Akankah Abu Sayyaf membebaskan 10 sandera Indonesia?

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Akankah Abu Sayyaf membebaskan 10 sandera Indonesia?
Kemungkinan besar cara yang ditempuh untuk membebaskan 10 WNI yakni dengan membayar uang tebusan.

JAKARTA, Indonesia – Alunan suara dzikir dan doa terdengar dari kediaman keluarga Bayu Oktaviyanto, salah satu awak kapal tunda Brahma 12 yang diculik oleh kelompok Abu Sayyaf di lepas pantai Kepulauan Sulu, Filipina pada Sabtu, 26 Maret. Artinya, sudah lebih dari dua pekan Bayu dan 9 kru lainnya disandera oleh kelompok yang berdiri sejak tahun 1990an itu.

Ayah Bayu, Sutomo, mengaku khawatir putranya akan dilukai oleh anggota kelompok teroris itu.

“Kami meminta foto atau video kondisi terakhir para sandera. Setidaknya agar kami merasa sedikit lega,” ujar Sutomo ketika ditemui Rappler di kediamannya di Klaten, Jawa Tengah, pada Jumat, 8 April, 

Sutomo mengaku kegelisahannya semakin menjadi ketika media ramai memberitakan batas waktu penyerahan uang tebusan sebesar 50 juta Peso atau setara Rp 14,2 miliar jatuh pada Jumat kemarin. Tetapi, ketika diberi kabar oleh perusahaan bahwa penculik tidak pernah menetapkan tenggat waktu, dia merasa sedikit lega.

Sutomo dan keluarga kemudian mendesak agar perusahaan segera mengambil keputusan untuk menebus para sandera.

“Kami ingin agar putra kami segera bebas. Kami sudah berbicara melalui telepon dengan perwakilan perusahaan agar segera menebus para sandera,” kata Sutomo.

Perlukah membayar uang tebusan?

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan pengamat Filipina Adriana Elisabeth mengatakan walau membayar uang tebusan merupakan cara tercepat untuk membebaskan para sandera, tetapi itu bukan satu-satunya opsi menyelamatkan nyawa ke-10 warga negara Indonesia itu.

Dari data yang ditelusuri di media online, sebagian besar sandera memang baru dibebaskan setelah keluarga atau kerabat mereka menyerahkan uang tebusan.

“Tetapi, sejak awal pemerintah telah menolak untuk membayar uang tebusan. Jika pemerintah tidak mau membayar, apakah mereka bisa meminta perusahaan pemilik kapal yang membayarnya?” tanya Adriana ketika dihubungi Rappler melalui telepon pada Senin, 11 April.

Rahayu (47) ibu dari Bayu Oktavianto menggendong anak putrinya saat menanti kabar terbaru di Miliran, Delanggu, Klaten, Jawa Tengah, Jumat, 8 April. Foto oleh Aloysius Jarot Nugroho/ANTARA

Adriana mengingatkan dalam upaya pembebasan sandera, harus dilakukan komunikasi yang intensif dengan kelompok Abu Sayyaf. Sebab, jika nantinya disepakati opsi membayar uang tebusan, Indonesia sudah memiliki orang yang bisa dikontak di kelompok tersebut.

Selain itu, fungsi dari dibangunnya komunikasi bertujuan agar lebih memahami faksi mana yang menyandera ke-10 WNI. Sebab, di Filipina selatan, ada beberapa faksi yang melakukan tindak kriminal serupa.

“Saya tidak tahu siapa yang melakukan kontak dengan mereka. Tetapi, bisa saja yang melakukan kesepakatan adalah pihak perusahaan karena pemerintah tidak ingin berhadapan langsung dengan teroris,” kata dia.

Adriana menyarankan orang yang menjadi bagian dari tim negosiator adalah individu yang pernah berhubungan dengan kelompok itu.

“Teroris itu kan disebut pelaku tindak kriminal lintas negara. Artinya, kita juga harus tahu siapa-siapa saja yang menjadi jaringannya. Jadi, salah satunya bisa juga melalui individu (yang tergabung dalam jaringan) tersebut,” tutur Adriana.

Narapidana Bom Bali I, Umar Patek, disebut sempat mengajukan diri sebagai negosiator untuk membebaskan 10 sandera. Sebagai imbal baliknya, mantan anggota Jemaah Islamiyah itu meminta agar diberikan remisi hukuman. Tetapi, usul tersebut sudah ditolak oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Adriana tidak menampik jika uang tebusan diberikan maka bisa memicu tindak penculikan serupa terjadi lagi di lain waktu.

