Kapan kita terbiasa mendengar aspirasi ‘Papua Merdeka’?

Zely Ariane

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kapan kita terbiasa mendengar aspirasi ‘Papua Merdeka’?

AFP

Bukankah inilah saatnya Indonesia mendengar?

Sdikitnya sembilan orang anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Timika ditangkap, pada Selasa, Selasa, 5 April.

Mereka ditangkap saat menghadiri ibadah untuk mendoakan negara-negara anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) menerima keanggotaan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai anggota penuh MSG. 

Penangkapan diiringi penembakan dan pemukulan. Kabarnya, hingga saat ini, kesembilan orang tersebut masih ditahan. 

Peristiwa tersebut ada di antara berbagai penangkapan sejak 2013 di Papua. Terdapat 653 penangkapan dari April 2013-Desember 2014 (ICP: 2015); 444 penangkapan pada Mei 2015 saja, dan total 479 penangkapan dari 30 April-1 Juni 2015 (KNPB: 2015). 

Akhir tahun lalu, 303 orang pemuda-pemudi Papua ditangkap di Jakarta, dua dipukul, dan tiga di antaranya dijadikan tersangka hanya karena hendak mengikuti demonstrasi damai peringatan hari bersejarah Papua, pada 1 Desember.

Rasanya ironis, hanya dalam 18 bulan pemerintahan Jokowi-JK, lebih dari 1.000 penangkapan telah terjadi di Papua. Saya ingat, Jokowi menang karena dititipkan banyak aspirasi demokrasi di pundaknya. Apalagi dari Papua.

Penangkapan ini terjadi khususnya terhadap aktivis-aktivis pro kemerdekaan anggota-anggota KNPB, masyarakat adat yang berjuang untuk hak-hak ulayatnya, serta masyarakat biasa yang tanpa sebab jelas turut menjadi sasaran represi aparat.  

Tren penangkapan dan kekerasan oleh aparat keamanan di Papua meningkat selama proses penggalangan dukungan, hingga diterimanya ULMWP menjadi anggota peninjau atau pengamat di forum MSG pada Juni 2015 lalu.

Termasuk di antaranya, penurunan papan nama kantor ULMWP di Wamena pertengahan Februari lalu, diikuti pemanggilan beberapa orang terkait peristiwa itu. 

MSG merupakan forum resmi diplomatik di Pasifik, bukan forum informal, di mana Indonesia dan Papua berada di satu forum keanggotaan badan resmi. 

Ketika ULMWP diterima di forum MSG, bahkan forum itu menawarkan ruang dialog antara Indonesia dan Papua, pemerintah malah menolak dan justru makin gencar mengkriminalisasi ULMWP. 

Menurut saya, pemerintah Indonesia menjadi sangat kekanak-kanakan, tidak elegan apalagi bijaksana dalam menanggapi perkembangan di Pasifik Selatan yang semakin memberi perhatian pada upaya perdamaian di Tanah Papua. 

Bukannya menginformasikan pada kita apa yang sudah dihasilkan oleh forum MSG terkait Papua, pemerintah malah sibuk membangun blok Melanesia Indonesia (Melindo) yang terbukti tidak mendapat dukungan akar rumput, apalagi di Papua. 

Di dalam situsnya, Kemenlu sama sekali tidak mencantumkan ULMWP sebagai anggota peninjau dalam forum MSG. Aneh sekali. 

Kenapa pemerintah Indonesia tidak mau mengakui semangat forum MSG yang begitu lugas mendukung perubahan di Papua, sementara Indonesia menjadi anggotanya? 

Menanggapi kedatangan Menkopolhukam Luhut Pandjaitan baru-baru ini ke Fiji, Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasye Sogavare menyambut baik bantuan kemanusiaan 5 juta dolar AS kepada negara anggotanya, Fiji, sebagai upaya pemulihan pasca Topan Winston. 

