Philippine economy

Bicara Seks: 5 pelajaran yang bisa kamu ambil dari Tinder

Anindya Pithaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bicara Seks: 5 pelajaran yang bisa kamu ambil dari Tinder
Asam manis dunia kencan modern, layakkah dicoba?

Siapa sih yang enggak kenal Tinder? Apalagi warga ibu kota. Tinder punya banyak keunggulan dibanding situs perjodohan lain. Tinder meringkas repotnya kenalan dan PDKT menjadi semudah swipe left dan swipe right. Swipe left kalau “Nay”, swipe right kalau “Yay”, dan bahkan bisa Super Like kalau “Slay”.

Semua keputusan yang dahulu rasanya hanya bisa terjadi karena keberuntungan atau siasat, kini jadi semudah menggoyangkan beberapa otot jempol ke kanan atau ke kiri. Semacam Blink-nya Malcolm Gladwell. The power of thinking without thinking. Tinder is romance, made easy. Hanya dalam hitungan kurang dari sedetik. 

Tentunya, banyak juga yang sudah tahu reputasi Tinder. Jelas enggak bisa cari imam di Tinder, jelas ada yang diharapkan dari Tinder date, jelas banyak cerita Tinder dates gone wrong. Mulai dari jadi penyelamat teman yang Tinder date-nya tua dan membosankan, atau jadi saksi orang datang Tinder date membawa kakak laki-laki dan 3 orang temannya, atau dengar cerita ditinggal kabur Tinder date pas lagi nonton. I mean, that’s Tinder, what do you expect, sih?

Setelah sebelumnya install-uninstall Tinder (uninstall pertama adalah karena login pake akun Facebook, uninstall kedua adalah karena gagal paham asyiknya di mana meski sudah bikin akun Facebook sekadarnya tanpa teman), akhirnya saya memutuskan menjadikan diri “kelinci percobaan” dan terjun ke dalam keruhnya kolam “Modern Dating” ibu kota. 

Nah, ini hasil riset enggak empiris dengan sampel populasi seadanya:

Semua masalah profil (dan bio)

Nyadar secara fisik enggak ada yang bisa ditonjolkan sekaligus ingin menyaring lelaki yang men-swipe right saya nantinya, saya bikin profile yang “sophisticated with a hint of slutty” dengan bio yang bikin minta ditanya. Yang kalau kata teman saya, “Lo banget, sok enigmatic”. Tanpa wajah tapi (sok) nyeni. 

Buset. Dengan foto cuma dari kamera HP Android standar, tanpa Camera 360, tanpa filter (pakai sih, black and white), tanpa belahan dada, dan bahkan tanpa wajah, dalam hitungan jam sudah dapat 10 matches hahaha. Padahal saya selektif banget dalam swipe right.

Dari pertemuan saya dengan Tinder dates, memang foto profil saya sukses bikin penasaran ahaha. Tapi itu dia. Kalau mau mencari mas-mas lucu cerdas ya jangan pasang foto selfie standar. 

Di sisi lain, buat cowok-cowok Tinder: work on that profile pictures puh-leaaaaase… Rata-rata cowok di Tinder pasang foto: 

 

  1. Lagi di mobil
  2. Lagi ngerokok (saya juga merokok dan enggak keberatan Anda merokok, tapi kecuali Anda rockstar, James Dean, Bung Karno, atau Chairil Anwar, mending ganti deh)
  3. Lagi di tempat fitness
  4. Selfie di fitting room
  5. Pakai GoPro atau ala-ala GoPro 
  6. Di kantor atau acara kantor (seolah “I’m a very serious man” kalau di kantor. Kalau pas acara kantor “But hey, I can be fun, too!”). 

 

Come on. Kalau memang main Tinder tujuannya ingin casual hookup, ya minimal ada usahanya sedikit lha. Bahkan ada lho, yang foto profilnya cuma tangan megang lembaran duit ratusan ribu hahaha. Setidaknya dari awal dia sudah jelas cari apa.

