Aroma narkoba dari balik tembok penjara narkotika

Kanis Dursin

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Aroma narkoba dari balik tembok penjara narkotika
Kita harus jujur saja, banyak barang (narkoba) masuk penjara. Kalau banyak barang masuk, lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya?

JAKARTA, Indonesia – Rendi bin Aih Matsani, 29 tahun, tampak kikuk ketika ditanya mengenai kegiatannya sehari-hari di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika Cipinang, Jakarta Timur baru-baru ini.

“Saya belajar membuat roti, Pak,” kata Rendi, demikian ia biasa dipanggil oleh teman-temannya, sambil menggaruk-garuk kepala.

Rendi mengaku sudah mahir membuat roti dan ingin menekuni bisnis roti selepas keluar dari penjara. “Saya bertobat Pak, saya tidak mau lagi mengkonsumsi atau menjual narkoba. Saya kapok,” katanya.

Rendi, yang mengaku tamatan Sekolah Teknik Mesin dan pernah magang di bengkel resmi Yamaha di Jakarta, sedang menjalani vonis penjara 4,5 tahun karena terbukti mengkonsumsi dan menjual narkoba pada 2013.

Persis di depan toko roti tempat Rendi ‘dibina’, Ahmad Taher, 45 tahun, belajar membuat meubel, termasuk lemari, meja, dan kursi. Dia mengaku tidak mempunyai pekerjaan tetap sebelum ditangkap pada 2011 dan masih bingung apa yang akan dikerjakan setelah keluar dari penjara.

“Saya menjual ganja untuk menambah penghasilan keluarga sehingga bisa menyekolahkan anak. Tetapi sekarang dia tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena saya meringkuk di penjara ini. Saya sedih sekali,” kata pria yang dihukum 7 tahun 2 bulan penjara ini.

Rendi dan Ahmad Taher adalah dua dari 3.068 narapidana di Lapas Narkotika Cipinang, lembaga pemasyarakatan narkoba pertama di Indonesia. Diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2003, lapas ini mempunyai 4 blok hunian, dengan 510 kamar dari 4 tipe. Tipe satu (dirancang untuk satu orang) kini diisi dengan tiga orang, tipe 3 dengan 7 orang, tipe 5 dengan 9 sampai 11 orang, dan tipe 7 dengan 21 sampai 25 orang.

“Kondisi hunian memang tidak normal dan ketidaknormalan ini membawa dampak terhadap pemenuhan kebutuhan para napi akan listrik, air, dan fasilitas lain,” kata Kepala Lapas Andika Prasetya kepala Rappler di kantornya.

Kabar buruknya adalah jumlah narapidana dan tahanan narkoba di Jakarta jauh di atas 3.068 orang. Menurut Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manunsia I Wayan K. Dusak, jumlah napi dan tahanan narkoba di Jakarta mencapai 14.286 orang, atau 88 persen dari total penghuni penjara yang jumlahnya mencapai 16.173 orang. Dari 14.286 kasus narkoba itu, 8.009 orang adalah bandar dan pengedar, dan hanya 6.777 pengguna.

“Hampir 70% penghuni lapas umum di Jakarta adalah napi narkotika,” ujar Dusak.

Ini berarti, de facto semua lembaga pemasyarakatan di Jakarta saat ini menjadi lapas narkotika.

Di tingkat nasional, jumlah tahanan dan napi narkoba mencapai 61.653 orang, atau  34 persen dari 181.978 napi dan tahanan di seluruh Indonesia pada Maret 2016.

Dengan 14.286 kasus, Jakarta menempati urutan pertama daftar napi dan tahanan narkoba, diikuti oleh Jawa Barat dengan 6.796 orang, Sumatera Utara 6.766 orang, Riau 3.723 orang, Kalimantan Selatan 3.448 orang, dan Kalimantan Timur 3.394 orang.

“Sekarang ini, narkoba memengaruhi generasi muda kita secara massive dan bukan tidak mungkin (Indonesia akan mengalami) loss generation gara-gara narkoba ini,” lanjut Dusak.

Yang mengkawatirkan, menurut Dusak, adalah 65 persen dari 61.653 tahanan dan napi narkoba di penjara saat ini adalah para bandar dan pengedar. “Biasanya, jumlah pemakai yang masuk penjara lebih besar dari para bandar dan pengedar. Tidak di Indonesia. Ini berarti, jaringan narkoba di sini sangat besar,” katanya.

