Buruk muka Charlie Heboh dibelah

Aan Anshori

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Buruk muka Charlie Heboh dibelah

EPA

Menyikapi terbitnya Charlie Heboh secara lebih dewasa adalah solusi cerdas yang bisa dipertimbangkan umat Islam, ketimbang membelah cermin yang memantulkan refleksi jujur atas posisi kita terkait pernikahan anak.

Kemunculan majalah kartun Charlie Heboh (CH) tak seheboh perkiraan saya. Media sosial merespon copycat Charlie Hebdo ini relatif biasa, masih kalah bersaing dengan gegap gempita reklamasi pantai utara Jakarta yang menumbalkan Sanusi dan dua elit Podomoro.

Meski demikian, Menteri Agama Lukman Hakim dan MUI meresponnya seperti asumsi saya, defensif. CH dituding tak beretika oleh MUI.

Bahkan, ini yang agak mengagetkan saya, Mas Lukman mengirim sinyal provokatif. Ia mengingatkan pemilik majalah ini akan peristiwa pengeboman kantor Hebdo di Paris beberapa tahun lalu. Menag sangat tampak kuatir CH bisa memicu kemarahan umat Islam Indonesia –kemarahan yang pasti akan membuatnya jadi sorotan jika membuncah sebagai kekerasan.

Meributkan Isi

Emosi umat Islam pasti terpental-pental melihat cover kartun HB. Di sana, terpampang vulgar gambar lelaki brewok berdoggy-style ria memaksa anak perempuan berkepang. Si brewok mengucap ‘Ana sedang menjalankan Sunnah Nabi’ –sambil terus menggerus rengekan si anak yang masih ingin sekolah.

Saya tengah meraba, apa yang membuat banyak pihak gusar atas majalah ini -setidaknya sampulnya. Apakah ada kesalahan konten? Atau lebih karena vulgaritas penggambaran isi tersebut? Saya tak menemukan penjelasan lebih selain tuduhan menghinakan umat Islam yang berpotensi meresahkan.

Dugaan saya, kemarahan terhadap cover HB lebih dikarenakan pada aspek vulgaritas, bukan konten. Dalam islam, ada beberapa topik yang berstatus -meminjam istilah Stephen Murray (1997)- “the will not to know‘, misalnya terkait seksualitas dan perbudakan.

Watak ajaran Islam yang cenderung permisif terhadap topik ini acapkali membuat banyak muslim rikuh membincangnya ke publik. Sedangkan mengamputasinya bukanlah hal yang mudah.

Siapapun redakturnya, dia cukup jeli memilih topik yang akan dibidik. Tidak sembarang. Isu perkawinan anak adalah salah satu isu pelik yang tidak hanya dipicu eskalasinya oleh problem keterpurukan ekonomi. Justifikasi agama tidak boleh disepelekan.

UNFPA mencatat banyak negara dengan mayoritas muslim bermasalah dengan isu ini. Mereka dianggap permisif terhadap perkawinan anak. Di negara ini, tidak kurang 6,9 juta anak perempuan berusia 13-19 tahun telah menikah pada 2012.

Komnas Perempuan menemukan tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga terhadap para istri yang berusia 13-19 tahun. “Mereka belum siap berumah tangga secara mental,” kata Masruchah. Perkawinan usia muda menyebar begitu massif dari Aceh hingga Papua. Prevalensi tinggi terjadi di Jawa, Sumatra, NTB, Kalimantan dan Sulawesi Selatan.

Komitmen memberikan perlindungan terhadap masa depan anak (perempuan) dari gurita perkawinan dini membentur tembok secara nyaris sempurna. Ini setelah Mahkamah Konstitusi menolak mengabulkan judicial review sekelompok aktivis dan cendekia menyangkut ambang batas minimal usia perkawinan –dari 16 tahun ke 18 tahun.

