pemerintah daerah untuk menutup semua kantor Gafatar.

Pada 24 Maret, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengumumkan Surat Keputusan Bersama (SKB), yang diteken bersama Menteri Agama Lukman Saifuddin dan Menteri Dalam Negeri Kumolo, yang memperingatkan “mantan anggota dan pengurus Gafatar” untuk tidak terlibat “… penyebaran, penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam.”

Hukuman atas pelanggaran tersebut maksimal penjara lima tahun, berdasarkan pasal pidana penodaan agama keluaran 1965.

Dalam pertemuan pers 24 Maret, Jaksa Agung Prasetyo, “Kami meminta masukan kepada semua pihak dari unsur Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, dari TNI dan Kejaksaan sendiri. Terakhir MUI telah mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa ajaran Gafatar itu dinilai sesat dan menyesatkan kalau itu didiamkan bisa menimbulkan keresahan dan berbagai SARA.”

Ribuan diusir dari kampung halaman

JANJI EKS GAFATAR. Mantan anggota organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) berikrar kembali pada ideologi Pancasila dan agama yang benar di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng, Senin (21/3). Sebanyak 53 jiwa terdiri dari 24 orang dewasa dan sisanya anak-anak mantan anggota Gafatar berikrar menyatakan diri kembali pada ideologi Pancasila dan agama yang berlaku di Indonesia. Foto oleh Norjani/Antara

Akibat tekanan dari pemerintah dan pihak-pihak tertentu ini, juru bicara Gafatar Farah Meifira mengatakan pada Human Rights Watch bahwa 2.422 keluarga, total 7.916 individu termasuk anak-anak, diusir dari Kalimantan Barat dan Timur sejak Januari sampai akhir Februari. 

Pemerintah Indonesia menahan lebih dari 6.000 anggota Gafatar yang diusir paksa dari Kalimantan ke enam tempat penahanan tak resmi di Jakarta, Yogyakarta, Bekasi, Boyolali dan Surabaya. 

“Human Rights Watch tak dapat memverifikasi secara independen keseluruhan informasi tersebut namun kami mengunjungi tiga tempat penahanan di Jawa, dalam dua minggu pertama Februari, ada sekira 800 anggota Gafatar masing-masing di sana,” ujar laporan tersebut.  

Pada akhir Maret, ada lebih dari 300 anggota Gafatar, termasuk di antaranya 100 anak-anak, masih berada di penahanan Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. Ada 302 orang dikirimkan ke kampung halaman mereka di Sumatera Utara pada 30 Maret 2016.

Anggota Gafatar mengatakan para petugas melarang mereka meninggalkan tempat penahanan kecuali untuk keperluan singkat seperti membeli makanan dan keperluan lain. Mereka berkata bahwa pemerintah memberi mereka, “pembinaan agama,” ”penyuluhan deradikalisasi,” dan ancaman pidana penodaan agama 

Di dalam pengungsian di Boyolali, Jawa Tengah, aparat militer mendoktrin sekira 1.000 anggota Gafatar tentang pendidikan “bela negara,” sebuah sesi masing-masing sehari untuk bahas Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan.

Sejak pertengahan Februari, pemerintah memang telah melepaskan sebagian besar anggota Gafatar, tapi gagal menjalankan amanat undang-undang dalam melindungi hak beragama, hak bergerak, dan hak mereka berkumpul.

Anggota Gafatar berkata bahwa Pemerintah Indonesia tak membantu dalam pengembalian aset dan keamanan mereka untuk kembali ke Kalimantan. 

Alih-alih mengembalikan anggota Gafatar ke Kalimantan, pemerintah justru menekan mereka ke daerah asal masing-masing. Pemerintah membuat aturan mengenai relokasi paksa dan menyerahkan anggota Gafatar kepada pemerintah daerah atau kerabat mereka.

Pemerintah Indonesia seharusnya hentikan kriminalisasi komunitas Gafatar, ujar Human Rights Watch. SKB anti-Gafatar, yang melarang Gafatar, seyogyanya dibatalkan.

Pemerintah juga seharusnya membantu anggota Gafatar untuk kembali ke rumah dan lahan pertanian mereka di Kalimantan, dan menyediakan keamanan yang efektif untuk melindungi mereka dari berbagai gangguan dan kekerasan.

Ini juga terkait dengan disediakannya kompensasi yang tepat dan memadai guna mengganti berbagai aset mereka yang hilang.

Lembaga penegakan hukum juga seharusnya menyelidiki dan mengusut pejabat pemerintah pusat, anggota aparat keamanan, dan pemerintah daerah, yang terlibat dalam pengusiran serta berbagai kegiatan melawan hukum terhadap anggota Gafatar.

“Pengabaian hak asasi anggota Gafatar merupakan satu lagi keterlibatan Pemerintah Indonesia dalam mendorong tumbuhnya intoleransi atas nama agama di Indonesia,” ujar Kine. 

“Anggota Gafatar, seperti halnya kaum Syiah, Ahmadiyah dan beberapa gereja Kristen, sudah belajar dari pengalaman pahit mereka bahwa pemerintah dan aparat keamanan, yang seharusnya melindungi semua warga Indonesia, termasuk minoritas agama, justru menunjukkan penolakan terhadap kebebasan beragama.” —Rappler.com

BACA JUGA

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!