Polwan Elfiana: Berjuang menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Polwan Elfiana: Berjuang menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh
Dalam kurun waktu 2012-2015 tercatat 1.556 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kejadian merata di 23 kabupaten/kota

JAKARTA, Indonesia – Ketika Rappler mengontak Ajun Komisaris Polisi Elfiana, Kamis pagi, 21 April dia sedang di Jakarta. Kemarin, Rabu, 20 April, polisi perempuan yang sehari-hari memimpin unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di Kepolisian Daerah Nangroe Aceh Darussalam ini mengikuti pertemuan antara perwakilan polwan se-Indonesia dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yambise.

“Bu Menteri menyampaikan tugas pokok kementerian dan mengingatkan pentingnya menekan angka kekerasan terhadap anak dan perempuan,” kata Elfiana.  

Pertemuan ini diadakan dalam rangka memperingati Hari Kartini 2016. Selain bertemu dengan menteri, Elfiana yang menjadi polisi sejak 1987 juga bertemu dengan istri Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan mendapatkan ceramah dari psikolog keluarga, Elly Risman, terkait dengan penanganan kasus pornografi.

“Setiap Hari Kartini, saya merasakan betapa kesempatan bagi perempuan untuk berkarya makin baik, karena semangat emansipasi, terinspirasi RA Kartini. Tapi pekerjaan rumahnya masih berat, karena masih banyak perempuan alami kekerasan dan ketidakadilan berbasis gender. Kekerasan yang dialami perempuan berbanding lurus dengan kekerasan terhadap anak,” ujar Elfiana.  

Elfiana tidak ingat persis berapa angka kekerasan teerhadap perempuan dan anak. Tapi dia memastikan angkanya justru meningkat sejak Rappler bertemu dengannya pada November 2104 di Banda Aceh.

Data dari Badan Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi NAD menyebutkan tercatat tercatat 1.556 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di Aceh dari 2012 hingga 2015.

Kasusnya merata di 23 kabupaten/kota di Aceh. Di Banda Aceh tercatat 298 kasus kekerasan dan sebanyak 178 kasus untuk anak. Aceh Utara tercatat 47 kasus, Abdya 13 kasus, 43 kasus di Aceh Tengah, dan Pidie Jaya 35 kasus.

Kehilangan putri dan keluarga saat Tsunami 2014

AKP Elfiana (berbaju putih) bersama rekan polwan di kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jakarta, pada 20 April 2016.

“Setiap kali masuk laporan tentang kekerasan seksual terhadap anak, sering kali kepala rasanya seperti mau pecah. Sedih tak kepalang,” kata Elfiana. Rappler menemui Elfiana pada pertengahan November 2014, menjelang peringatan 10 Tahun Gempa dan Tsunami di Aceh. 

Ia tinggal di rumah yang sederhana, berlokasi di wilayah Meuraksa, tak jauh dari rumahnya 10 tahun lalu, di Blang Oi. Kawasan ini tidak jauh dari kawasan Pantai Ulee Lheue. 

Elfiana kehilangan hampir semua keluarga dekatnya: Ibu, putri semata wayang yang berusia 10 tahun, suami, tiga adik, seorang adik ipar, dan juga keponakan. Bertanya mengenai pengalaman traumatis itu adalah sebuah pekerjaan sulit.

Ia bercerita soal kesehariannya: Pekerjaannya mengurusi perlindungan perempuan dan anak. Yang ditangani termasuk kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan manusia, terutama anak dan perempuan, dan kasus ketenagakerjaan. Kecenderungan angkanya naik. Sangat memprihatinkan. 

Penyebabnya bermacam-macam. “Kebanyakan kalau ditanyai, pelaku mengaku karena nonton video porno. Nonton televisi atau film. Lalu penasaran dan mencoba-coba. Jadi peran media besar,” kata Elfiana. Mayoritas pelaku orang dekat korban, bahkan dilakukan sesama anak-anak pula. 

Untuk kekerasan terhadap perempuan, menurut Elfiana, penyebabnya adalah faktor ekonomi sampai adanya orang ketiga dalam rumah tangga.

“Suami menikah lagi, istri tidak diberi nafkah. Kekerasan verbal dan psikis, mencaci-maki istri dengan kata-kata tidak pantas, sampai istri terganggu kondisi psikologisnya,” kata dia. Ada juga kasus penelantaran istri dan anak.

