Di balik senyap reklamasi Tangerang

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Di balik senyap reklamasi Tangerang
Mengapa reklamasi di Tangerang tak seramai di Teluk Jakarta?

Rencana tata ruang reklamasi Tangerang  

JAKARTA, Indonesia – Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat, 22 April. Menurut juru bicara KPK Yuyuk Andriati Iskak,  Zaki diduga mengetahu informasi tentang kasus suap rancangan peraturan daerah (Raperda) reklamasi Teluk Jakarta.

Politisi Golkar itu akan dimintai keterangan untuk melengkapi berkas penyidikan terhadap mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta Muhammad Sanusi yang tertangkap basah menerima suap awal bulan April. 

Sehari sebelum diperiksa, Rappler sempat mewawancarai Bupati Tagerang periode 2013-2018 ini.

Senyap reklamasi Banten

Terungkapnya masalah administrasi dan korupsi dalam reklamasi Teluk Jakarta membuat proyek serupa di daerah lain mendapat sorotan. Daerah-daerah lain yang bersinggungan dengan Ibu Kota ternyata memiliki rencana serupa.

Tengoklah Tangerang yang berada di Provinsi Banten. Ternyata, proyek reklamasi telah tertuang dalam peraturan daerah sejak tahun 1996 lalu.

“Memang sudah ada aturannya dari lama,” kata  Zaki di kantor Kecamatan Kelapa Dua, Tangerang, pada Kamis, 21 April. 

Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tangerang Tahun 2011-2031, area reklamasi mencakup lautan di kawasan Dadap-Kosambi hingga daerah Kronjo. Luasnya hingga dua kali reklamasi di Jakarta, atau mencapai 9 ribu hektar. Akan ada 7 pulau buatan yang dibangun.

Masih sebatas rencana

Lantas, dengan bentang lahan yang luar biasa, mengapa reklamasi Tangerang tak seramai Jakarta? Menurut Zaki, karena hingga saat ini reklamasi belum berjalan.

“Masih sebatas rencana saja, belum ada apa-apanya,” kata dia. Kalaupun akan dimulai, anggota Partai Beringin ini tak akan ada sangkut pautnya. 

Sebenarnya, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional telah menerbitkan izin reklamasi pada 23 September 2010 lalu. Namun, proyek tak bisa dilanjutkan setelah Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 dikeluarkan karena wewenang pemberian izin reklamasi tak lagi ada di Pemerintah Kabupaten Tangerang.

Semuanya ada di bawah pemerintah pusat atau Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Jadi ini tak ada hubungannya dengan yang di Jakarta loh ya,” kata dia.

Pemerintah Daerah sendiri baru akan mulai terlibat setelah pulau selesai dibangun. Zaki mengatakan instansinya lah yang akan mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan mengatur pengelolaan di atas pulau-pulau itu.

Kepada Rappler, Zaki mengatakan area tersebut masih perawan dan belum tersentuh alat berat. Untuk pengembang pun, menurut dia, belum ditentukan siapa.

Sejauh ini, kepada Pemda, baru satu perusahaan yang mengajukan proposal, yaitu PT Tangerang International City. Zaki mengaku tak tahu kalau Agung Sedayu Group, yang terlibat dalam reklamasi Teluk Jakarta, juga punya andil di Tangerang.

“Yang sudah ajukan proposal hanya satu (TIC), kalau yang lain-lain ya lihat nanti kalau pulau sudah jadi,” kata dia. Menurut dia pun, saat ini belum ada pengerjaan yang dimulai karena tak ada izin.

Karena itu, reklamasi di Tangerang pun masih belum menjadi buah bibir masyarakat.

Pusat bisnis dan pemukiman

Kepada Rappler, Zaki menjelaskan fungsi pulau-pulau buatan ini kelak. Melalui peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tangerang Tahun 2011-2031, tampak kalau 5 dari 7 pulau akan menjadi kawasan tinggal penduduk.

Sementara sisanya menjadi kawasan industri dan pelabuhan terpadu. Sayang, Zaki enggan menjelaskan secara lebih terperinci, termasuk luas pulau-pulau yang akan dibangun.

