Ketika reklamasi bukan cuma masalah Jakarta

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketika reklamasi bukan cuma masalah Jakarta
Dampak reklamasi Teluk Jakarta mencapai Banten juga. Nelayan dan petani tambak merasa dirugikan penambangan pasir yang kelak menjadi 17 pulau buatan.

 

SERANG, Indonesia — Kasus reklamasi tengah menjadi buah bibir masyarakat ibu kota beberapa pekan terakhir. Terutama, setelah terungkap adanya suap uang bernilai miliaran rupiah serta tumpang tindih perizinan yang menyeret banyak pihak.

Gaung penolakan atas upaya pembuatan 17 pulau di perairan Teluk Jakarta pun semakin keras. Nelayan-nelayan yang terkena dampak nyata reklamasi semakin lantang berteriak, demikian pula organisasi masyarakat yang sejak awal resisten terhadap proyek ini.

Menurut mereka, rakyat kecil tak ada yang diuntungkan dengan pengurukan dan penimbunan pasir besar-besaran ini. Yang ada, mereka semakin miskin dan terancam kehilangan mata pencaharian.

Namun, apakah dampak reklamasi hanya dirasakan mereka yang tinggal di Jakarta saja?

Tercekik tambang pasir

Pemerintah, melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, pekan lalu telah memutuskan untuk melaksanakan moratorium terhadap reklamasi Teluk Jakarta yang diinisiasikan oleh Pemerintah Provinsi Jakarta.

Namun bagi Ketua Front Kebangkitan Petani dan Nelayan Banten, Kholid Mighdar, pernyataan pemerintah untuk menghentikan sementara proyek reklamasi tersebut hanya omong kosong. Hampir sepekan berlalu setelah moratorium diucapkan, namun ia masih melihat kapal Queen of The Netherlands beroperasi di Teluk Lontar, Serang, Banten.

“Masih saja ada, terus menghisap pasir,” kata Kholid pada Rappler, Rabu, 28 April. Hampir sekitar setengah kilometer dari lokasi Rappler berdiri, kapal yang disebutkan dapat terlihat mata telanjang.

‎Rappler berkesempatan untuk melihat kegiatan penambangan di Pulau Tunda, Banten. Pasir-pasir yang diangkut ini, adalah bahan baku untuk membuat pulau buatan di Teluk Jakarta.

Kapal berkapasitas 33.423 gross tonnage (GT) ini ditengarai melakukan penambangan pasir dengan izin palsu. Salah satunya adalah dengan memalsukan tanda tangan warga sekitar kawasan penambangan.

“Waktu itu kami sempat diundang untuk ‘ngobrol’ di Balai Desa. Tapi daftar hadirnya tiba-tiba ada di Amdal,” kata Kholid, merujuk kepada dokumen Analisa Dampak Lingkungan.

Ia mengendus ada rekayasa perizinan yang dilakukan pemerintah setempat untuk memuluskan proses penambangan.

AMDAL PALSU? Bukti adanya pemalsuan daftar hadir masyarakat di dua Amdal dari perusahaan berbeda. Namun, urutan peserta tetap sama. Foto oleh Ursula Florene/Rappler

Hal serupa juga terjadi pada koperasi masyarakat, yakni Koperasi Niaga Pantura, yang namanya terdaftar sebagai pengguna jasa kapal Queen of The Netherlands.

Kholid menegaskan hal tersebut tak benar, dan nama para anggota koperasi telah dicatut oleh penyewa sebenarnya, yakni PT Jetstar. Kasus pemalsuan ini telah ia daftarkan ke kepolisian setempat, namun sudah ditangguhkan sejak 3 tahun lalu.

“Karena itu izinnya apa? Basisnya apa? Bodong itu!” kata pria berusia 76 tahun ini. Karena menurut Kholid, Amdal-nya palsu, ia kemudian menyimpulkan izin-izin yang lain secara otomatis tidak sah.

Selain itu, menurut Kholid, Peraturan Daerah Zonasi area tersebut juga belum ada. Tak ada batasan jelas tentang mana daerah yang bisa diisap pasirnya; dan mana yang tak boleh disentuh lantaran merupakan daerah operasi nelayan.

Dengan demikian, Kholid menyatakan kalau kegiatan kapal-kapal ini adalah ilegal.

Kapal Queen of The Netherlands sendiri kebetulan berdiam sekitar 500 meter dari lokasi berdiri di Teluk Lontar. Kapal raksasa berwarna hitam itu, menurut para nelayan, sering terlihat beroperasi sejak siang menghisap pasir.

“Malamnya baru bawa pasir ke Pulau Seribu,” kata Kholid.

Beberapa kali kapal menggeser posisinya, namun tak pernah benar-benar jauh. Menjelang maghrib, Queen of The Netherlands bertolak meninggalkan perairan Banten.

Berdasarkan pantauan dari situs Marine Traffic, kapal ini beberapa kali bolak-balik ke arah Teluk Jakarta. Menurut para nelayan, pasir itulah yang digunakan untuk menggarap Pulau G, yang berada di bawah PT Muara Wisesa Samudera, anak perusahaan Agung Podomoro Land.

Pergerakan kapal Queen of The Netherlands sebagaimana terekam dari situs Marine Traffic, pada 28 April 2016.

Secara terpisah, Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah mengatakan memang pernah memberikan izin penyedotan pasir tengah laut kepada kapal tersebut. Namun, sudah berakhir tahun ini.

Untuk mengurus perpanjangan izin, pemilik kapal harus menghadap pemerintah provinsi. “Kalau belum meminta izin ke provinsi, itu ilegal,” kata Ratu Tatu kepada media.

Sementara itu, Gubernur Banten Rano Karno mengaku tak tahu dan tak pernah mengeluarkan izin penambangan.