Elfiana bertugas di PPA Polda Aceh sejak 2005 hingga 2008. Setelah itu sampai 2010 dia bertugas menjadi kepala kepolisian sektor (kapolsek) Baiturrahman. Pada 2010 dia kembali ke unit PPA, sebagai kepala unit. 

Keluarga Elfiana dari pihak ibu, asli dan tinggal di NAD. Dia lahir di Banda Aceh. Keluarga ayahnya yang berasal dari Jawa kebanyakan tinggal di Medan. Awalnya Elfiana ingin menjadi guru. Tapi karena sering melihat polisi bertugas di jalan, dia ingin jadi polisi. Elfiana bertugas di wilayah Polda NAD sejak 1988, begitu lulus pendidikan. 

Ketika bencana gempa dan tsunami menerjang Banda Aceh, 26 Desember 2004, Elfiana sedang dinas upacara bendera di kantor Polda. “Meskipun hari Minggu, kami selalu apel. Tidak ada hari libur bagi anggota polisi dan TNI, karena saat itu Aceh dalam situasi darurat sipil,” tutur Elfiana. 

Guncangan gempa pertama terjadi sekitar pukul 8 pagi. Menurut Elfiana, mereka yang tengah upacara saat itu berpegangan tangan, sambil tetap berbaris. Guncangan reda, komandan meminta mereka bubar jalan dan pulang. 

Masing-masing mengambil kendaraan, termasuk motor. Elfiana setiap hari naik motor. Pagi itu dia tidak langsung pulang, tapi bersama ajudan direktur menuju ruangan, merapikan senjata-senjata yang berhasil disita dari mereka yang terlibat dalam konflik, yakni antara aparat dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Elfiana tak lupa mencabut sakelar listrik, agar jika gempa terjadi tidak ada kebakaran. 

Gempa kedua terjadi. Dia diteriaki atasannya, Pak Bambang dan Pak Ali, untuk keluar ruangan. Mereka menyuruhnya segera pulang. “Saat mengambil motor, saya lihat di depan kantor airnya sudah masuk, lalu keluar saya lihat toko-toko yang roboh. Begitu sampai depan rumah Kapolda di lapangan Blang Padang, sudah banyak orang berlarian dari arah Ulee Lheue.” 

Elfiana menuju rumahnya. Khawatir. 

“Suami menikah lagi, istri tidak diberi nafkah. Kekerasan verbal dan psikis, mencaci-maki istri dengan kata-kata tidak pantas, sampai istri terganggu kondisi psikologisnya.”

Seorang teman polisi yang ditemuinya di jalan, menyuruhnya untuk balik, memutar jalan. “Air laut sudah naik, ” kata teman itu. 

Elfiana tak habis pikir, tidak ada hujan kok air laut naik? Ia memaksa tetap menempuh jalan ke rumahnya. Saat sampai di rumah, baru sebentar, terdengar suara seperti letusan. Adik iparnya penasaran, jangan-jangan itu letusan bom atau senjata. Dia ingin melihat. 

Jadi, Efiana yang tadinya berencana mengantar pulang ibunya untuk kembali ke rumah ayahnya, di daerah Seulimum, Aceh Besar, pamit mengantar adik iparnya melihat ke arah terjadinya letusan. Ibu Elfiana baru semalam menginap, karena mau membicarakan rencana pernikahan adik Elfiana. Ayahnya yang datang bersama ibu, Sabtu siang sehari sebelumnya, langsung pulang ke Seulimum. Khawatir rumahnya dijarah.

“Itu terakhir kali saya bertemu dengan keluarga di rumah,” kenangnya. Suaranya nyaris berbisik. 

Di jalanan, saat mengantar adik iparnya, ia melihat orang berlarian. Air mengalir, tahu-tahu ketika sampai di depan halaman Masjid Raya, air sudah selutut. Elfiana melihat jenazah mengambang. Ratusan jumlahnya. 

“Orang-orang berlarian dengan pakaian seadanya. Jenazah juga banyak yang tak berbaju,” kata dia. Ratusan orang mengungsi di Masjid Raya.

