Ibu-ibu Kendeng kecewa batal bertemu Gubernur Ganjar

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ibu-ibu Kendeng kecewa batal bertemu Gubernur Ganjar
Ibu-ibu Kendeng perjuangkan daerahnya yang menurut mereka dirusak pabrik semen

SEMARANG, Indonesia (UPDATED) — Untuk kesekian kalinya, dialog antara perwakilan perempuan Pegunungan Kendeng dengan pemerintah gagal menemukan titik terang.

Setelah sebelumnya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengutus Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki untuk menyapa sembilan ibu-ibu Kendeng yang menyemen kakinya di Istana Negara, Jakarta, kali ini Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga melakukan hal serupa.

Ganjar hanya mengutus Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jawa Tengah, Agus Sriyanto, dan Kepala Bidang Konservasi BLH Othnel Moeda untuk menghadiri dialog bersama ibu-ibu Kendeng di Gedung Thomas Aquinas Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, pada Kamis, 21 April.

Gunretno, perwakilan warga kawasan karst Pegunungan Kendeng di Pati, mengaku kecewa dengan ketidakhadiran Ganjar dalam dialog tersebut.

“Seharusnya hari ini ada acara rembukan bareng. Tapi nyatanya acara rembukan sengaja diputus di tengah jalan,” kata Gunretno. 

Gunretno menyayangkan sikap pemerintah daerah yang justru menuding ada aktor intelektual di balik aksi penolakan pabrik semen yang akan dibangun di Sukolilo Kabupaten Pati.

“Ada yang bilang, paseduluran di Kendeng menolak pabrik semen karena dipaksa-paksa segelintir orang. Padahal, tidak ada satu gerakan pun yang menumpangi aksi penolakan yang kami lakukan selama ini,” kata Gunretno.

Ia berpendapat bangsa Indonesia semestinya bangga terhadap rakyatnya yang tetap bersikeras mempertahankan kehidupan agraria dengan mengandalkan keuletan para petani sehingga nantinya mampu mewujudkan wilayah yang hijau dan makmur.

“Seperti yang telah dilakukan para profesor yang mengirimkan surat terbuka buat Presiden Jokowi untuk mendesak adanya moratorium demi menghentikan investasi pabrik semen di seluruh Indonesia,” ujarnya.

Gunretno mengatakan, persoalan pabrik semen memang sangat rumit. Ia bilang, ada berbagai aspek yang terlibat di dalamnya mulai aspek sosial hingga kepentingan ekonomi.

Namun, penolakan pabrik semen didasari atas situasi yang berkembang di masyarakat sejak tiga perusahaan tambang raksasa menancapkan kaki-kakinya di Kendeng.

Ibu-ibu Kendeng saat berdialog dalam diskusi 'Membaca AMDAL' di Semarang, pada 21 April 2016. Foto oleh Fariz Fardianto/Rappelr

Warga menolak keberadaan ketiga pabrik tersebut karena merusak kawasan karst demi menghasilkan ratusan miliar ton semen.

“Pengusaha dapat untung berlipat-lipat dari mengeruk kawasan karst jadi semen. Saya sendiri melihat eksplorasi tersebut tidak sesuai dengan aturan di pPerda tata ruang yang sudah dibuat Pemkab Pati,” ujar Gunretno.

Ia menyatakan apa yang telah dilakukan pabrik semen di Pati mengancam ekosistem setempat. Pabrik semen, menurutnya, sebelumnya telah merusak wilayah Gresik lalu merembet ke Kabupaten Tuban Jawa Timur, Blora di Jawa Tengah, hingga Rembang dan Pati.

“Makanya, saya siap diundang kapanpun untuk diajak berembuk dengan Pak Gubernur. Apalagi kalau pabrik semen tidak jadi di Pati, kami malah sangat suka. Jangan memaksakan keinginan pribadi dengan merusak alam,” katanya.

Sedangkan, seorang perempuan Kendeng, Sukinah, mengkhawatirkan kelangsungan hidupnya jika pabrik semen dibangun di kampungnya.

“Lha nek saiki wes podo kerjo teng kono opo sesuk mbiyen iso kerjo teng kono meneh? Upahe cuma Rp 60 ribu tapi opo isoh dinggo mangan dewe,” kata Sukinah dalam bahasa Jawa.

Yang dapat diartikan, “Kalau sekarang bisa kerja di sana, apa iya besok bisa kerja di sana lagi? Upahnya hanya Rp 60.000 tapi apa iya bisa untuk makan sendiri?”

“Lha nek saiki wes podo kerjo teng kono opo sesuk mbiyen iso kerjo teng kono meneh? Upahe cuma Rp 60 ribu tapi opo isoh dinggo mangan dewe.”

Ia lantas membandingkan kehidupannya di sektor pertanian.

“Kalau saya sejahtera. Makan jagung atau padi juga bisa. Tidak pernah minta. Malah bisa menjual jagung buat membeli motor. Saya tidak ikhlas kalau hutannya dirusak karena sudah menghidupi saya dengan cukup,” ucapnya.

Kekecewaan serupa juga ditunjukan oleh Giyem, ibu Kendeng lainnya. “Saya tidak rela jika buminya dipakai untuk mendirikan pabrik semen,” akunya.

Kepala Bidang Konservasi BLH Othnel Moeda pun meminta warga Kendeng menanyakan langsung ke Gubernur Ganjar soal kelangsungan proyek pabrik semen di Pati.

Ia berdalih mempunyai tugas sebagai tim penilai analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang sering dianggap menghambat investasi. Ia mengatakan komponen dalam AMDAL pabrik semen sangat multi disiplin. Ada segi geofisika, sosial, dan ekonomi.

“Setiap warga negara berhak melakukan penambangan asalkan punya AMDAL. Tapi yang memutuskan AMDAL bukan BLH, namun kolektif melibatkan banyak ahli,” kata Othnel.

Menurutnya, pabrik semen dibangun di Pati karena permintaannya cukup besar. Pangsa pasarnya menyasar hingga ke pelosok Papua. 

“Maka dari itu, karst Kendeng adalah pilihan yang logis untuk saat ini mengingat lokasinya dekat dengan pelabuhan,” ujarnya.

Sementara itu, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, mengatakan bahwa ia belum pernah diajak bertemu untuk berdiskusi.

“Gagal? Sampai sekarang belum ada permintaan bertemu,” kata Ganjar melalui akun Twitter-nya, Jumat, 22 April.

Sebelumnya beredar poster undangan acara diskusi yang menyantumkan nama Ganjar sebagai salah satu pembicara.

—Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!