Indonesia

Atas nama Wisata Bahari

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Atas nama Wisata Bahari
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai lengah karena tak melibatkan masyarakat setempat dalam penataan kawasan wisata bahari.

This compilation was migrated from our archives

Visit the archived version to read the full article.

JAKARTA, Indonesia — Murahim mengayuh sampannya tanpa tergesa-gesa. Warga Kampung Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, ini mengantarkan Rappler ke tempat tujuan: Pelabuhan Sunda Kelapa. 

Kami sempat berhenti di tengah perjalanan dan menikmati senja pada Selasa sore, 29 Maret lalu. Ia kemudian mulai menuturkan awal mula singgah di kampung multikultural ini. Di Kampung Luar Batang ada tiga suku, Bugis, Arab, dan Betawi, berbaur menjadi satu. 

“Dulu ini pelabuhan ramai,” ujar bapak 60 tahun ini mengenang tahun 1971 saat ia masih remaja berumur 16 tahun.  

Kompeni dan saudagar menjadikan Kampung Luar Batang yang berhadapan dengan Pelabuhan Sunda Kelapa sebagai tempat singgah. Begitu juga dengan para pelaut yang berasal dari Bugis-Makassar dan semenanjung Arab. 

Selain menjadi tempat singgah, sebuah pasar ikan pertama dan tertua di Jakarta pun dibangun. Kawasan ini seakan menjadi segitiga emas Jakarta untuk jalur perdagangan internasional saat itu, setelah Pasar Ikan dibangun.  

Kejayaan Kampung Luar Batang yang merupakan bagian dari kawasan Sunda Kelapa bisa Anda lihat di lukisan-lukisan yang tergantung di dinding-dinding Menara Syahbandar, Museum Bahari di Penjaringan. 

Nelayan menjadi tuan di rumahnya sendiri, tutur Murahim, melayani perdagangan dengan kompeni dan saudagar dari Arab. Ia masih ingat betapa gagahnya dirinya saat muda dulu, banyak duit, dan akhirnya bisa meminang perempuan yang ia taksir. 

Masa emas yang mungkin tak bisa terulang kembali, karena Murahim kini hanyalah seorang tua yang tinggal dan tidur di sampan miliknya yang sudah lapuk, bahkan bocor. 

Saat Rappler menumpang sampan itu, air perlahan merembes naik ke sampan, sehingga kami nyaris tenggelam. 

Meski demikian, Murahim dapat mengais rezeki Rp 10-20 ribu per harinya dari menyewakan jasa penyeberangan, sambil menikmati merdunya suara gemercik ombak laut Sunda Kelapa.  

Tapi itu dua pekan lalu. Suara gemercik ombak kini terkalahkan dengan tangisan tetangganya di kawasan Pasar Ikan. Pasar ini berada tepat di samping Museum Bahari dan di depan Menara Syahbandar, serta berbatasan langsung dengan Kampung Luar Batang. 

Baik Kampung Luar Batang dan Pasar Ikan adalah kawasan zonasi Wisata Bahari. 

Tangisan itu pecah dari ibu-ibu warga Pasar Ikan yang sedang merajuk petugas gabungan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Kepolisian RI, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Dinas Perhubungan yang akan meratakan rumah mereka. 

Terhitung sejak Senin, 11 April, warga Pasar Ikan sudah tak bisa tinggal lagi dan berdagang. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah menetapkan tenggat penertiban zonasi Wisata Bahari di kawasan itu. 

Alat berat mencengkeram kios-kios milik warga. Tak ada yang tersisa, bangunan-bangunan di sana terlalu rapuh melawan alat berat dengan bahan baja metal.  

Ibu-ibu terus menangis, para pemuda protes, sambil melempar kayu dan batu. Mereka sadar tak punya hak atas tanah milik pemerintah itu, tapi mereka tak tahu mau ke mana setelah ini.