Sogavare menegaskan dua hal penting yang akan tetap menjadi agenda MSG, yaitu dialog tentang masa depan bangsa Papua Barat, serta memverifikasi informasi tentang pelanggaran HAM di Papua sesuai misi Pacific Islands Forum (PIF) September lalu.   

Tetapi mengapa justru di negeri kita sendiri ruang yang sama tidak diberikan buat Papua? Kapan kita pernah mendengar pemerintah mengakui, apalagi minta maaf, terhadap pelanggaran HAM di Papua sejak awal Indonesia hendak membawa Papua ke dalam integrasi?

Berkali-kali kita mendengar frasa “internasionalisasi isu Papua” sebagai sebuah hal yang berkonotasi negatif. 

Menurut saya sangat aneh dan paranoid, seperti bukan seorang reformis atau demokratik sejati.

Massa dari Aliansi Mahasiswa Papua meneriakkan yel-yel saat terlibat kericuhan dengan petugas kepolisian ketika aksi di Kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI) Jakarta, Selasa (1/12). Aksi yang diikuti ratusan mahasiswa Papua itu dibubarkan oleh kepolisian karena tidak memiliki ijin untuk melakukan unjukrasa. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/pras/15

Kita hidup berdampingan dengan damai di dunia internasional, sudah selayaknyalah tiap persoalan, khususunya HAM, menjadi keresahan dan kepedulian negara maupun aktor-aktor non negara lainya. 

Bukankah atas dasar itu juga Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan OKI dan paling depan membela kemerdekaan Palestina?

Kenapa elemen-elemen sipil Papua tidak boleh mencari dukungan dan solidaritas terhadap persoalan HAM wilayahnya ke berbagai pihak, nasional maupun internasional, ketika persoalan tersebut tidak cukup mendapat perhatian Jakarta? Bukankah itu juga yang dilakukan Aceh dan Timor Leste dulu? 

Memang di Indonesia sedang dilanda musim represi. Kriminalisasi rakyat yang melawan penguasa dan pengusaha bertambah; serangan terhadap kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berekspresi meningkat; ruang-ruang menyampaikan aspirasi menyempit; jalan keadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu semakin suram.

Dan sedihnya, semua elemen penyempitan ruang demokrasi itu telah lebih dulu, dan telah lama, ada di Tanah Papua. 

Kasus-kasus penyiksaan, penganiayaan, pembunuhan di luar hukum, kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan yang terjadi bergantian sejak April 2013 hingga saat ini. 

Komnas HAM melalui pernyataan sikapnya 4 Maret 2016 turut mempertanyakan komitmen Jokowi menyelesaikan penegakan HAM di Papua. Dan baru saja Komnas HAM menyatakan penolakannya terhadap rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran dan peradilan. 

Sementara kasus-kasus pelanggaran HAM yang semestinya ditindaklanjuti Kejaksaan Agung dibiarkan berdebu; Direktorat penanganan pelanggaran berat HAM di Kejaksaan Agung telah dihapus. 

Semua ini hanya menunjukkan betapa hukum Indonesia begitu pendek daya jangkau keadilannya bagi kawan-kawan kita di Papua sana.

Di tengah ruang-ruang yang begitu sempit, kehadiran ULMWP atau Gerakan Pembebasan Papua Barat Bersatu, adalah babak baru dalam konsolidasi politik di Papua. 

ULMWP dibentuk dalam Deklarasi Saralana, 6 Desember 2014, di Vanuatu. Tiga elemen besar perjuangan Papua Merdeka bersepakat mendirikannya: West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB), dan Parlemen Nasional Papua Barat (PNPB). 

Kehadirannya menunjukkan 3 hal:

Pertama, aspirasi rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri tidak pernah surut, dan ULMWP telah menjadi payung bagi ekspresi politik persatuan pembebasan Papua saat ini.  

