Apakah mendalami agama itu salah?

Sakinah Ummu Haniy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Apakah mendalami agama itu salah?

EPA

Yang perlu dibenahi bukanlah orang-orang yang berpikir stereotipikal tersebut, tetapi bagaimana membuktikan bahwa stereotip tersebut tidak benar dengan menunjukkan kebaikan.

Saya sangat jarang membagikan atau berkomentar sesuatu di Facebook, apalagi untuk hal-hal serius. Facebook lebih sering saya gunakan untuk hal-hal menyenangkan seperti komentar di foto teman, atau sekadar main games.

Tapi pagi itu, saya menemukan sesuatu yang mendorong saya untuk berkomentar.

Sebuah video berdurasi dua menit 51 detik yang milik The Huffington Post, berjudul Being A Muslim in America — menjadi Muslim di Amerika.

Being A Muslim In America

This is what it’s like to be a Muslim in America.

Posted by The Huffington Post on Monday, March 28, 2016

Kurang lebih, beberapa orang yang diwawancara menyadari adanya stereotip di masyarakat terhadap keberadaan Muslim Amerika, dan stereotip tersebut mempengaruhi hidup orang Muslim Amerika tersebut.

Saya tergerak untuk membagikan ulang video tersebut di Facebook setelah mendengar pernyataan:

“When they see young people fasting or praying, they automatically think ‘Oh, that person is getting extreme.”

“Saat mereka melihat seseorang berpuasa, atau beribadah, mereka secara otomatis berpikir bahwa orang tersebut berubah menjadi ekstrim.”

Meskipun mungkin dalam skala yang lebih kecil, namun saya merasa Muslim di Indonesia juga mendapatkan perlakuan serupa. Dan yang lebih parahnya lagi, terkadang saya merasa pikiran stereotipikal seperti itu juga dimiliki oleh mereka yang juga Muslim.

Contoh kecilnya adalah, ketika seorang Muslim sedang berusaha memperbaiki hubungannya dengan Tuhan dengan cara memperbaiki kuantitas dan kualitas solat, atau rajin membaca Al-Qur’an, atau ikut pengajian untuk belajar agama, sebagian orang merasa bahwa hal tersebut sama dengan “menjadi ekstrim”.

Saya teringat sebuah percakapan di newsroom Rappler Indonesia suatu hari, sedang membicarakan tentang deradikalisasi sebagai pencegahan tindak terorisme. Saat itu sedang hangat isu akan dilarangnya kegiatan asistensi keagamaan di kampus-kampus sebagai salah satu upayanya.

Saya berpikir, apakah jika salah satu jalan untuk deradikalisasi adalah dengan tidak mendalami agama, apakah mendalami agama itu salah? Saya rasa sebagian orang, secara sadar atau tidak sadar, merasa hal tersebut benar adanya.

Bahkan seiring dengan maraknya kasus terorisme yang terjadi, yang sering kali dilakukan seseorang atas nama agama—Islam khususnya—banyak orang, termasuk Muslim sendiri, yang menjadi skeptis.

Dan menurut saya, skeptis adalah awal dari pikiran stereotipikal.

Mungkin memang ada sebagian dari mereka yang direkrut dari kelompok-kelompok pengajian di kampus-kampus, namun saya punya banyak teman yang rajin ikut pengajian bahkan saat mereka sudah tidak lagi berada di kampus, tapi mereka baik-baik saja.

Tapi saya pun sadar, stereotip tidak mungkin hadir begitu saja.

Itu bukan salah mereka, semua stereotip berasal dari fakta-fakta yang mereka jumpai sehari-hari.

Yang perlu dibenahi bukanlah orang-orang yang berpikir stereotipikal tersebut. Menurut saya, yang terpenting adalah membuktikan bahwa stereotip tersebut tidak benar dengan menunjukan kebaikan.—Rappler.com

Sakinah Ummu Haniy adalah multimedia Rappler Indonesia. Ia dapat disapa di Twitter, @hhaanniiyy

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!