Pakar hukum ini bicara tentang off-shore company

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pakar hukum ini bicara tentang off-shore company
Off-shore companies didirikan agar kewajiban yang muncul tidak ikut merembet ke induk perusahaan.

JAKARTA, Indonesia – Geger data yang disebut dengan Panama Papers, diikuti dengan beredarnya data individu dan perusahaan Indonesia yang terkait dengan perusahaan off-shore atau yang didirikan di negara lain. 

Biasanya, pemerintah negara tersebut mengenakan tarif pajak lebih rendah dari negara asal perusahaan atau individu. Bahkan ada yang mengenakan tarif pajak nol persen.

Panama papers mengulas jutaan dokumen finansial dari sebuah firma hukum asal Panama yang bocor. Dari situ, terungkap jaringan korupsi dan kejahatan pajak berbagai kepala negara, tokoh politik, hingga selebriti dari seluruh dunia.

Apakah pendirian perusahaan di negara surga pajak (tax havens), semata-mata dilakukan untuk menghindari pajak?

Pakar hukum Todung Mulya Lubis, menyampaikan pendapatnya mengenai fenomena “papers companies”, melalui akun media sosialnya di Twitter maupun Facebook.  Rappler sudah meminta izin mengutip pendapat pendiri firma hukum yang dikenal memiliki sejumlah klien internasional itu.

Menurut Todung Lubis, “paper companies” atau “US$ 1 companies”, adalah perusahaan-perusahaan yang dijadikan kendaraan bisnis.  Biasanya dibuat terpisah dari induk usaha (parent company) agar liability atau kewajibannya tidak merembet ke induk usaha.

Juga ada pertimbangan pajak disini. Dalam praktek semua perusahaan besar, multinational companies atau konglomerat, atau chaebol melakukan hal ini karena by laws itu dimungkinkan,” tulis Todung.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang mengundang masuknya modal asing tak bisa menolak perusahaan yang didirikan di British Virgin Island, salah satu negara bebas pajak, yang membawa masuk investasi sebesar US$ 500 juta misalnya.

Apakah BKPM harus mengatakan perusahaan baru boleh masuk kalau didirikan di Singapura, Shanghai atau London?” kata Todung.

Menurut Todung Lubis, keberadaan paper companies dilematis. Pada satu sisi paper companies atau ‘shell companies’ ini memang realitas bisnis yang terdapat dimana-mana.  Tetapi, pada sisi lain memang disini terdapat semacam penyamaran kepemilikan dan keinginan untuk tak membayar beban pajak.

Dalam praktik saya sebagai konsultan hukum, saya membaca begitu banyak perusahaan yang terafiliasi dengan multinational companies tetapi didirikan di ‘tax havens’Dan mereka mendapat izin usaha disini.

Mereka membeli properti, saham-saham dan berbagai transaksi bisnis lainnya. Pemerintah selama ini tak mencegah mereka, sama seperti pemerintah asing yang tak mencegah ‘shell companies’ ini beroperasi di negara mereka. Saya tak tahu kalau ada negara yang mengatakan bahwa negara tersebut tertutup buat ‘shell companies’ ini,” ujar Todung Lubis.

Todung Lubis menyambut baik rencana pemerintah yang menjalankan RUU Pengampunan Pajak, jika disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

“Tapi saya tidak yakin uang akan kembali. Sebab, uang tidak punya kebangsaan,” ujar dia.

Menteri Keuangan Bambang S. Brodjonegoro mengatakan bahwa ada sekitar Rp 11.400 triliun dana orang Indonesia yang “parkir” di luar negeri. RUU Pengampunan Pajak diharapkan menjadi insentif untuk menarik pulang dana-dana tersebut.

“Ini uang-uang lama, tidak semuanya masuk dua atau tiga tahun yang lalu. Ini bahkan sudah sejak tahun 1970, tapi kita batasi saja 20 tahun terakhir atau 1995-2015,” ujar Bambang.

Mantan ketua umum Kamar Dagang Indonesia, Suryo Sulisto Bambang mengatakan, heboh mengenai orang Indonesia terlibat dalam pendirian perusahaan off-shore atau paper company, perlu ditelaah dengan hati-hati. 

“Sebagian besar dari perusahaan itu sudah lama tidak beroperasi alias sudah tutup,” kata Bambang. – Rappler.com

BACA JUGA:

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!