Sampan Murahim yang sudah bocor.. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler    

Pemprov DKI Jakarta sempat berjanji akan membangun super blok yang akan disponsori oleh PT Agung Podomoro Land (APLN).

“Kita mau bangun kaya Green Bay (di kawasan Pluit, Jakarta Utara, red). Ini buat nelayan, rakyat kecil, dan PKL,” kata Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.

Tapi bukan itu yang dinginkan oleh warga Pasar Ikan dan tetangga mereka, warga Kampung Luar Batang. Setidaknya itu menurut perwakilan warga Kampung Luar Batang, Mansyur Amin. 

Mansyur menuturkan, warga merasa tak pernah diajak rembug untuk membicarakan pembangunan kawasan Wisata Bahari. 

Alih-alih diajak bicara, tanpa basa-basi, ketua RT dan RW setempat yang akan digusur hanya disodori roadmap zonasi kawasan Wisata Bahari dan rencana penggusuran oleh Camat dan Lurah Penjaringan.

Tak ada bekal bagi perwakilan warga untuk berunding. Satu-satunya bahan yang mereka miliki adalah Surat Pemberitahuan I dari Pemprov DKI Jakarta terkait penggusuran. Di situ tertulis para pemilik bangunan, para pemilik tempat usaha, dan penduduk pengontrak di kawasan Pasar Ikan dan Luar Batang RW 1, 2, 3, dan 4 harus segera hengkang, tertanggal 24 Maret. 

“Kabar itu pun menjadi bola liar, kehebohan terjadi,” tutur Mansyur. Terutama buat perwakilan warga yang akhirnya menyadari bahwa rumahnya sendiri masuk zona penggusuran. 

Untuk mengatasi kepanikan, pada 25 Maret diadakan rembug kampung, membahas rencana Pemprov untuk penggusuran. Mereka memutuskan untuk meminta tolong pada ahli hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, yang saat ini juga dikabarkan akan maju dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta, melawan Ahok. 

Tapi upaya itu belum membuahkan hasil, hingga Senin, penggusuran sudah dimulai, yang pertama adalah Pasar Ikan. Selanjutnya Kampung Luar Batang yang berbatasan dengan apartemen Pluit Sea View dan berhadapan dengan Pelabuhan Sunda Kelapa. 

Menurut data yang diperoleh Rappler dari Pemprov DKI Jakarta, ada sekitar 546 rumah penduduk, 347 kios di Pasar Ikan, 50 bangunan di atas air, dan 4 musala yang dihuni oleh 1.586 jiwa atau 845 Kepala Keluarga (KK) yang akan terdampak penertiban ini. 

Megaproyek ambisius di utara Jakarta

Lalu apa setelah penggusuran di Pasar Ikan? Menggusur tempat lain, seperti Kampung Luar Batang. 

Di roadmap Wisata Bahari yang diterima Rappler dari Pemprov DKI Jakarta secara resmi, digambarkan ada 5 zona:

  • Zona I adalah Pasar Ikan
  • Zona II adalah Aquarium
  • Zona III adalah kawasan yang berada di antara Museum Bahari dan Zona IV
  • Zona IV adalah RW 1 yang meliputi RT 1, 2, 4, dan 7; dan RW 2 yang meliputi hanya RT 1
  • Zona V adalah RW 3 yang meliputi RT  3, 4, 5, dan 7 

Penjelasan selengkapnya simak video blog di bawah ini yang diambil dari lantai tiga Menara Syahbandar:

Saat ini, Pemprov masih bergerak untuk meratakan Pasar Ikan (Zona I), selanjutnya pemerintah bersama pasukan gabungan akan menertibkan kawasan II-V.  

Kepala Satpol PP DKI Jakarta, Jupan Royter, saat ditemui Rappler di kantornya pada 4 April lalu, menjelaskan rencana Ahok terhadap kawasan itu. 

