Adakah konsep feminisme dalam Islam?

Ayu Meutia Azevy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Adakah konsep feminisme dalam Islam?
Feminisme adalah konsep yang harus dirangkul oleh umat Muslim di Indonesia

Sebagai seorang Muslimah yang dibesarkan oleh seorang ibu yang adalah seorang wanita karir dan tumbuh bersama teman-teman perempuan yang memiliki prestasi cemerlang dan sekarang sedang meniti karir masing-masing, saya memiliki pemikiran bahwa perempuan bisa menjadi apa saja dan meraih mimpinya. 

Tanpa harus diingatkan atau diajarkan, saya meyakini adanya kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki di dalam kehidupan saya sebagai individu, rakyat Indonesia, and perempuan Islam.

Saya mendukung paham feminisme yang menjunjung tinggi kesejahteraan bagi kaum perempuan dengan memberikan kesempatan pendidikan dan karir yang setara dan juga perlindungan hak-hak dasar dan dari kekerasan. Bagi saya, feminisme tidak pernah terdengar seperti sebuah intimidasi.

Namun, kenyataannya, banyak orang yang tidak memiliki paham yang sama. Pada 2 April, sekelompok ormas membatalkan sebuah acara feminisme di Bantul, Yogyakarta. Kenyataan ini membuat saya tersadar bahwa ada beberapa pihak yang merasa segan dan bahkan terinitimidasi dengan suatu paham yang saya rasa wajar, progresif, dan positif. 

Seperti yang dikemukakan oleh laman sosial Kolektif Betina, para peserta dan penyelenggara acara Lady Fast yang mayoritas adalah perempuan, diintimidasi secara verbal bahkan diancam melalui kekerasan fisik oleh anggota-anggota ormas yang mayoritas laki-laki dan menggunakan atribut keagamaan.

Mereka menuduh ada unsur ideologi komunisme yang dibawa dan menilai perempuan feminis adalah perempuan “tidak punya moral dan agama” karena kerap mengenakan pakaian terbuka dan bermabuk-mabukan. 

Itu membuat saya berpikir, apa yang membuat para anggota ormas mengasosiasikan feminisme dengan paham-paham radikal. Apa di dalam agama Islam tidak ada konsep feminisme? Apa konsep feminisme tidak diwajarkan di dalam Islam?

Pendidikan adalah rahimnya perempuan modern

Padahal konsep feminisme juga diajarkan di agama Islam dan disiarkan oleh beberapa intelek Muslim. Sosialisasi feminisme dimulai semenjak abad ke-19 dalam sebuah era yang disebuh nadlah, yang berarti modernisasi dan reformasi Islam. Para intelektual nadlah memercayai bahwa perempuan bebas, terpelajar, dan mandiri adalah syarat kebangkitan utama umat Islam. Era ini mendorong bangkitnya tokoh Muslim yang feminis.

Beberapa di antaranya adalah Syaikh Rifa’ah Rafi’ al-Thahthawi, Syaikh Muhammad Abduh, dan Qasim Amin.

Ormas Islam bubarkan acara Lady Fast di Yogyakarta, pada 2 April 2016. Foto dari Facebook/KolektifBetina

Syaikh al-Thahthawi lahir pada 15 Oktober 1801 di Thanta, Mesir Atas, yang dikenal dengan Sha’id. Pada 1826, Muhammad Ali, pepimpin Mesir saat itu mengirimkan Syaikh al-Thahthawi dan pelajar terbaiknya ke Perancis untuk belajar selama lima tahun. 

Selama di Perancis, Syaikh al-Thahthawi membaca karya-karya intelektual Condillac, Voltaire, Rosseau, Montesquieu, dan Bezout. Tiga karya Al-Thathawi berjudul Takhlish, Manahij al-Albab, dan al-Mursyid al-Amin menjadi karya terpenting di abad ke-19.

Besar di pedalaman Mesir dan lulus dari lembaga agama yang tradisional namun memiliki pandangan terbuka, tidak membuat Syaikh al-Thahthawi mengalami benturan budaya. Melihat ada perbedaan umum antara laki-laki di Perancis dan di Mesir, membuatnya membongkar stereotip dan pandangan bias laki-laki.

Syaik al-Thahthawi memandang masyarakat Perancis sebagai contoh positif. Di dalam bukunya, ia menjelaskan bagaimana laki-laki Perancis memerlakukan wanita dengan sopan santun. Apabila seorang wanita tidak mendapat tempat duduk, maka laki-laki akan memberikan kursinya. Hal ini adalah hal yang bertolak belakang dengan kenyataan di negaranya. 

Begitu juga dari cara berpakaian dan cara bersosialisasi. Tarian antara pria dan wanita dianggap sebagai tanda persahabatan, namun tarian perut di Mesir selalu dilekatkan kepada erotisme dan syahwat.

Syaikh al-Thahthawi kerap menegaskan bahwa sumber kemuliaan perempuan di ranah Franji (Eropa) adalah dari pendidikan yang baik, bukan dari pakaian. Baginya pendidikan adalah rahimnya perempuan modern. Ia meyakini perempuan memiliki peran besar dari berkembangnya sebuah masyarakat, maka dari itu ia mengusulkan dibentuknya sekolah untuk perempuan pada 1836 meskipun pada akhirnya gagal.

