Perlawanan intoleransi di tembok jalanan Yogyakarta

Mawa Kresna

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Perlawanan intoleransi di tembok jalanan Yogyakarta
Yogyakarta disebut ‘City of Tolerance’, tapi mengapa marak aksi intoleransi terhadap kaum minoritas dan seniman?

 

YOGYAKARTA, Indonesia — Saat warga Yogyakarta sedang terlelap, Patub Porx, Juwadi, dan teman-temannya masih terjaga. 

Menjelang tengah malam mereka membawa beberapa kaleng cat hitam, kuas, koran bekas, dan peralatan lainnya menerobos remang-remang jalanan dengan menggunakan sepeda motor menuju Jembatan Kewek tak jauh dari Malioboro. 

Sesampainya di sana, mereka langsung turun dan memblok hitam dinding sisi barat dan timur Jembatan Kewek dengan cat yang mereka bawa. Setelah cat hitam mengering, mereka pun menuliskan pesan “City of Tolerance?“.

Tidak hanya di tembok Jembatan Kewek saja, beberapa lokasi seperti di jalan Parangtritis, tembok utara hotel Meliapurosani, tulisan City of Tolerance? dengan latar belakang cat hitam juga dituliskan di sana.

“Ini adalah kritik kami terhadap apa yang sedang terjadi di Yogyakarta, kota yang memiliki jargon The City of Tolerance, namun faktanya? Lihat saja apa yang terjadi,” kata Juwadi di Survive Garage kepada Rappler, Selasa, 12 April.

Juwadi adalah salah seorang seniman. Ia merupakan salah satu saksi mata penyerangan kelompok intoleran pada acara Lady Fast di Survive Garage pada 2 April lalu. Pasca kejadian tersebut, Juwadi dan beberapa seniman dan aktivis membentuk Forum Solidaritas Jogja Damai untuk merespon aksi intoleransi yang marak terjadi di Yogyakarta.

“Malam itu saya lagi gendong anak saya yang umurnya dua tahun, lalu ditantang berkelahi oleh kelompok intoleran itu. Itulah yang terjadi,” ujar Juwadi.

Ia menjelaskan apa yang mereka lakukan tersebut merupakan respons atas kegelisahan tindakan intoleransi yang marak di Yogyakarta. Warna hitam pada tembok yang mereka blok adalah wujud duka cita atas apa yang terjadi di Yogyakarta.

“Hitam itu simbol kita sedang berkabung. Kita sedih dengan pembubaran paksa berbagai acara dengan kekerasan dan mengatasnamakan agama. Kita seniman bisanya membuat karya, dan karya itulah yang kami gunakan untuk mengkritik. Tembok adalah medium kami untuk menyampaikan pesan pada publik,” ungkapnya.

Yogyakarta, Kota Toleran? Foto oleh Mawa Kresna/Rappler

Semula ide memblok beberapa tembok di lokasi strategis dengan cat hitam dan tulisan mempertanyakan toleransi di Yogyakarta datang dari Juwadi. Ide tersebut pun langsung dieksekusi oleh Patub Porx —bukan nama asli— dan beberapa teman lainnya.

“Malam itu kita cuma enggak banyak, paling sepuluh orang. Setelah itu kabar menyebar, banyak teman yang mau ikut bergabung. Mereka datang spontan bawa peralatan sendiri, sampai ada tiga puluh orang jadinya yang ikut,” kata Patub, salah seorang seniman Street Art.

Kebanyakan dari mereka yang bergabung melakukan perlawanan lewat dinding di sudut-sudut jalanan Yogyakarta karena punya kegelisahan yang sama. Mereka khawatir, Yogyakarta yang selama ini menjadi sarangnya seniman untuk berkarya, secara perlahan dihancurkan oleh kelompok intoleran.

Patub menengarai, selama ini kasus intoleransi di Yogyakarta banyak terkait dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, misalnya kasus Ahmadiyah, Syiah, pondok pesantren waria, dan pembubaran diskusi serta acara menonton film yang dianggap menyebarkan komunisme. Namun baru kali ini, kelompok intoleran menyerang para seniman.

“Sebelumnya ada penolakan pameran di Tembi, tapi itu tidak sampai ribut. Baru di acara Lady Fast kemarin yang besar. Kita seniman, khawatir selanjutkan kami yang akan menjadi target. Kebebasan berekspresi dalam kesenian yang diancam untuk dihabisi,” ungkap Patub.

Jika dibiarkan, Patub khawatir, kejadian serupa akan terjadi pada komunitas seniman lainnya di Yogyakarta.

“Kita ingin memberikan pesan, kritik, bahwa Yogyakarta sudah berubah. Kota toleransi jadi intoleran. Tembok hitam dan tulisan itu adalah sikap kami, menolak segala bentuk kekerasan dan intoleransi di Yogyakarta,” katanya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!