Indonesia

Sabtu siang di Rusunawa Jatinegara Barat

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sabtu siang di Rusunawa Jatinegara Barat
Meskipun harus tinggal berdesakan di unit rusunawa, warga mengakui aman dari banjir tahunan. Tapi dihantui masalah ekonomi: penghasilan turun, biaya meningkat

JAKARTA, Indonesia – Sabtu siang kemarin, 23 April, saya berkunjung ke kompleks rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Jatinegara Barat, Jakarta Timur. Letaknya tak jauh dari kawasan Kampung Pulo, di pinggir jalan raya.  

Di halaman rusunawa, anak-anak bermain. Ada yang lari-lari bercanda dengan kawan, ada yang naik alat bermain yang dipasang di halaman belakang, di depan ruangan untuk PAUD (pendidikan anak usia dini). 

Ada ruang fasilitas kesehatan. Beberapa anak bermain di depan masjid yang letaknya di sudut kiri dekat Tower, atau menara A. Ada dua menara di bangunan dengan 16 lantai. Masing-masing lantai di setiap gedung memiliki 18 unit.

Ada yang langsung menarik perhatian saya. Di pojok kanan depan, di dekat Tower A, nampak belasan gerobak dagang.  Ada yang menjual bakso, soto, gorengan, dan kopi. Ada penjual gado-gado, bahkan yang menjajakan busana Muslim.  

Saya mampir, dan memesan segelas kopi. Pak Usep Suhendar, penghuni lantai 6 Tower A, menyeduh kopi instan pesanan saya dengan air panas. Di depan saya ada jajanan gorengan: bakwan, tahu isi, pisang goreng, dan lontong isi sayur. Masing-masing dijual Rp 1.000 per buah. Segelas kopi dihargai Rp 3.000.  

“Kalau dijual lebih mahal, orang enggak mau beli,” kata Pak Usep yang berkumis tebal.

Pak Usep tergolong pemuka warga di tempat tinggalnya Kampung Pulo, Jakarta Timur. Dia menjabat sebagai ketua Rukun Tetangga selama 15 tahun. Pak Usep mengaku tinggal di rumah yang sudah dimiliki keluarganya sejak 1906, diwariskan turun-temurun.  

“Pengertian saya, ya hak milik. Kami bayar pajak, bayar listrik, bayar iuran air, pokoknya semua kewajiban, dah,” kata Pak Usep yang mengaku sebagai warga Betawi asli.

Sebagaimana warga Kampung Pulo lainnya, rumah Pak Usep dua tingkat. Selain untuk mengungsikan keluarga dan harta benda jika terjadi luapan air sungai, yang terjadi setiap tahun, Pak Usep bisa menyediakan ruangan yang cukup untuk dia, istri, dan empat anaknya.  

“Ada ruang tamu dan kursi tamu. Bisa jualan di depan rumah juga. Pembelinya lebih banyak, karena tidak hanya mengandalkan tetangga, tapi juga warga umum yang lewat,” katanya.

Uji coba jualan di halaman rusunawa

Berjualan di halaman depan rusunawa adalah uji coba yang dilakukan pengelola rusunawa Jatinegara Barat, atas desakan warga penghuni. 

Selama ini, mereka diberikan tempat berjualan di lantai 2, yang juga difungsikan sebagai area serba guna untuk kegiatan warga. Praktis, lokasinya tak nampak dari jalanan umum. Penjual hanya mengandalkan pembeli dari penghuni rusunawa.  

Berjualan di halaman depan baru dimulai Jumat, 22 April, dan akan berlangsung selama empat hari. Pengelola berjanji akan evaluasi. Warga pedagang diminta menjaga kebersihan. Mereka dijanjikan bahwa tanah tempat berdagang akan dirapikan.  

“Katanya sih mau di-floor. Lalu ditata. Kita disarankan beli kursi yang seragam. Biar rapi,” kata Pak Usep. 