Dalam undang-undang No. 35, 2009 tentang narkotika, pelaku kejahatan narkoba diancam dengan hukuman mati. Dan memang, pada 2015 saja, Indonesia mengeksekusi mati 14 orang terpidana narkoba.

Kecemasan sang dirjen bukan tanpa alasan. Menurut Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol. Budi Waseso, jumlah pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5,9 juta orang pada November 2015, naik dari 4,2 juta orang pada Juni 2015. 

Lapas umum dengan “bumbu” narkoba

Sesuai dengan namanya, Lapas Narkotika Cipinang menampung narapidana narkoba saja: bandar, pengedar, dan pemakai. Namun, embel-embel narkobanya berakhir di situ. Menurut Dusak, struktur lapas, kegiatan harian, dan program pembinaan napi di Lapas Cipinang, dan lapas narkotika lain di Indonesia, tidak berbeda dari lapas umum di tanah. 

Jadwal harian di lapas memang diatur dan dijalani secara ketat mulai dari bangun pagi sampai tidur lagi di malam hari. Bangun pagi jam 6:00, langsung apel di kamar masing-masing untuk mengecek keberadaan napi. Jam 7:00: makan pagi di kamar masing-masing. Sesudah itu, mereka boleh keluar kamar untuk berolahraga atau membersihkan lingkungan, kamar, dan halaman.

Setelah olahraga, para napi mengikuti program pembinaan, baik kepribadian dan sosial. Ada yang belajar membuat roti seperti Rendi atau membuat meubel seperti Ahmad Taher, ada juga yang belajar memasak, menjahit, menggunting rambut, dan membuat handicraft. Ada juga yang mengambil program pendidikan untuk mendapatkan ijazah paket C dan kursus komputer. Dan ada juga yang mengikuti pembinaan kepribadian kerohanian.

“Pembinaanya sama dengan napi lain: kemandirian dan keterampilan. Secara umum semuanya seperti itu, termasuk untuk napi teroris atau koruptor. Kita tidak mempunyai program khusus untuk napi narkoba,” ujar Dusak.

Idealnya, lanjut Dusak, narapidana narkoba ditempatkan di penjara khusus dengan program pembinaan yang berbeda dari narapidana umum. “Yang membedakan Lapas Narkotika dari lapas lain hanyalah nomenclature atau namanya dan orang-orang yang dipenjara di sana,” ujar Dusak.

“Kalau napi terorisme mempunyai program de-radikalisasi, napi narkoba tidak punya program de-narkobanisasi. Kalau pun ada, jumlah peserta yang ikut sangat sedikit,” kata Dusak.

Yang Dirjen Dusak maksud dengan de-narkobanisasi adalah program rehabilitasi yang dilakukan BNN 6 bulan sebelum seorang napi keluar dari penjara. Sepanjang 2015, BNN merehabilitasi 3.845 napi narkoba di seluruh Indonesia, termasuk 60 orang dari Lapas Narkotika Cipinang.

“Tahun ini kita ajukan 1.000 orang napi tetapi sepertinya tidak akan mencapai 1.000 orang. Kami sudah mengadakan beberapa kali rapat, dan sepertinya angka (peserta rehabilitasi dari Lapas Narkotika Cipinang) tidak akan sampai 1.000 orang karena masalah anggaran,” kata Andika.

Sebelumnya, Deputi Rehabilitasi BNN Diah Hutami mengatakan kepada Rappler bahwa pihaknya akan melakukan program rehabilitasi untuk 3.700 orang sepanjang 2016.

Tidak semua napi narkoba yang selesai masa penjara bisa mengikuti program rehabilitasi. Program itu hanya untuk pengguna yang menunjukkan itikad tidak akan mengonsumsi narkoba lagi kalau sudah bebas dari hukuman penjara. Sementara para bandar dan pengedar tidak mengikuti program rehabilitasi.

“Kalau rehabiltiasi, bagi mereka dengan kategori pengguna saja dan berdasarkan penilaian dokter lapas,” ujar Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IA Narkotika Cipinang, R. Andhika Dwi Prasetya.