“Tanya ke Pemkab (Serang) saja,” kata Rano.

Trauma tembakan

TAMBANG PASIR. Seorang nelayan menunjukkan Amdal penambangan pasir di Banten yang ditengarai bodong. Foto oleh Ursula Florene

Sayang, meski sudah berjuang sejak 4 tahun silam, suara para nelayan ini tak didengar para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Banten, apalagi pemerintah daerah.

Bahkan, malah opresi yang mereka dapatkan. Pada 2012, saat nelayan ramai-ramai menolak penambangan, tiga orang tertembak peluru panas. Raudi, yang saat itu belum genap 20 tahun, merasakan panasnya peluru di bokongnya.

“Saya tak tahu siapa yang tembak, karena itu malam. Gelap,” kata Raudi, pemuda asal Desa Lontar. Selain dia, ada tiga orang lain yang terkena di bagian pelipis, dahi, dan paha.

Hingga kini belum ditemukan titik terang perihal siapa pelaku penembakan terhadap para nelayan ini. Raudi dan korban lainnya pun hanya mendapat perawatan seadanya di perahu nelayan lain yang ikut beraksi.

Rupanya, peristiwa itu masih sangat membekas bagi para nelayan. Saat Rappler hendak menaiki kapal kayu mendekati Queen of The Netherlands yang tengah menghisap pasir, beberapa nelayan memperingatkan untuk tak terlalu dekat.

“Nanti ditembak,” kata mereka.

Beberapa orang mengaku pernah berhadapan dengan peluru saat berada di jarak dekat dengan kapal berbendera Siprus itu. Tak jarang, saat beroperasi, ada penjaga yang mengenakan topeng hitam mengitari kapal Ratu Belanda itu dengan speedboat.

Memang dalam perjalanan, melalui lensa panjang kamera DSLR, terlihat awak kapal yang meneropong ke arah kapal kayu. Namun, saat Rappler berkunjung, tak ada speedboat penjaga yang berseliweran di sekitar kapal raksasa itu.

Pemiskinan

Apa dampak penambangan pasir yang diduga ilegal ini terhadap masyarakat di sekitar Teluk Lontar? Sama dengan para nelayan di Teluk Jakarta, mereka menjadi semakin berkekurangan.

Setidaknya, itu yang dikatakan oleh Tibyani, nelayan asal Desa Lontar yang menjadi lokasi penambangan pasir. Sebelum penambangan, ia berprofesi sebagai petani rumput laut.

“Bisa dapat Rp 4-5 juta sebulan, dulu,” kata dia.

Setelah penambangan dimulai sejak 2012, penghasilannya terus menurun. Tahun ini, ia mengaku kesulitan untuk mendapat bahkan Rp 1 juta per hari. Padahal, ia harus menghidupi istri dan anaknya yang baru berusia 9 bulan.

“Untuk memenuhi, ya saya serabutan sekarang. Kadang ikut teman-teman melaut atau demonstrasi,” kata Tibyani.

Menurutnya, penurunan penghasilan yang ia terima disebabkan oleh kualitas rumput laut yang menurun. Salah satu faktor penyebabnya adalah air laut yang sangat keruh karena bercampur lumpur dan pasir.

Rumput laut di tambaknya kini tak bisa lagi mencapai 15 senti meter per helai, sehingga sulit memenuhi standar pembeli. “Bahkan sering gagal panen,” katanya.

Tak hanya itu, para petani tambak juga kehilangan lahan karena penambangan. Penghisapan pasir ternyata mempercepat proses abrasi di perairan Lontar, yang berujung pada hilangnya tambak-tambak masyarakat. Kholid mengklaim, sudah ada 500 hektar tambak masyarakat yang raib karena terkikis terus menerus.

Akibatnya, banyak yang menjual tambak mereka dengan harga semurah mungkin. “Ada yang jual hanya Rp 2 ribu atau Rp 8 ribu per meter,” ujar Kholid.

Normalnya, harga yang dijual sekitar Rp 30 ribu hingga Rp 75 ribu per meter.

Kondisi ini mendorong para nelayan untuk melayangkan surat protes kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pertama, mereka akan menyinggung masalah perizinan yang masih menggantung. Kedua, persoalan hukum yang terkesan dibiarkan saja.

“Harus diusut tuntas semuanya,” kata Kholid.

Sejarawan JJ Rizal mengatakan, reklamasi di Teluk Jakarta tak hanya memiliki dampak ekologis, namun juga membunuh ruang hidup manusia.

“Hal yang tak pernah kita bayangkan sebagai kejahatan semacam ini ternyata ada,” kata Rizal, yang juga mendampingi para nelayan dan petani Banten.

Ia mempertanyakan, mengapa pemerintah diam saja saat ada pengerjaan proyek yang masih belum memenuhi perundangan maupun perizinan.

Proyek reklamasi nasional

Peta reklamasi nasional. Sumber: KIARA

Teluk Jakarta dan Banten hanyalah sebagian kecil dari reklamasi pantai yang ternyata juga berlangsung di seluruh Indonesia. Sebut saja reklamasi di Teluk Benoa, Bali; Pantai Boulevard dan Teluk Palu, Sulawesi.

Berdasarkan data dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), lokasi-lokasi ini masih menyimpan sejumlah permasalahan, terutama dari dampak lingkungan serta perizinan.

“Nelayan banyak yang dirugikan, ini bertentangan dengan pernyataan Pak (Presiden) Joko Widodo soal negara maritim,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim saat ditemui Rappler di kantornya pada Senin, 25 April.

Ia berharap pemerintah dapat segera meninjau ulang proyek-proyek ini sebelum dampak kerugian melebar ke pihak-pihak lain.—Rappler.com

Baca juga laporan Rappler lainnya soal reklamasi:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!