Jenderal militer Filipina pilih mundur usai Abu Sayyaf eksekusi sandera

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jenderal militer Filipina pilih mundur usai Abu Sayyaf eksekusi sandera
Sandera asal Kanada, John Risdel dieksekusi pada Senin, 25 April karena pemerintah tidak juga memenuhi tuntutan uang tebusan.

JAKARTA, Indonesia – Komandan Brigade Pasukan Militer di Pulau Sulu, Filipina Alan Arrojado memilih mundur dari posisinya pada Selasa, 26 April. Berdasarkan dua sumber Rappler, pengunduran diri Arrojado terkait insiden eksekusi sandera Kanada yang dilakukan oleh kelompok milisi Abu Sayyaf.

Menurut informasi dari sumber tersebut, di dalam surat pengunduran diri Arrojado tertulis alasan dia mundur karena terkait perbedaan strategi pendekatan untuk mengatasi ancaman Abu Sayyaf di Pulau Sulu.

Pada Senin sore, 26 April, Abu Sayyaf mengeksekusi sandera asal Kanada, John Risdel pasca tenggat waktu pembayaran uang tebusan terlewat. Padahal, Abu Sayyaf telah memperpanjang tenggat waktu hingga dua kali sejak mereka menculik Risdel pada bulan September 2015.

Pria berusia 68 tahun itu diculik bersama tiga orang lainnya ketika tengah berada di Pulau Samal di Davao. Begitu mengetahui uang tebusan tidak juga diberikan, Abu Sayyaf memenggal kepala Risdel. Mereka kemudian membuang kepalanya yang terbungkus plastik di pojok sebuah jalan di Pulau Jolo pada Senin malam.

Aksi pembunuhan itu memicu kemarahan dari otoritas Filipina, Kanada dan dunia.

Perjalanan karir Arrojado di Pulau Sulu tidak berjalan mulus. Sebelumnya pada 5 April, dia dipecat sebagai komandan Kelompok Tugas Bersama Sulu yang bertugas mengawasi semua operasi keamanan di provinsi tersebut. Namun, dia tetap dibiarkan menjabat posisi sebagai komandan brigade 501.

Presiden Benigno Aquino III pada Senin kemarin sudah memerintahkan agar angkatan bersenjata Filipina segera melakukan operasi militer untuk menyelamatkan keempat sandera itu. Namun, di mata pengamat terorisme Wawan Purwanto, langkah Aquino dengan mengumumkan instruksi tersebut tidak tepat.

“Justru akan lebih aman jika Pemerintah Filipina tak perlu mengumumkan hal itu dan melakukan operasi senyap,” kata Wawan yang dihubungi Rappler melalui telepon pada Senin malam, 25 April.

Kondisi 14 sandera asal Indonesia diketahui masih baik. Perusahaan pemilik kapal PT Patria Maritime Lines sudah bersedia untuk membayarkan uang tebusan yang diminta oleh Abu Sayyaf sebesar 50 juta Peso atau Rp 14,2 miliar.

Walaupun begitu Presiden Joko “Jokowi” Widodo bersikeras untuk membayar uang tebusan itu.

“Tidak ada urusan dengan uang tebusan,” kata dia.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga mengakui sulit untuk melakukan misi penyelamatan 14 WNI.

“Memang kita ingin agar sandera bisa dilepas tetapi kita juga harus sadar itu (kejadian penyanderaan) berada di negara lain. Kalau kita mau masuk ke sana juga harus ada izin, kalau kita mau menggunakan TNI, kita juga harus izin,” kata Jokowi.

Posisi Pemerintah Filipina pun tidak mudah, karena jika mereka ingin mengizinkan militer Indonesia masuk, maka membutuhkan persetujuan dari parlemennya. Untuk itu, dia berencana menggelar pertemuan antara 3 Menteri Luar Negeri dan Panglima Angkatan Bersenjata pada pekan ini.

Tujuannya untuk membahas mengenai patroli bersama sehingga bisa memastikan alur pelayaran di Filipina selatan dalam kondisi aman. – Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!