Melihat kepanikan dan jenazah di mana-mana, Elfiana sempat tercenung. Dia menitipkan motornya di Taman Budaya. “Saya berpikir, ini kiamat atau apa? Bagaimana dengan keluarga saya?” 

Elfiana mencoba menembus air setinggi dada ke arah rumahnya di Blang Oi. Banyak yang melarangnya, tapi dia ingin melihat keadaan rumah dan keluarganya. Sambil meraba-raba agar tidak terperosok ke selokan, Elfiana menuju rumahnya. Di tengah jalan dia melihat bayi, sudah tak bergerak. Ingin menolong tapi sulit dijangkau. Terperangkap di tengah tumpukan kayu. Dia sendiri hampir kehabisan tenaga. Karena lelah lahir-batin, juga kekhawatiran yang memuncak. 

Rumahnya tinggal lantai tegel. Lenyap. Begitu juga kawasan di sekitarnya. Luluh lantak. Tiga hari bersama ayahnya yang selamat karena kembali ke Seulimum, Elfiana keliling mencari jenazah keluarganya. “Saya meyakinkan ayah bahwa keluarga kami akan ketemu juga. Jadi, kami terus mencari ke berbagai titik pengumpulan jenazah,” kata Elfiana. 

Menyelidiki perdagangan anak 

Warga Banda Aceh mengangkat jenazah warga lain yang menjadi korban tsunami. Foto oleh EPA

Sebulan lamanya, Elfiana tidak ke kantor. Situasinya memang darurat. Dia tak punya apa-apa lagi, untungnya bisa mengungsi di Seulimum. Setiap hari dia mencari keluarga. Atasannya mencarinya, mengira dia sudah tak ada. Banyak anggota polisi dan keluarganya yang tinggal di sekitar Ulee Lheue tidak selamat. Elfiana dan anggota polisi lain yang selamat diminta melapor ke Blang Bintang, kawasan bandara Sultan Iskandar Muda. Di sana mereka dikasih baju, makanan, lantas bantuan dari Mabes Polri. 

Polri kemudian memberi tugas khusus bagi polwan termasuk Elfiana. Pasca tsunami dan gempa di Aceh, beredar informasi terjadinya perdagangan manusia. Anak-anak korban tsunami diculik dan dibawa ke luar Aceh untuk dijual. Ada yang kabarnya dipekerjakan sebagai pengemis di Medan. Mabes Polri membentuk tim gabungan yang beranggotakan polwan, pekerja sosial termasuk petugas dari dinas sosial dan UNICEF, unit di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi pendidikan dan kesejahteraan anak. 

“Seingat saya, kami ada lima puluhan orang. Tugas kami adalah mendirikan children center, juga mencegah dan menyelidiki perdagangan anak,” kata Elfiana. 

Wilayah kerjanya tidak hanya di Banda Aceh, melainkan sampai ke Aceh Utara, Sigli, dan daerah lain. Tugasnya antara lain memberikan motivasi bagi anak dan menguatkan semangat hidup mereka. “Kami didampingi psikolog anak,” kata Elfiana. 

“Saya enggak ada perasaan apa-apa, jadi saya pikir mereka pasti masih ada. Kalau masih hidup, semoga bisa pulang mencari kami. Kalau sudah menghadapNya, semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT”

Padahal dia sendiri juga menjadi korban. Kehilangan anak. Keluarga. Sama-sama mengalami trauma. Sedih. Tapi tugas harus dijalankan. Profesionalisme seorang polisi. 

Soal laporan anak-anak Aceh yang dibawa ke luar pasca tsunami, menurut Elfiana tidak terbukti. Beberapa kasus sempat ditangani, termasuk menggunakan tes DNA. Tapi kabar itu tidak terbukti.

Selain Elfiana, ada sejumlah temannya, polwan dan polisi yang kehilangan sanak keluarga, termasuk anak. Sambil keliling mengurusi anak-anak korban tsunami yang kehilangan keluarga dan rumah, Elfiana terus semangat mencari informasi soal keluarganya. Tentang putrinya. 

Perlu waktu sekitar enam bulan bagi Elfiana untuk mengikhlaskan kepergian orang-orang yang amat dicintainya. “Saya enggak ada perasaan apa-apa, jadi saya pikir mereka pasti masih ada. Kalau masih hidup, semoga bisa pulang mencari kami. Kalau sudah menghadap-Nya, semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT,” kata Elfiana. Pengajian digelar di rumah ayahnya di Seulimum. 