Dan karena Tinder pakai sistem radius untuk pencarian, saya hanya mengaktivasi Tinder di area strategis. Jelas bukan di Pulogadung, Rawabelong, apalagi Ciledug tembusan Bintaro situ. 

‘Type does exist’

Sebagai researcher berdedikasi (tsaaah!!), saya memutuskan men-swipe right orang-orang yang bukan tipe saya. Tapi setelah saya lihat-lihat lagi matches-nya, damn. I do have type. Meski sekarang jadi tersebar di berbagai profesi dan lokasi. Tapi saya pernah juga sih, swipe right mas-mas hanya karena dia gendong anak anjing corgi dan bule hanya karena di meja makannya ada rambutan dan durian. Untung enggak match.

OK. Setelah match, tibalah langkah berikutnya. Chat

Chat-chat awal yang saya dapat basa basi banget. “Lagi apa?” dan sejenisnya. Ugh malas. 

Tapi merujuk ke poin kedua, ya ini Tinder. Apa yang diharapkan sih. Mas yang kayanya berbudaya juga belum tentu pandai bercakap lewat chat

Kemudian ada beberapa yang menarik. Ada yang jurnalis, pustakawan, fotografer, PNS, dan barista. Sampai kemudian ada ekspat Korea lucu yang membuka percakapan dengan witty dan berujung pada ajakan meet-up, hanya dalam hitungan jam. Karena ternyata dia mau balik ke negaranya. Damn #1.

Damn #2:  Mas Korea lucunya ke-unmatch sebelum tukeran nomor teelpon malam sebelum Hari-H, hanya karena kepencet saat saya sedang sibuk dengan pria lain. Oh God, that was the lowest point in my short-spanned Tinder life.

‘Tinder fades away’

Dalam tempo 3 minggu, ada 35 matches, 21 berlanjut hingga chat, 12 pindah ke kanal chat pribadi, kurang dari 10 yang menindaklanjuti, hanya 2 yang jadi teman berbincang tentang segala hal dan berbagi agenda budaya, 3 yang akhirnya ketemuan.

Itu sih enaknya Tinder. No hard feeling kalau percakapan enggak dibalas. Enggak ada usaha juga dari saya untuk bersikap manis pada laki-laki apalagi menjaga tali silaturahim. 

Enggak asik? Ya enggak usah dilanjutin. Buat yang bertahan jadi teman ngobrol apa saja, minus obrolan cabul, nice to meet you.

‘Welcome to Tinder’

Tinder Date #1: Ternyata temannya suaminya teman. Di pertemuan pertama dia menganalisa tulisan tangan saya hahaha. Obrolannya ternyata cukup menyenangkan dan nyambung. Meski agak “maksa” juga ketemuannya. 

Sama dengan Tinder Date #2. Ugh Tinder guys, kayanya kalian mengatur jadwal hidup berdasarkan jadwal meet-up ya? Either you are super punctual or super horny, deh. 

Anyway, di awal pertemuan, entah karena ada rasa nyaman yang ditawarkan orang asing, santai saja gitu, “membongkar aib”. Saya bilang saya akan menuliskan ini, dan TD #1 tidak berkeberatan. Di akhir pertemuan dia bilang, “Kapan-kapan kayanya lo bakal potensial gue ajak tidur”. Ooookay

Tinder Date #2: Setelah di-cancel berkali-kali, mulai dari saya sakit dan lalu lintas Jakarta yang berantakan, akhirnya di sebuah akhir pekan yang cerah terjadi juga. 

Well, sama seperti TD #1, enggak tipe-tipe saya banget, tapi masih bisa “dicerna” lah. Awalnya agak kaku, setelah segelas kopi obrolan mulai cair, termasuk tentang seks. 

Lalu di akhir pertemuan:

TD #2: Hahaha gue enggak nyangka…

Saya: Apa?

TD #2: Lo tau gue mau ngomong apa?

Saya: This is Tinder date, dude. I know, lah. But still, spill.