Kalau hujan? Pak Usep terdiam. Lahan di ujung halaman depan itu terbatas. Tak semua warga yang berdagang di lantai 2 bisa pindah ke situ.

“Lumayan masih bisa berdagang. Tapi pembelinya menurun dibandingkan ketika di Kampung Pulo,” kata Hendra, anak muda yang memiliki warung kelontong.  

Hendra menjual beragam barang kebutuhan sehari-hari, dari beras, telur, minyak goreng, ikan, hingga sayur di lantai 2. Di sebelahnya ada warga yang menjual dagangan persis sama. Seperti di pasar. Suasana lantai 2 sepi transaksi.

Saya membeli sekilo telur ayam, seperempat kilo bawang merah, dan setengah kilo bawang putih sambil berbincang dengan Hendra.  

Hendra dan Pak Usep tergolong beruntung karena masih bisa menjalankan usaha ekonomi, sehingga bisa membayar sewa bulanan, sekaligus membayar penggunaan air dan listrik. Kesamaan di antara mereka adalah, penghasilan menurun dibandingkan ketika masih tinggal di Kampung Pulo.  

“Tapi kan tidak kena banjir lagi?” ujar saya kepada Pak Usep.  

“Iya, kalau soal enggak kena banjir memang di sini lebih aman. Yang belum jelas memang soal ekonomi,” kata Pak Usep.

Pengelola memberikan fasilitas bebas sewa hanya tiga bulan pertama. Setelah itu, penghuni harus membayar Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL) senilai Rp 300.000 per bulan. Ini yang dimaksud dengan uang sewa.  

Lantas ada iuran air Rp 100.000 an per bulan. Listrik menggunakan voucher, tergantung pemakaian. Rata-rata membayar Rp 100.000 per bulan. Jadi, setiap bulan sejak Desember 2015, warga harus menyediakan duit Rp 500.000.  

Uang sewa dibayar paling lambat tanggal 20 setiap bulan. Jika telat, ada peringatan dari pengelola. Tapi belum sampai diusir.

Pengelola rusunawa memang sudah mengatakan bahwa penghuni yang menunggak selama tiga bulan sejak Januari sampai Maret 2016, tidak akan diusir, tetapi akan dilakukan pendekatan.

Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama meminta warga untuk memanfaatkan peluang menjadi tenaga kebersihan atau memanfaatkan bantuan modal untuk berdagang.

Media massa sempat memberitakan ada 38 warga yang menunggak, tak sanggup bayar sewa selama tiga bulan terakhir. Belakangan pengelola mengatakan 10 orang sudah menyatakan kesanggupan membayar.

Pak Berri menunjukkan surat perjanjian kontrak sewa selama dua tahun. Foto oleh Uni Lubis/Rappler

“Yang masih bisa dagang, atau usaha lain, atau memiliki pekerjaan di luar, memang lumayan. Kami bisa membayar sewa,” kata Pak Berri, warga yang menghuni sebuah unit di lantai 3.   

Dari lantai 2 saya menaiki tangga ke lantai 3. Saya bertamu ke unit Pak Berri, yang nama sebenarnya adalah Iif Irfan. Kami duduk di atas tikar plastik yang digelar istrinya di ruangan serbaguna. Ya, saya sebut serba guna karena di situlah fungsi ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, sekaligus dapur. Ada dua kamar tidur dan kamar mandi.

Pak Berri bekerja di perusahaan ekspedisi. Istrinya tidak bekerja. Mereka punya tiga anak, yang tertua sekolah di SMK di kawasan Tebet.  

“Tadinya sekolah cukup jalan kaki dari rumah, sekarang pakai ongkos angkot,” kata dia.  

Unit tempat tinggal Pak Berri cukup rapi. Ada televisi plasma berukuran sedang. Keluarga ini pindah dari rumah yang sudah ditempati selama 40 tahunan di Kampung Pulo. Begitu juga orang tua dan mertua. Mertua Berri kini masih tinggal di Kampung Pulo, karena lokasi rumahnya tidak dirobohkan.