“Itu berarti, pengamanan di area laut antara Indonesia dengan Filipina dan Malaysia perlu ditingkatkan. Kelompok yang beroperasi di kedua area itu mungkin saja berbeda, tetapi mereka pasti terhubung satu sama lain,” tutur dia.

Lagipula, dia melanjutkan, kelompok Abu Sayyaf memang mencari penghasilan dengan membajak. Hal tersebut telah mereka lakukan sejak tahun 1990an.

Lalu, apa langkah lain yang ditempuh Indonesia jika tidak ingin membayar uang tebusan?

Adriana menilai Indonesia harus terus menekan Pemerintah Filipina agar mengupayakan pembebasan 10 sandera.

“Jadi, tekanan ke Pemerintah Filipina harus terus ditingkatkan. Jangan ditunggu saja. Harus ada upaya paralel antara Pemerintah Indonesia dengan Filipina dalam upaya pembebasan sandera,” tutur dia.

Adriana berpendapat karena upaya pembebasan sandera menjadi ujian bagi negara anggota ASEAN. Seharusnya, kata dia, ada mekanisme yang dimiliki organisasi Asia Tenggara itu untuk mempermudah cara mengatasinya.

Bangun rasa percaya

Sementara itu, menurut sumber Rappler yang ikut terlibat dalam upaya pembebasan 10 WNI, pemerintah tengah membangun rasa percaya dengan pihak Abu Sayyaf untuk  memudahkan realisasi dari berbagai opsi yang nantinya ditempuh, termasuk jika harus membayar uang tebusan.

Sumber itu juga membenarkan adanya rencana untuk melibatkan Umar Patek dalam proses negosiasi. Namun, kemungkinan besar rencana itu tidak terealisasi karena sudah bocor di media.

“Dia kan sudah pernah tinggal lama di Filipina selatan dan memiliki koneksi dengan jaringan itu. Intinya, kami masih melakukan semua komunikasi yang dianggap perlu,” tutur sumber tersebut menjelaskan alasan turut melibatkan Umar Patek.

Sumber itu juga menyatakan kemungkinan besar opsi yang ditempuh Indonesia yakni membayar uang tebusan. Namun, yang membayar adalah pihak perusahaan yaitu PT Patria Maritime Lines.

Aktivitas di halaman gedung PT Patria Maritime Lines, di kawasan Jababeka, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu, 30 Maret. Foto oleh Risky Andrianto/ANTARA

“Tetapi, kalau sudah fixed mau bayar, yang jadi pertanyaan kemudian, uang itu diletakan di mana? Kalau uang itu diletakan di pulau kan harus diantar dengan kapal. Apakah Abu Sayyaf yakin jika kapal yang mengantarkan dalam keadaan kosong?” tanya sumber tersebut sambil menyebut di situlah kegunaan membangun rasa percaya.

Dia melanjutkan, uang tersebut akan digunakan oleh Abu Sayyaf untuk mendanai pergerakan mereka dan membeli logistik. Saat ini mereka dalam keadaan kekurangan bahan logistik.

Di masa lalu, Indonesia pernah memiliki pengalaman berhasil membebaskan sandera dari cengkeraman Abu Sayyaf tanpa perlu membayar uang tebusan. Saat itu, Kapten Kapal Bonggaya 91, Ahmad Resmiadi berhasil dibebaskan pada bulan Maret 2005 melalui operasi rahasia terpadu. Operasi yang berjalan selama berbulan-bulan itu melibatkan berbagai unsur seperti TNI, BIN, BAIS dan Polri.

Inspektur Jenderal Purnawirawan Benny Joshua Mamoto ketika itu memimpin proses negosiasi dan berhasil membebaskan Resmiadi tanpa membayar uang tebusan dan tak terluka.

Lalu, apakah operasi yang sama bisa kembali diulang? Sumber itu mengatakan kini kondisinya sudah berbeda. Apalagi pada Sabtu, 9 April angkatan bersenjata Filipina melakukan operasi militer dan gagal. Sebanyak 18 pasukan elit mereka tewas di tangan Abu Sayyaf.

Peristiwa itu terjadi di Pulau Basilan dan berada jauh dari lokasi penyekapan 10 WNI.

“Tetapi, mereka kini jadi semakin berjaga-jaga, sehingga kami pun harus antisipatif. Sambil jalan, tentu kami akan mencari solusi terbaik demi keselamatan 10 WNI,” tutur dia. – Rappler.com

BACA JUGA:

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!