Dari konsiderasi putusannya, betapa MK –selain Hakim Maria- menjadikan agama sebagai salah satu basis argumennya; “Semua agama yang berlaku di Indonesia memiliki aturan masing-masing dalam perkawinan dan hukum agama tersebut mengikat semua pemeluknya, sedangkan negara memberikan pelayanan dalam pelaksanaan perkawinan dengan aturan negara termasuk pencatatan secara administrasi guna kepastian hukum bagi pasangan suami-istri maupun keturunannya.

Salah satu contohnya, agama Islam tidaklah mengatur mengenai usia minimum perkawinan akan tetapi yang lazim adalah dikenal sudah aqil baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, sehingga dapat memberikan persetujuannya.

Pandangan MK ini nampak ingin memotret utuh realitas di kalangan mayoritas muslim Indonesia. Kita tahu, selain mitos keperawanan, tidak sedikit pria melakukan praktik pedofilia terhadap anak perempuan karena merasa diperbolehkan agama. Kehebohan Syeh Puji mengangkangi Ulfa yang masih bau kencur tidak akan lenyap dari sejarah Indonesia.

Delapan tahun lalu, pria brewok ini bahkan berambisi menambah dua lagi agar koleksi “kimcil”nya genap tiga. “Kalau Ulfa umurnya 12 tahun, gadis yang lain ada yang umurnya 9 tahun dan satu lagi 7 tahun,” tegasnya.

Kecaman silih berganti membombardir Puji. Namun dukungan atasnya juga tidak kalah banyak. HTI dan kampiun poligami yang juga bos rumah makan, Puspo Wardoyo, berada di belakang keputusan Puji. Fauzan al-Anshori, waktu itu masih aktif di Majelis Mujahidin Indonesia, menyebut tindakan puji sesuai dengan ajaran rasul. Melarangnya, kata Fauzan, merupakan upaya pendangkalan iman.

Sikap ambigu juga ditunjukkan Asrorun Ni’am, ketua Komisi Fatwa MUI kala itu. Meski ikut menyayangkan tindakan Puji akan tetapi Niam menyebut praktik tersebut tidak dilarang hukum Islam (fiqh).

Rusuh atau berdewasa

CH memang punya cara unik sekaligus intimidatif dalam menyatakan pendapatnya. Memang, cara seperti ini cukup mudah menyulut kemarahan orang Islam yang kurang bisa menerima kritik.

Apalagi jika sudah menyinggung hal dasar, misalnya institusi kenabian atau praktik ajaran maupun ritual. Umat Islam Indonesia, menurut saya, cukup sensitif menyangkut hal-hal tersebut.

Jika anda masih ingat, Arswendo Atmowiloto pernah mendekam di Cipinang hanya karena dituduh melecehkan Nabi Muhammad. Gara-gara, pollingnya melalui Tabloid Monitor meletakkan junjungan umat Islam ini di posisi 11, jauh di bawah Suharto dan tepat setelah ranking Arswendo sendiri.

Publik juga tidak lupa. Salman Rushdie hingga kini masih berstatus most wanted. Nyawa penulis The Satanic Verses ini  dibandrol Rp 3,3 miliar oleh Khordad foundation setelah pada tahun 1989 pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Khomeini, memfatwa Rushdie karena dianggap menghina Islam –meskipun belakangan Pemerintah Iran mengklaim tidak lagi ikut campur atas hal ini.

Harus diakui, tidak sedikit muslim tampak ringkih dan mudah berekspresi destruktif saat kritikan menembus ulu hatinya. Dengan mempublikasi majalah tersebut, barangkali CH berintensi membuat kegaduhan di Indonesia, suatu sikap yang harusnya dipertimbangkan secara masak oleh setiap orang.

Meski dalam pandangan saya, menjadi lebih dewasa menyikapi CH merupakan solusi cerdas yang bisa dipertimbangkan oleh umat Islam, ketimbang menari di atas tabuhan orang lain seraya membelah cermin yang bisa jadi memantulkan refleksi jujur atas posisi kita menyangkut perkawinan anak. – Rappler.com

Aan Anshori koordinator Jaringan Islam Anti-Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur. Pernah nyantri di Tambakberas Jombang dan Kedungmaling Mojokerto. 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!