Pak Berri menunjukkan surat yang menunjukkan bahwa keluarganya memiliki status hak milik. Surat itu ditandatangani ketua RT, Kepala RW, dan  Kepala Lingkungan di wilayah Kelurahan Kampung Melayu, kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. 

Surat ditandatangani pada 9 Oktober 1992. Di situ dituliskan bahwa Astiam, ibu Berri, berstatus pemilik atas bangunan yang didirikan atas lahan negara.  

“Ya sampai sekarang sih masih mengharapan ganti rugi. Setidaknya 25 persen lah dari nilai bangunan,” kata istri Berri.  

Harapan yang sulit terwujud.

Ketidakpastian mengancam

Bagi warga yang masih bekerja seperti Pak Berri, kekhawatiran masih menyangkut terakit kepastian masa depan sewa.  

“Dari memiliki rumah, kini sewa. Itu saja sudah beda. Sekarang, menurut perjanjian dengan pengelola, kami bisa menghuni rusunawa ini dalam dua tahun. Berakhir November 2017. Setelah itu belum jelas,” kata dia.  

Dia menunjukkan dokumen kontrak yang diteken antara dirinya dengan pengelola.  Dalam Pasal 3 ayat (2) juga dicantumkan bahwa biaya sewa rusunawa dapat berubah sesuai ketentuan tarif yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. 

“Semuanya jadi penuh ketidakpastian,” ujar Pak Berri.  

Kelanjutan perjanjian sewa yang ditandatangani Berri pada 26 November 2015  juga bergantung kepada pihak pertama, dalam hal ini Dinas Perumahan DKI Jakarta.

 

Pak Berri lantas menceritakan soal pembentukan Forum Silaturahmi Warga Rusunawa Jatinegara Barat. Istrinya menunjukkan selembar kaus warna biru tua yang sudah disablon nama organisasi ini.  

“Ini semacam kumpulan untuk menangani masalah sosial yang dihadapi warga, termasuk soal mereka yang tak sanggup membayar. Kami mencoba mencarikan jalan keluar. Tapi terus terang belum tahu bagaimana,” kata Pak Berri.  

Dia ditunjuk jadi wakil ketua. Menjelang penggusuran Kampung Pulo, dia masuk dalam tim 9 yang melakukan negosiasi dengan Pemprov.

Dari Pak Berri dan Pak Usep saya mendapatkan informasi bahwa Pemprov menawarkan bantuan kredit untuk modal berusaha.  

“Ada yang 1 juta, bahkan bisa 2 juta sampai 10 juta,” kata Pak Usep. “Pengembalian dicicil. Bisa Rp 50.000 per minggu, atau Rp 16.500 per hari.”

Bagaimana dengan janji pelatihan untuk memulai usaha? “Memang ada. Tapi belum ada realiasinya,” kata Pak Berri.

Pak Usep mengatakan, mereka yang menunggak punya beragam alasan.  

“Bisa karena tidak bekerja, karena sudah tua misalnya. Tidak mau menerima bantuan dari keluarganya. Macam-macam,” kata dia.  

Warga rusun eks Kampung Pulo kini membentuk RT 001/RW 009. Ketua RT-nya Lita Pandirari. Saya melihat susunan pengurus dan nomor telepon mereka ditempel di dinding dekat pintu lift. 

“Saya bantu-bantu jadi humas. Enggak mau jadi RT lagi, karena warga saya dulu kan sudah berpencar-pencar, ada yang di tower B,” kata Pak Usep.  

Pak Berri mengatakan warga yang tak sanggup membayar sewa juga ada yang berdagang. Tapi penghasilan di rusunawa tak mampu menutup biaya hidup, apalagi sewa.  

Berkunjung ke rusunawa Jatinegara Barat ini semacam kewajiban jurnalistik. Menjalankan assignment calendar, kalender penugasan. Ini maksudnya mengecek kembali apa yang terjadi atas apa yang pernah kita tulis beberapa waktu lalu.  

