Philippine economy

Dwi Aryani mempertanyakan niat baik Etihad Airways

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dwi Aryani mempertanyakan niat baik Etihad Airways
Dwi Aryani tengah mempertimbangkan untuk mengugat Etihad Airways ke ranah hukum, jika tidak ada niat baik dari maskapai tersebut.

JAKARTA, Indonesia – Dwi Aryani, perempuan dengan disabilitas yang ditolak naik Etihad Airways, mempertanyakan niat baik maskapai tersebut usai membatalkan secara sepihak pertemuan pada Senin, 11 April. Semula, kedua belah pihak akan bertemu untuk menindaklanjuti perlakuan diskriminatif yang diterima Dwi pada 5 April.

“Pihak Etihad Airways membatalkan pertemuan melalui telepon pada Sabtu, 9 April. Mereka beralasan Mba Dwi sudah melanggar persyaratan yang ada yakni tidak menggunakan pengacara dan tidak mengumbar masalah ini ke media,” ujar Kepala Bidang Minoritas dan Kelompok Rentan dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Pratiwi Febri kepada Rappler, Kamis, 14 April.

Perempuan yang biasa dipanggil Tiwi itu menjelaskan pihak LBH hanya memfasilitasi tempat pertemuan dan tidak ada maksud lainnya.

“Selain itu, kami tidak pernah menggembar-gemborkan isu ini di media. Malah, kami tahu dari rekan media, pihak Etihad Airways sendiri yang mengirimkan keterangan tertulis berupa permintaan maaf kepada media,” kata Tiwi.

Etihad Airways, Tiwi melanjutkan, juga diduga mengeluarkan berita balasan berisi pilot yang bersedia memutar balik pesawat karena sepasang penumpang menerima informasi anggota keluarganya masuk ruang ICU.

“Padahal, Mba Dwi sudah siap mediasi secara kekeluargaan sesuai dengan isi surat elektronik yang mereka kirim,” tutur Tiwi.

Lalu, apa isi e-mail yang diterima Dwi dari Etihad Airways?

“Dalam e-mail tersebut, Etihad Airways mengakui dalam kejadian yang dialami Mba Dwi, memang mereka yang keliru. Namun, mereka membantah melakukan tindak diskriminatif terhadap penyandang disabilitas dan berjanji akan mengirimkan panduan terkait isu itu,” kata dia.

Tetapi hingga saat ini panduan itu tak kunjung dikirim oleh maskapai Etihad.

LBH Jakarta justru menduga maskapai Etihad Airways belum memiliki prosedur penanganan terhadap penumpang disabilitas. Sebab, ketika dicek ke situs resmi mereka, Etihad justru mewajibkan penumpang yang menggunakan kursi roda untuk mengisi formulir medis.

“Padahal, sudah tertulis dalam aturan internasional bahwa penyandang disabilitas bukan penyakit,” tuturnya.

Hal lain yang disoroti oleh LBH Jakarta yakni mengenai adanya standar ganda yang diterapkan oleh maskapai tersebut. Sebelumnya, Dwi pernah menggunakan maskapai yang sama.

“Memang saat itu, Mba Dwi bersama suami dan anaknya yang masih balita. Tetapi, suaminya ketika itu justru disibukan untuk mengurusi anak mereka, sehingga Mba Dwi lebih banyak dibantu kru,” kata dia.

Sementara, dalam peristiwa pada 5 April, justru Dwi sempat disalahkan oleh pilot karena duduk di kursi darurat dan tidak memberitahukan kepada kru pesawat bahwa dia disabilitas.

Tuntut pemulihan hak

Tiwi menjelaskan Dwi akan terus berjuang agar haknya sebagai penumpang disabilitas dipulihkan oleh Etihad Airways. Bahkan, dia juga telah siap jika harus menggugat maskapai asal Uni Emirat Arab itu.

“Tetapi, Mba Dwi masih akan mengupayakan adanya pertemuan lanjutan setelah dibatalkan secara sepihak. Dalam pertemuan tersebut, kami akan berdialog dan memberi masukan bagi Etihad Airways,” katanya tanpa memberi informasi kapan dan di mana pertemuan itu akan digelar.

Dwi pun juga menuntut agar Etihad Airways meminta maaf secara terbuka atas perlakuan mereka yang diskriminatif tersebut.

Sebelumnya, pada Selasa, 12 April, Dwi dan didampingi LBH Jakarta telah melapor ke Ombudsman. Anggota Ombudsman, Alvin Lie mengatakan akan bertemu dengan otoritas Bandara Soekarno-Hatta untuk menanyakan prosedur yang diterapkan staf bandara terhadap Dwi sebelum masuk ke pesawat.

Pada Senin, 11 April, Dwi juga sudah bertemu dengan Kementerian Perhubungan. Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemhub berjanji akan memanggil dan meminta keterangan semua pihak terkait tindak diskriminasi yang dialami Dwi.

“Seharusnya pemerintah memiliki kekuatan lebih untuk menekan Etihad Airways, karena pasar Etihad di Indonesia sangat besar, khususnya untuk naik haji,” tutur Tiwi.

Dalam pertemuan tersebut, Dwi turut membawa 42 ribu tanda tangan dukungan dari masyarakat yang dikumpulkan melalui petisi di laman Change.org

Namun, janji untuk mempertemukan pihak terkait tersebut belum terealisasi hingga hari ini.

Menurut Tim Advokasi Anti Diskriminasi LBH Jakarta, perlakuan diskriminasi terhadap kelompok disabilitas bukan kali ini saja terjadi di Indonesia. Maskapai nasional Garuda Indonesia pada 23 Maret 2014 pernah meminta salah satu penumpang bernama Dani Suntoro untuk meneken surat yang berisi dia duduk di kursi roda karena sakit.

Di dalam surat itu pula tertulis, Garuda terbebas dari tanggung jawab apabila penyakitnya bertambah parah. Peristiwa semacam ini seharusnya tak kembali terulang.

LBH Jakarta menyebut Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas sejak tahun 2011 melalui Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011. Selain itu, pada 17 Maret 2016, Indonesia telah mensahkan UU tentang penyandang Disabilitas.

Namun, dengan adanya kejadian ini, LBH Jakarta menilai aturan tersebut tidak sejalan dengan praktik di lapangan, karena masih banyak tindak diskriminatif terhadap penyandang disabilitas. – Rappler.com

BACA JUGA:

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!