Diskriminasi terhadap kelompok minoritas belum akan berakhir di Yogyakarta

Mawa Kresna

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Diskriminasi terhadap kelompok minoritas belum akan berakhir di Yogyakarta
'Hasil putusan MA menyatakan instruksi wakil gubenur masih berlaku'

JAKARTA, Indonesia – Seorang warga asal Bantul, Eni Kusumawati, mengadu ke Ombudsman Yogyakarta karena tidak bisa membuat sertifikat hak milik atas dua bidang tanah hanya karena dia berasal dari etnis Tionghoa.

“Ibu Eni sudah membeli dua petak tanah, tapi BPN Bantul tidak mau melayani proses pembuatan SHM atas nama ibu Eni,” kata Dahlena, Asisten Ombudsmen Yogyakarta, pada Kamis, 14 April.

Ombudsman Yogyakarta mencoba mengurai kasus ini dengan memanggil Badan Pertanahan Nasional Kanwil Yogyakarta, BPN Bantul, dan Pemda Yogyakarta pada Kamis, 14 April. Sayang, hanya Pemda Yogyakarta yang memenuhi panggilan, yang diwakili Kepala Biro Hukum Pemda Yogyakarta.

Surat tersebut diterbitkan Paku Alam VIII pada 1975, menginstruksikan bupati dan wali kota untuk tidak memberikan surat hak milik tanah kepada warga negara nonpribumi. 

Menurut Dahlena, surat instruksi itu menjadi dasar dan pegangan BPN Bantul untuk menolak permohonan SHM yang diajukan Eni.

“Pada intinya kami ingin mengklarifikasi terkait aduan warga. Dari penjelasan Biro Hukum Pemda tadi, ada surat Instruksi Wakil Gubernur tahun 1975 yang menyatakan agar warga negara nonpribumi tidak diperbolehkan memiliki hak milik tanah,” kata Dahlena.

Instruksi tersebut, kata Dahlena, sudah pernah digugat ke Mahkamah Agung namun ditolak karena surat Instruksi Kepala Daerah bukanlah hirarki dari produk perundang-undangan. Ombudsman, kata Dahlena, masih mempelajari apakah BPN harus tunduk para Instruksi wakil gubernur atau tidak.

“Kami masih mendalami, karena posisi Ombudsman adalah pada aspek pelayanan. Apakah instruksi itu berlaku untuk BPN juga, kita masih dalami, kami belum bisa memutuskan,” katanya.

Sementara itu, Adi Bayu Kristanto dari Biro Hukum Pemda Yogyakarta yang memenuhi panggilan Ombudsmen, menjelaskan Pemda selama ini hanya berpegang pada surat instruksi tersebut.

“Hasil putusan MA menyatakan instruksi wakil gubenur masih berlaku. MA memutuskan menolak gugatan yang pernah dilakukan pada tahun 2015. Sekarang tentu kami menggunakan itu sebagai pegangan,” katanya pada wartawan.

Dia pun menolak jika mengatakan Instruksi Wakil Gubernur tahun 1975 tersebut bersifat diskriminatif. Menurutnya Pemda hanya menghormati putusan MA terkait surat tersebut.

“Saya tidak menyatakan itu diskriminatif. Kita tidak ingin berpolemik soal itu, sudah ada putusan MA,” katanya.

Pada 2006, Willie Sebastian harus merelakan tanahnya digusur dan sertifikat hak miliknya diganti dengan sertifikat hak guna bangunan hanya karena dia berasal dari etnis Tionghoa. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!