Syaik Al-Thahtawi dikenal sebagai sosok yang nasionalis karena kapasitasnya sebagai penjembatan pemikir Eropa dan dunia Islam dan membawa konteks revolusi Perancis ke Mesir yang disesuaikan dengan konteks negeri dan ajaran Islam.

‘Kesewenang-wenangan pada perempuan bertentangan dengan Islam’

Ada pula Syaikh Muhammad Abdu yang tidak memiliki pendidikan barat seperti Syaikh al-Thathawi namun memiliki pandangan terbuka terhadap keislaman modern. Syaikh Abduh lahir di kawasan delta Mesir pada 1849. Ia sempat bergerak di revolusi Urabi sebelum akhirnya diasingkan ke Beirut oleh pemerintah Inggris pada 1882. Menurutnya, rasionalitas Islam adalah dasar dari modernitas Islam dan meyakini bahwa Islam sudah menyediakan prinsip-prinsip modern.

Ia memandang kesewenang-wenangan terhadap perempuan adalah suatu hal yang bertentangan dengan prinsip Islam sendiri. Karena menurutnya, Islam adalah agama yang mengedepankan kesetaraan. 

Ia meyakini ada delapan fondasi dalam beragama. Beberapa butir tersebut antara lain merobohkan kedaulatan beragama (qalb al-sulthah al-diniyah), yang berarti tidak ada yang bisa menguasai kedaulatan iman seseorang kecuali Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW dan melindungi dakwah agar terhindar dari kekacauan. 

Syaikh Abduh meyakini bahwa peperangan yang disyariatkan Islam adalah upaya untuk membela diri dari serangan namun ajaran ini tidak menafikkan ajaran untuk memaafkan lawan.

Ia juga melarang adanya konsep kefanatikan atau berlebihan dalam beragama.

Dengan demikian, Syaikh Abduh pun mengedepankan bahwa perempuan memiliki hak dan kewajiban dalam Islam dan dalam bekeluarga meskipun laki-laki adalah pemimpin rumah tangga atau qawwam, tapi seperti kehidupan sosial negara, musyawarah tetap diperlukan. Bertentangan dengan tradisi Arab Jahiliyah yang mengatur kehidupan perempuan hingga di pernikahan, Syaikh Abduh menganggap bahwa perempuan berhak menikah dengan lelaki yang ia cintai tanpa paksaan. 

Muslim feminis adalah mitra perempuan

Qasim Amin juga dikenal sebagi sosok Muslim feminis yang populer. Dibesarkan oleh Ayah keturunan Turki-Utsmani dan Ibu dari Mesir yang berada di kelas menengah, Qasim Amin akhirnya beranjak menjadi ahli hukum saat ia berusia 22 tahun. Ia kerap menuliskan artikel reformasi dan ia kerap mengundang kontroversi hingga sekarang.

Karyanya yang terkenal adalah Tahrir, al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) yang terbit pada 1899. Buku ini membahas tentang dua perspektif besar, yakni reformasi pendidikan dan sosial dan reformasi pemikiran keagamaan.  

Di karya ini sangat terlihat bahwa Qasim Amin terisnpirasi dengan konsep liberalisme Syaikh al-Thathawi dan rasionalisme Islam Syeikh Abduh. Kemudian ia menuliskan buku al-Mar’ah al-Jadidah (Perempuan Modern).

Namun, Qasim Amin bukanlah orang pertama yang berbicara tentang perlunya pendidikan dan kebebasan bagi perempuan. Gerakan intektual perempuan dalam bidang penulisan dimulai dari beberapa tokoh di kawasan Syam (Suriah, Libanon, Palestina, dan Jordania).  

Qasim Amin memercayai bahwa kebebasan yang sebenarnya adalah kebebasan yang bisa membawa semua pemikiran, menerbitkan setiap aliran, dan menyambut setiap ide. 

Mengutip Muhammad Guntur Romli dari bukunya “Muslim Feminis”, seorang Muslim feminis adalah “mitra-perempuan” dalam menegakkan kesetaraan gender yang merupakan jihad dalam agama Islam. Tokoh-tokoh intelektual ini sangat diperlukan untuk menyebarkan toleransi umat Islam dan umat beragama yang lain. 

Seperti yang ditelaah oleh Syaikh Abduh, Islam mempunyai fondasi modern dan sewajarnya konsep feminisme adalah konsep yang sepenuhnya harus dirangkul oleh semua Muslimin dan Muslimah di Indonesia. Paham feminisme seyogyanya tidak perlu dijadikan musuh. Dan, don’t hate what you don’t understand, tidak perlu membenci sesuatu yang kita bahkan belum bisa pahami. —Rappler.com

Ayu Meutia adalah seorang copywriter di sebuah agensi kreatif independen di Jakarta dan pencinta puisi. Kunjungi buah pemikirannya di adjoemoetia.blogspot.com.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!