Jupan mengawali penjelasannya dengan cerita tentang mimpi 12 destinasi di Jakarta Utara. Saat itu wali kotanya adalah Bambang Sugiyono (masa bakti Januari 2009-November 2013). Jupan masih menjabat sebagai Camat Kelapa Gading. 

Wali Kota Bambang menjelaskan tentang 12 destinasi wisata tersebut, antara lain:

  1. Taman Suaka Margasatwa Muara Angke
  2. Sentra Perikanan Muara Angke
  3. Kawasan Sunda Kelapa (Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Bahari, Menara Syahbandar, Galangan Kapal VOC)
  4. Kampung Luar Batang
  5. Sentra Belanja Grosir Pasar Pagi Mangga Dua
  6. Taman Impian Jaya Ancol (sekarang Ancol Bay City)
  7. Bahtera Jaya Ancol
  8. Stasiun Tanjung Priok
  9. Jakarta Islamic Centre
  10. Kampung Tugu (Gereja Tugu, Rumah Tua, dan Pusat Bahasa & Kesenian)
  11. Kampung Marunda (Masjid Al-Alam 2, dan Rumah Si Pitung)
  12. Sentra Belanja & Pusat Kuliner Kelapa Gading

Karena itu, roadmap 12 destinasi sudah disiapkan, termasuk mengambil langkah penertiban di beberapa kawasan. Namun belum membicarakan tentang tenggat penggusuran. 

Roadmap itu kemudian dipertegas saat Ahok menjadi gubernur. Kali ini, gubernur asal Bangka Belitung itu menggelar rapat-rapat pimpinan membahas rencana mewujudkan rencana tersebut, dengan konsep yang lebih modern dari Wali Kota Bambang. 

“Waktu rapat pimpinan, Pak Gubernur (Ahok) meminta supaya dipasang tanggul-tanggul, jalan inspeksi, dan dibangun area hijau,” tutur Jupan.

Ia mengakui di era Ahok, ada sedikit percepatan dibanding gubernur sebelumnya. “Beda-beda, ada yang berani bikin terobosan,” kata Jupan merujuk pada atasannya, Ahok. 

Ahok memerintahkan untuk menata kembali bangunan di kawasan tersebut. “Intinya dibalikin ke fungsi semula. Karena itu perlu ada penataan. Ditata bukan ditertibkan,” ujarnya memperhalus istilah penggusuran. 

Apa tujuan akhirnya? “Supaya ada view dari Masjid Luar Batang ke pantai. Waduh, cakep itu,” katanya tersenyum. 

Belakangan rencana membangun ruang hijau dan jalan inspeksi itu makin berkembang. Ahok mengumumkan sendiri di Balai Kota bahwa ia ingin membangun kawasan seperti Green Bay di Pluit.

Soal rencana pembangunan ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga ikut menelusuri. Dalam laporan mereka bertajuk Atas Nama Pembangunan, dipaparkan rencana Pemprov membangun kawasan wisata modern di area tersebut. 

Menurut LBH, hingga saat ini tidak diketahui, apa rencana Pemprov DKI Jakarta melakukan penggusuran di kawasan Pasar Ikan dan Luar Batang.

Namun, menurut warga Pasar Ikan, kawasan tersebut akan dibangun plaza. Hal ini dapat dilihat dari zona rencana kawasan yang diberikan kepada warga oleh PD Pasar Jaya di bawah ini:

Setelah melihat rencana zona kawasan tersebut, pengacara publik LBH Jakarta, Matthew Michele Lenggu, menyimpulkan Pemprov DKI Jakarta sedang membangun kawasan modern yang tidak ditujukan untuk kepentingan warga setempat, melainkan untuk kepentingan bisnis semata. 

Baca pernyataan lengkap LBH di sini. 

Cagar tanpa budaya? 

Terlepas dari perdebatan soal model pembangunan, ada pertanyaan mendasar yang perlu dijawab, yakni apakah megaproyek tersebut akan mempertimbangkan sisi sosial dan budaya serta sejarah seperti yang direncanakan semula oleh gubernur-gubernur sebelum Ahok? 