Kedua, dukungan internasional, pada khususnya negara-negara dan solidaritas Melanesia di Pasifik Selatan—dipimpin oleh Vanuatu dan Kepulauan Solomon—semakin membesar.

Diakuinya ULMWP sebagai anggota peninjau/pengamat dalam MSG bersama-sama dengan negara Indonesia sebagai anggota asosiasi, telah mendudukkan Indonesia dan Papua di forum legal dan resmi yang sama.

Ketiga, pendekatan “pembangunan” pemerintah Indonesia melalui kontrol dan kekerasan aparat keamanan tidak bisa membeli “nasionalisme” Indonesia di Papua. ULMWP hadir sebagai sikap, sekaligus kekuatan politik, yang menuntut didengarkan oleh Jakarta.

Namun, ketimbang mendengarkan dan menyambut tawaran MSG terhadap dialog, pemerintah Indonesia tetap meneruskan pendekatannya yang paranoid dan represif. 

Dialog politik penyelesaian Papua sebagai jalan tengah yang ditawarkan elemen sipil, seperti Jaringan Damai Papua dan LIPI, selama ini tidak digubris. 

Perhatian kita disita oleh gegap gempitanya program-program infratruktur pemerintah Jokowi-JK di Papua.

Mulai dari pembangunan jalan tembus, pelabuhan, kawasan industri baru di Bintuni, pemudahan izin-izin usaha, pembukaan investasi baru di sektor perkebunan dan pertambangan, mega proyek pangan di Merauke, dan seterusnya.

Padahal semua itu terjadi di tengah kebebasan berkumpul dan berekspresi yang sudah terlalu lama dikebiri di Papua. Hingga saat ini kuasa aparat tak ada yang bisa kontrol, walau Jokowi membebebaskan beberapa tahanan politik—puluhan lainnya masih mendekam di penjara; dan membuka akses pers asing ke Papua—sementara izin dan kontrol masih saja berbelit-belit

Wajar saja jika program-program pembanguan disambut dingin

Mau kita akui atau tidak, tutupi atau marah, sejak awal suara-suara Papua Merdeka sudah ada, tak bisa dihentikan dengan Trikora 1961; New York Agreement 1962; Pepera 1969; rangkaian operasi militer sejak 1961-1998; otonomi khusus 2001; hingga sekarang lewat semua janji-janji infrastruktur dan investasi ekstraktif berbasis sumber daya alam. 

Bukankah inilah saatnya Indonesia mendengar? Tidakkah saatnya tiba kita beranjak dewasa secara politik?

Saya pikir, Indonesia kita ini bukan milik aparat. Indonesia dibangun oleh rakyat, kita semua, yang berjuang untuk kemerdekaan berkumpul, bersuara dan berekspresi demi kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial. 

Dalam Pembukaan UUD 1945 pendiri republik ini telah mengamanatkan bahwa negara wajib “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.

Kita semestinya menghendaki pemerintah Indonesia lebih baik dari hari ini, dan atas dasar itulah saya pikir Papua harus kita dengarkan, sekalipun mereka meminta kemerdekaan. 

Seperti 1965, Papua Merdeka harus kita keluarkan dari ketabuan dan mitos-mitos Orde Baru. Agar melalui Papua, kita mengetahui siapa dan apa Indonesia sebenarnya. 

Kita generasi bangsa yang sudah jauh lebih dewasa, dan tidak menginginkan lebih banyak pertumpahan darah ala “NKRI Harga Mati” atas nama bangsa Indonesia. 

Mudah-mudahan kita tidak ketularan penyakit paranoia. —Rappler.com

Zely Ariane adalah koordinator Papua Itu Kita, sejak 2012 tergerak untuk me-mainstreaming isu-isu Papua yang tabu di Jakarta.

Setiap pekannya, kami menerima tulisan-tulisan yang bertemakan tentang Papua. Jika Anda tertarik, kirim email ke indonesia@rappler.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!