Menolong anak-anak korban kejahatan

Seorang gadis berusia 6 tahun korban kekerasan seksual di Banda Aceh. Catatan Lembaga Bantuan Hukum Anak Banda Aceh menunjukkan dalam lima tahun terakhir ada 149 kasus kekerasan terhadap anak-anak. Foto oleh AFP/Chaideer Mahyuddin

Pada 2006, Mabes Polri memutuskan untuk menghentikan kegiatan children center, karena itu bagian dari kegiatan tanggap darurat dan pemulihan pasca bencana. Elfiana sudah bertugas di unit PPA. Mengurusi anak juga, dan perlindungan perempuan.

Rumah yang kini dia tempati adalah rumah adik sepupunya. Dia menempatinya sejak 2007. Selain rumah lamanya sudah luluh lantak, dia tak sanggup kembali ke rumah tempat ia berpisah dengan keluarga, saat tsunami menerjang, hampir 10 tahun lalu. Sebenarnya lokasinya masih di area rawan tsunami juga. “Tapi sekarang saya sudah tidak takut. Ikhlas. Kalau ada bencana, berserah kepada Allah,” ujar Elfiana.

Bertugas di PPA, menolong anak-anak korban kejahatan, menjadi semacam “terapi” juga buat Elfiana. Sambil mengingat kenangan manis atas putrinya. Setiap tahun, di bulan Desember, ia mengunjungi pemakaman massal korban tsunami, baik di Ulee Lheue maupun di Lambaro. Terutama yang di Ulee Lheue karena dekat dengan tempat tinggalnya. 

Saya enggak ada perasaan apa-apa, jadi saya pikir mereka pasti masih ada. Kalau masih hidup, semoga bisa pulang mencari kami. Kalau sudah menghadap-Nya, semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT.”

“Sedihnya pasti tidak akan hilang. Makanya, berat banget menceritakan tragedi itu. Baru malam ini saya bicara lagi soal kejadian tsunami. Saya nggak pernah mau,” ujar Elfiana. Nampak jelas, polwan ini mencoba tegar atas cobaan berat dalam hidupnya.

Suasana wawancara terhenti sejenak. Kami minum sirup yang tak dingin lagi. Esnya mencair berapa puluh menit lalu. Saya melihat ke sekeliling ruangan kecil, tempat kami duduk di atas karpet, mendengarkannya berkisah soal tsunami. Saya bertanya lagi tentang pekerjaannya sehari-hari.

“Pernah saya menerima kasus perkosaan terhadap anak usia tujuh tahun. Yang melakukan kakaknya sendiri, usia sembilan tahun. Saya ingin menjerit. Malamnya biasanya saya tidak bisa tidur. Bagaimana agar saya bisa mencegah hal seperti ini terus terjadi?” kata Elfiana. 

Dia merasa sudah melakukan beragam cara. Sosialisasi ke sekolah-sekolah. Ada program “Polisi Saweu Sikola”. Kerjasama antar instansi. Kampanye dan edukasi pencegahan. Tapi angkanya terus naik. 

“Ada kasus, mereka melakukannya karena melihat ayah dan ibunya melakukan hubungan badan. Anaknya melihat. Lalu ingin mencoba. Jadi, orang tua juga menjadi penyebab. Edukasi ke orang tua juga penting,” kata dia. 

Pengawasan. Ini yang kini menjadi tugas penting unit PPA yang dipimpin Elfiana. Memastikan semua pemangku kepentingan mengawasi dan mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak dan perempuan, terutama kejahatan seksual. 

Menurut Elfiana, Aceh yang kian terbuka pasca bencana tsunami, mungkin saja membuat akses ke media termasuk ke materi pornografi kian terbuka. “Tapi, itu bukan penyebab utama. Seperti saya katakan, pengawasan dan edukasi di masyarakat Aceh juga penting,” tutur dia. 

Apa yang terjadi di Aceh, juga menjadi gambaran besar di tingkat nasional. Indonesia sudah masuk fase darurat kejahatan seksual. Korbannya selalu perempuan dan anak-anak. Mayoritas menyimpan rapat-rapat petaka yang menimpanya. –Rappler.com

BACA JUGA:

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!