Kepala Balai Konservasi Benda Cagar Budaya DKI Jakarta, Candrian Atthahiyat, menuturkan pada Rappler sejarah rencana penertiban kawasan Bahari ini jauh hari sebelum rencana ambisius Ahok tersebut. 

Menurut mantan Kepala Balai Konservasi Jakarta tersebut, penertiban ini sudah diwacanakan sejak 1990. Alasan pemerintah saat itu adalah karena Kampung Luar Batang dan Pasar Ikan sudah terlalu padat dan sering terjadi kebakaran. 

Candrian menuturkan kawasan itu sudah mulai ramai sejak abad 18. Selain kampung nelayan Luar Batang, masjid juga mulai didirikan. “Pemerintah Belanda kemudian membangun fasilitas pasar,” kata Candrian. Pasar tersebut kini dikenal dengan nama Pasar Ikan. 

Hingga 1950, jumlah penduduk masih ideal. Tapi setelah pemerintahan berganti dari Orde Lama ke Orde Baru pada periode 1965/1966, penduduk dari daerah lain mulai berdatangan. “Tanpa ada surat-surat, mereka dalam tanda petik menduduki tanah tersebut,” ujarnya. 

Pendudukan itu berulang saat reformasi pecah pada 1998/1999. “Mereka menduduki tanah kosong, terutama di bantaran kali sebelah utara yang berbatasan dengan Luar Batang, sampai sekarang,” ujar Candrian. Awalnya bangunan berupa triplek, hingga menjadi permanen. 

Penertiban kawasan ini sudah direncanakan sejak 1990. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler  

Lalu pada 1993, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Soerjadi Soedirdja, mengeluarkan surat keputusan yang berhubungan dengan penertiban kawasan Museum Bahari.

Tepatnya Surat Keputusan Gubernur No. 475 tahun 1993 tentang Penetapan Bangunan-bangunan Bersejarah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Benda Cagar Budaya.  

Dalam surat itu, menurut Candrian, gubernur mengukuhkan Museum Bahari, pelelangan ikan, pasar ikan, menara Syahbandar, Masjid Luar Batang, agar dijaga dan dilindungi.

Surat itu juga menyebut agar jajaran Pemprov meningkatkan kondisi lingkungan dan warisan budaya di kawasan tersebut. 

Kawasan itu kemudian didaftarkan ke UNESCO untuk mendapatkan pengakuan internasional sebagai cagar budaya. Salah satu area yang masuk dan didaftarkan adalah Pasar Ikan. 

Namun hingga hari ini, surat pengakuan dari lembaga internasional tersebut belum turun. 

Bahkan kawasan bahari ini kemudian dimasukkan dalam roadmap besar pengembangan kawasan Kota Tua. 

Gubenur periode selanjutnya, Fauzi Bowo, juga melakukan hal yang sama. Fauzi saat itu merevitalisasi Masjid Luar Batang. Ia kerap berziarah di bangunan bersejarah tersebut. 

Belakangan, kata Candrian, rencana pemerintah terus berkembang. Pemerintah ingin membangun jalan inspeksi. “Supaya orang bisa berjalan di daerah sekitar itu, nanti bisa diputarin, bisa nyambung dari Museum Bahari sampai Sunda Kelapa,” ujarnya. 

Tapi apakah rencana pemerintah sudah memenuhi kriteria yang diinginkan Balai Konservasi? Candrian masing timbang-timbang. Sebab ia melihat rencana Ahok masih tertumpu pada pembangunan ala pengembang.

“Seharusnya jangan dari pengembang,” katanya. 

Apalagi hingga hari ini, belum ada kepastian apakah warga akan dilibatkan dalam “pembangunan” Wisata Bahari ini. “Inilah yang harus diatur lagi, masyarakat harus ikut mengawasi,” katanya. 