Di Lapas Cipinang, tidak adal lagi bandar, pengedar, atau pemakai. Mereka semua narapidana, membaur dan hidup bersama. Makan, tidur, olahraga, bersihkan halaman, dan melakukan berbagai kegiatan di dalam penjara secara bersama-sama.

“Untuk kamar tidur, kita tentukan berdasarkan observasi awal, karakter napi, dan hukuman. Kita tidak membedakan-bedakan antara bandar, pengedar, atau pemakai, kecuali orang asing,” kata Andika.

Narapidana orang asing, yang jumlahnya mencapai puluhan dari 20-an negara, memang ditempatkan di kamar tidur tersendiri. “Orang asing-orang asing ini bandar semuanya,” kata Andhika.

Ketika seorang napi dimasukkan ke Lapas Cipinang, dia harus mengikuti pemeriksaan kesehatan menyeluruh. Napi yang sehat akan ditempatkan di ruang isolasi selama satu bulan untuk observasi, sementara yang masih tergantung pada narkoba harus menjalani terapi medis.

“Kami merawat secara kesehatan karena biasanya kondisi kesehatan pecandu jelek. Kedua, kita turunkan ketergantungan mereka dengan zat pengganti narkoba metadon,” kata Andika, sambil menambahkan: “Saat ini 34 orang pecandu masih mengikuti program rehabilitas medis.”

Aroma narkoba dari lapas narkotika

Berbagai langkah diambil pihak lapas untuk memastikan tidak ada lagi narkoba beredar di dalam lapas. Mulai dari sistim keamanan berlapis, lengkap dengan body search, larangan para petugas untuk membawa telepon genggam di tempat-tempat tertentu, sampai mengharuskan para pengunjung memakai sandal yang disiapkan pihak lapas sebelum bertemu dengan anggota keluarga atau kenalan yang sedang menjalani hukuman.

Pihak lapas juga melakukan razia setiap hari, termasuk melakukan body search terhadap para napi, dan memeriksa secara teliti semua item yang ada di dalam kamar mereka.

Hasilnya?

“Selama razia, tidak jarang petugas lapas menemukan bong – alat isap narkoba dari botol – lengkap dengan alat sedotan dan plastik kosong yang diduga bungkusan narkoba. Dan hampir setiap kali melakukan razia, petugas menemukan telepon genggam, padahal sudah ada warung telepon di lapas,” kata Andika.

“Alat isap itu adalah gambaran masih ada penyalahgunaan narkoba di lapas. Barang-barang tersebut berada di tempat sampah dan sulit kita mengarahkan ke orang tertentu.” 

“Fakta bahwa petugas lapas melakukan razia setiap hari menunjukkan bahwa memang kita meyakini masih ada penyalahgunaan dan peredaran narkoba di dalam (penjara)”, ujar Andika.

Dia menduga oknum orang lapas sendiri ikut bermain dalam peredaran narkoba di lapas kelas satu itu. “Kalau pengunjung dan anggota keluarga, mereka sudah mengikuti prosedur. Pegawai pun sudah mempunyai prosedur tetap. Siapa lagi kalau bukan orang dalam,” kata Andika.

Dirjen Dusak tidak menampik adanya peredaran narkoba di lembaga pemasyarakatan di Indonesia, termasuk di lapas khusus untuk narapidana narkoba.

“Kita harus jujur saja, ternyata banyak barang (narkoba – Red) masuk (penjara). Kalau banyak barang masuk, lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya? Jangan sembunyikan data-data itu,” kata Dusak.

Dusak yakin tidak semua 514 lapas di Indonesia mempunyai masalah dengan narkoba. Pihaknya pun telah meminta Kantor Wilayah Provinsi untuk melakukan pemetaan dan menetapkan lapas bebas narkoba dalam program mereka.

“Kalau mau steril narkoba, kita harus pisahkan lapas narkoba dari lapas bebas narkoba,” kita Dusak.

Ketika ditanya mengenai alasan belajar membuat roti sebagai program pembinaan sosialnya, napi Rendi berhenti sejenak sebelum menjawab. 

“Daripada bengong di kamar dan tergoda narkoba lagi, lebih baik saya menyibukkan diri dengan membuat roti,” katanya.

Tetapi dia enggan memberi informasi kalau para napi masih mempunyai akses ke narkoba di dalam penjara. “Tidak tahu Pak, saya tidak tahu,” katanya. – Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!