“Saya belum tahu, nanti tunggu izinnya kelar saja,” kata dia.

Namun, kenyataan di lapangan berbeda dengan apa yang dikatakan Zaki. Sejak tahun 2015 lalu, banyak temuan yang mengindikasikan reklamasi pantai utara Kabupaten Tangerang mulai berjalan. Area urukan ditaksir sudah mencapai puluhan hektare, dan menutupi pantai ke arah tengah laut.

Media ramai memberitakan pantai Muara Dadap, Kosambi, sudah tertutup rata dengan lapisan tanah dan pasir. Area ini kelak akan menjadi Pantai Indah Kapuk 2, sementara PIK 1 sudah terlebih dulu dibangun di Kamal Muara, Jakarta Utara.

Nelayan di Pantai Dadap pun tak seiya sekata dengan Pemkab terkait reklamasi. Mereka juga melancarkan aksi penolakan, yang hampir serupa seperti nelayan di Teluk Jakarta. Namun, karena massa-nya kalah besar, aksi mereka pun luput dari perhatian.

Alasan mereka sama, karena reklamasi justru bakal mencekik leher para nelayan. Kualitas air semakin buruk, perairan tempat mereka melaut juga bisa beralih menjadi daratan.

Pencurian pasir

Reklamasi Jakarta maupun Tangerang ini tak hanya berdampak pada nelayan di wilayah sekitar pulau buatan. Para nelayan di Pantai Serang Utara, Banten, juga terkena dampaknya.

Salah satu nelayan, Kholid Miqdar, masih menyaksikan pencurian pasir hingga sekarang. “Setelah moratorium, kapal-kapal penambang pasir juga masih jalan,” kata dia saat dihubungi Rappler kemarin.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Manusia Rizal Ramli mengatakan proyek reklamasi Teluk Jakarta dihentikan sementara untuk menuntaskan masalah administrasi hingga sesuai dengan undang-undang.

Namun, hingga saat ini memang masih belum keluar surat resmi penghentian, sehingga perusahaan pengembang masih bandel untuk melanjutkan pengerjaan. Terutama, di daerah Bontang, Penara, dan Tirtayasa.

Sepenglihatan Kholid, kapal yang masih berjalan adalah kapal Queen of Netherlands yang beroperasi di sekitar Lontar dan kapal Vox Maxima di sekitar perairan Pulo Tunda. Pasir yang diuruk merupakan bahan baku untuk pulau-pulau buatan di Teluk Jakarta.

Akibatnya, perairan di sekitar menjadi keruh. Juga merusak koloni terumbu karang yang ada. Selain itu, petani-petani tambak juga tak bisa lagi berbisnis lantaran abrasi yang merusak tambak mereka. “Benar-benar merusak kehidupan kami!” kata Kholid.

Menurut analisa Kholid, kegiatan penambangan tersebut adalah ilegal karena tak berizin. “PT belum ada kok sudah menambang,” kata dia.

Sebenarnya, kapal-kapal tersebut telah beroperasi sejak tahun 2003. Namun, setelah keluarnya UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, para pemilik kapal harus memperpanjang izin ke pemerintah provinsi. Kholid mengatakan syarat ini belum dipenuhi enam perusahaan penambang pasir di Teluk Banten.

Entah mengapa kapal-kapal ini bisa terus beroperasi tanpa pernah disentuh oleh aparat berwenang. Nelayan Serang yang berjumlah hingga ribuan tak henti-hentinya menyerukan aksi penolakan. Bahkan, pada 2012 lalu, sempat ada penembakan yang dilakukan oleh oknum Pol Airud (Polisi Air dan Udara) terhadap tiga nelayan setempat.

“Kalau diteruskan, aksi semacam ini sangat bertentangan dengan jargon Pak Jokowi soal kebangkitan maritim,” kata Kholid. Reklamasi justru lebih mematikan nelayan, ketimbang memperbaiki kehidupan mereka. – Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!