Dari segi cagar budaya, Jakarta memang membutuhkan penataan itu, tapi bangunan fisik Wisata Bahari perlu ruh budaya yang berasal dari masyarakat setempat. 

“Ini yang belum pernah dilakukan Pemprov dalam penertiban, orang yang punya sejarah ikut tercerabut juga, padahal dia yang akan menghidupkan,” ujarnya. 

Menurutnya, subkultur atau orang-orang yang punya riwayat seharusnya boleh tinggal di kawasan itu. “Dengan catatan, dia harus memberi kontribusi kultur,” kata Candrian. 

Pernyataan Candrian ini diimbuhi oleh Direktur Jenderal Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Budaya, Hilmar Farid. Saat ditemui Rappler di kawasan Kota Tua sepekan lalu, Hilmar sudah mewanti-wanti soal penggusuran ini.  

“Dari segi kebijakan secara umum, cagar budaya itu perlu membawa manfaat bagi masyarakat yang ada di kawasan itu, karena itu gusur tentu sudah tidak masuk dalam agenda,” ujarnya.

Tapi dalam hal kepemilikan tanah, penggusuran bisa legal dilakukan. 

Jadi, menurut Hilmar, ada dua dimensi yang harus diperhatikan dalam pembangunan cagar budaya. Pertama dimensi legal, kedua dimensi sosial.

“Secara prinsip kita tidak mau melihat orang lain menderita (karena pembangunan cagar budaya),” katanya. 

“Tapi kalau bisa dua-duanya (legal kepemilikan tanah dan masalah sosial) bisa ketemu, kalau enggak mungkin, ada jalan lain untuk berunding,” ujarnya. 

Soal ini, Kasatpol PP Jupan Royter menegaskan bahwa dalam rapat-rapat pimpinan yang digelar untuk penertiban kawasan ini, ia mengklaim kedua hal tersebut selalu dibahas.

“Itu semua sudah ada terpadu, bagaimana dampak sosial dan ekonominya, kita juga peduli HAM,” ujar Jupan. 

Pemprov DKI juga berencana melibatkan masyarakat dalam pembangunan. Bahkan pemerintah menuangkan klausul tersebut di Peraturan Pemerintah Daerah No. 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. 

Mencari rumah baru

Ke mana warga Kampung Luar Batang tinggal usai direlokasi? Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler    

Sementara pemerintah mencari formula bagaimana melibatkan masyarakat dalam pembangunan ini, Yahya dan Jamal, warga Kampung Luar Batang, mencoba untuk menerima takdir. 

Yahya yang tinggal di rumah-rumah kayu yang berdiri di atas pantai, memilih untuk menikmati berjualan ikan asin. Ia tak ingin ambil pusing. Lalu ke mana ia akan tinggal setelah itu? “Kalau digusur saya tinggal di perahu saja,” kata pria berusia 60 tahun itu.

Jamal tidak demikian. Lelaki 50 tahun itu belum memutuskan ke mana ia akan tinggal. Meski Pemprov DKI Jakarta sudah menjanjikan rumah susun, ia belum tertarik. Tapi ia mendukung adiknya, Lely, yang sebelumnya juga berjualan di Pasar Ikan, untuk pindah ke rusun. 

Masih banyak Yahya dan Jamal yang lain. Nasib mereka sama. Ke mana mereka akan berlabuh setelah ini? Belum tahu. 

Sementara itu, rencana Pemprov DKI lebih cepat dari rencana mereka. Dalam waktu dekat, setelah Pasar Ikan, akan ada penertiban-penertiban lainnya sesuai urutan zonasi. 

Akan banyak lagi warga yang terusir, rusun yang disiapkan pemerintah juga makin padat. Tapi untuk sementara, belum ada kebijakan Pemprov yang bisa menjawab: Akankah pembangunan wisata ini melibatkan masyarakat sebagai ruh budaya? Atau pemerintah berjalan beriringan lebih mesra dengan pengembang ketimbang warganya sendiri? —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!