Iya, saya ke rusunawa ini pada 21 Agustus 2015, tepat pada hari di mana 500-an warga yang tadinya tinggal di bantaran kali Ciliwung yang melalui Kampung Pulo, dipaksa untuk pindah ke rusunawa ini. Saya melakukan liputan live by Periscope dari sini, obrolan dengan ibu Zulfaini. Pengalaman pertama saya menggunakan fasilitas dari Twitter itu.

Ketika pemerintah provinsi DKI Jakarta menggusur (atau kalau mau menggunakan bahasa penguasa, merelokasi) sempat terjadi bentrok antara sebagian warga dengan aparat. Warga menolak dipindahkan dari tanah yang sudah puluhan tahun mereka huni, dan mereka anggap sebagai hak milik.

Ketika itu baru sehari sesudah penggusuran. Beberapa warga, termasuk Zulfaini, tak memegang selembar surat apapun yang menjamin mereka bisa menghuni rusunawa, untuk berapa lama. Situasinya masih simpang-siur. Warga sibuk mondar-mandir memindahkan harta benda yang masih sempat diselamatkan. Sebagian terlanjur hancur bersamaan dengan hancurnya rumah mereka dirobohkan alat berat.

Menilik definisi yang saya baca di situs perumnas.co.id, rusunawa peruntukannya untuk disewa oleh warga kota yang tidak mampu membeli rumah, atau yang ingin tinggal sementara waktu. 

“Saya memiliki rumah yang lama itu. Masa harus bayar sewa? Saya ikhlas dipindah ke sini, tapi saya minta hak milik,” kata Zulfaini waktu itu.

Kini, hampir sembilan bulan setelah peristiwa itu, saya kembali ke rusunawa ini. Waktu yang cukup juga bagi warga untuk menilai masa depan mereka, berdasarkan kehidupan di rusunawa. Secara sosial budaya mereka tercerabut dari kehidupan di tempat asal.  

“Buka pintu sudah ada tetangga. Bisa berkeluh kesah. Di sini tetangga sudah terpencar. Sepi,” kata istri Berri.  

Rasa aman dari banjir mereka rasakan, dengan pengorbanan harus tinggal berdesakan di unit berukuran 30 meter persegi.  

“Karena anak ada yang sudah besar, saya mengalah tidur di sini,” kata Berri seraya menunjuk ruangan tempat kami berbincang-bincang. Ruang serba guna.

Yang menjadi benang merah dari percakapan dengan mereka adalah menurunnya penghasilan, sementara  pengeluaran bulanan meningkat. Ada kewajiban bayar sewa.  

Mbak Esty, yang jualan gado-gado di samping Pak Usep, selama ini memilih tetap berjualan di pinggir jalan di kawasan tempat tinggalnya yang lama meskipun menjadi warga rusunawa. 

“Ini lagi mencoba, Mbak. Apakah dengan jualan di halaman depan pembelinya banyak. Ngarepin dari orang lewat juga,” tutur dia.

Mungkin problem ini yang akan dirasakan warga yang baru pindah ke rusunawa dengan bangunan baru dan megah.  Mereka masih menikmati tiga bulan pertama bebas sewa.  

Mungkin juga tidak. Saya berharap mereka survive. Jalan bagi mereka dan anak-anak mereka masih panjang. Di halaman rusunawa saya melihat anak-anak bersenda-gurau. Mereka mungkin tidak merasakan kekhawatiran orang tuanya. Anak-anak ini, mereka yang kita lihat bisa tertawa manakala banjir menerjang di Kampung Pulo bertahun-tahun, setiap tahun.  Anak-anak yang tangguh.  

Pulang dari rusunawa saya menenteng tiga bungkus gado-gado Mbak Esty, 15 gorengan, dan belanjaan dari Hendra.  Kapan-kapan kalau Anda lewat di depan rusunawa Jatinegara, silakan mampir dan menikmati dagangan mereka. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!