TD #2: (Tarik napas dan menjatuhkan papan nomor meja) Ternyata lo melebihi ekspektasi gue ya. Tinder date gue sebelumnya zonk banget. Kaya beda orang. Makanya, maaf kemarin gue pas telepon nanya tinggi sama berat lo. Lo juga enggak keliatan mukanya sih di Tinder. (Tarik napas lagi) Gue enggak nyangka bakal bisa ngobrol apa aja sama lo. With all due respect (Lagi, tarik napas) Please don’t be madI so want to kiss you. It’s OK to say no. Aku cuma mau bilang aja.

That was actually cute. But no. And say no whenever you want, it’s totally OK to say no. Karena itu, selalu pilih cowok yang terlihat bisa diajak reasoning

Ada beberapa cowok yang enggak paham bahsa tubuh, air muka, bahkan enggak paham kata “tidak”. Tapi kan ini Tinder. Jadi meski TD #2 bilang, “Keep in touch, yah”, saya tahu dia enggak akan ngontak saya begitu saya turun dari mobilnya (emang enggak ngontak lagi sih).

Berhenti selagi menang

Kata teman saya, pengalaman saya di Tinder belum lengkap kalau belum nemu zonk-nya. Selang sehari dari dia ngomong itu, kejadian juga. 

Tinder Date #3: OK lah. masnya lucu, artsy, witty, straightforward, same interests. Tapi enggak terasa sama sekali koneksinya. 

Betapa saya merasa enggak bisa masuk ke obrolan karena TD 3# hampir enggak berhenti ngomong. Langsung malas. Dan rupanya itu mutual. Kalau enggal tertarik dan mau pulang ya pulang saja. Bilang saja saya engga kseperti yang dia harapkan. Enggak usah buang muka, enggan menatap, dan beralasan ini-itu. 

Saya merasa Jumat malam saya terbuang sia-sia. Setidaknya dia anterin pulang. Untung Jumat malam. Untung cuma sebentar banget. Kalau weekend bisa makin buang waktu, buang duit, dan makin bad mood.

Nah, setelah dapat zonk-nya dan mendarat di sisi kelam Tinder, di Jumat malam itu saya masih sempat buka-buka Tinder lagi. Masih ada beberapa match baru. Ada beberapa super likes, ada beberapa yang “Lagi apa?”. And that was it. Saya uninstall Tinder. Diikuti perasaan sepi dan hampa, yang membuat saya beberes kamar, nyuci baju, dan ngepel malam-malam.

It is toxic how society and social media play on our insecurities, bombarding us with this mockery of 

being alone. And that sex is always ready at your disposal, easy, and guaranteed good.

Tinder bisa banget memang, memanfaatkan insekuritas orang-orang terhadap kesendirian. Tentu saja, Tinder akhirnya dikenal sebagai aplikasi untuk hook up, meski ada yang mengaku dapat pacar dari Tinder. 

Tiba-tiba teman saya mengirim pesan lewat WhatsApp. Menumpahkan segala kekesalan yang kurang lebih sama dengan Tinder Date saya beberapa jam sebelumnya. 

Pada akhirnya, semua kembali ke masalah koneksi. Saya bercerita bahwa yang nyambung bagi saya justru Tinder Guy yang mungkin enggak akan ketemuan karena 7534 kilometres away (“Aku pake Tinder Plus”). Yang enggak pernah ngomongin sama sekali soal seks, yang nyerempet pun tidak. Keeping a safe distance

Pada akhirnya saya memutuskan bahwa effort me-maintain hubungan seperti itu melelahkan. Harus mengatur jadwal menyesuaikan dengan jadwal meet-up itu melelahkan. Belum lagi lelah secara psikologisnya. 

Rupanya saya masih sangat nyaman, dan lebih nyaman, sendirian. Atau minimal, berjarak. Kata teman saya sih, itu karena saya agak overdoing, tiga Tinder dates dalam 2 minggu. Tapi lepas dari itu, saya tahu apa yang baik untuk saya sekarang. Fokus pada apa yang saya lakukan 5 hari seminggu, 8-10 jam per hari: pekerjaan.

Dan ya… You can always re-install Tinder hahaha. —Rappler.com

Anindya Pithaloka adalah seorang copywriter yang percaya pada kekuatan lipstik merah.

Baca Bicara Seks lainnya:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!