REVIEW: Latar belakang tragedi 1965 di antara Cinta dan Rangga

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

REVIEW: Latar belakang tragedi 1965 di antara Cinta dan Rangga

Indra Wicaksono

Di sekuel pertama ini, ayah Rangga adalah simbol perlawanan orde baru, yang antikomunis. Di sekuel kedua, ditampilkan Papermoon Puppet Theatre yang juga memiliki latar belakang yang sama.

Ada apa dengan Cinta dan Rangga setelah 14 tahun lamanya? Saya pribadi tentu tertarik mengetahuinya. Sebab saya remaja yang tumbuh dengan kisah cinta monyet Rangga Yosrizal dan Cinta Andarini Puspaningrum saat SMA. 

Peluncuran AADC 2 pun tak ingin saya lewatkan begitu saja. Apalagi di film itu Cinta dan Rangga sekali lagi bertemu.

Adegan demi adegan saya hayati, mencoba untuk menilai kualitas dialog di sekuel AADC, seperti memastikan bahwa film yang saya tonton ini ibarat mantan yang masih sama setelah tak bertemu 14 tahun. Tetapi jawabannya, tidak mungkin. 

Saya memahami banyak orang yang kecewa setelah menonton AADC 2. Bahkan media sekelas Rollingstone Indonesia pun mengkritik habis-habisan film ini. Baca review sadis itu di sini. 

Tapi di tengah kritikan itu, saya melihat sebuah konsistensi dari produser Mira Lesmana dan sutradara Riri Riza. Keduanya tetap menampilkan isu kritis terhadap orde baru di filmnya. 

Di manakah anda dapat menemukannya?  

Oke kita mulai dari AADC yang pertama. Yakni adegan ketika kedua pasangan ini makan bersama ayah Rangga, Yosrizal.  

Berikut cuplikan adegannya: 

“Makan! Cuma masakannya tidak seasyik musiknya, Cinta,” kata Yosrizal. 

“Tapi baunya sudah enak gini kok, Om.”

Yosrizal tertawa pendek. Rangga tersenyum.

Yosrizal, Rangga, dan Cinta duduk di meja makan.

“Masakannya memang cuma dua macam. Maklumlah makan di rumah pensiunan yang tidak pernah menerima uang pensiun.”

“Maksud Om?”

“Dia orang bandel, sih,” timpal Rangga. 

“Ssst…monyet!”

“Siapa yang bandel emangnya?” Cinta bertanya. 

“Siapa lagi,” kata Rangga sambil Rangga “menunjuk” ayahnya dengan dagu atau aliasnya, dan Yosrizal cuma terseyum.

“Bandel gimana?” Cinta berusaha mencari tahu. 

“Tahun ‘96 bikin tesis tentang kebusukan orang-orang di pemerintahan ya sama juga cari mati. Ya mending kalo cuma dipecat. Dituduh komunislah. Terlibat gerakan makarlah.”

Cinta terbengong untuk sementara waktu. 

“Lho, tapi bukannya sekarang udah reformasi, Om? Jadi udah bukan masalah lagi kan?”

“Apanya yang reformasi, Cinta?”

Setelah itu, suara motor menderu keras. Salah seorang di kursi belakang kemudian mengangkat botol cairan yang ujungnya terdapat nyala api. 

Sedetik kemudian ia melempar botol api ke dalam rumah Rangga, di detik selanjutnya kedua motor lalau melesat meninggalkan rumah Rangga.

Tiba-tiba gumpalan api di ujung sebuah bom molotov melesat masuk ke dalam rumah. Rangga secepat kilat berdiri, lalu menarik tangan Cinta dan memaksanya bertiarap untuk kemudian dipeluknya erat-erat. 

Dialog setelengkapnya baca di sini. 

Di sekuel pertama ini, ayah Rangga adalah simbol perlawanan orde baru, yang antikomunis. Sungguh menarik, bukan? 

Di sekuel AADC2, ternyata Riri dan Mira tetap menunjukkan konsistensinya untuk ‘seakan-akan’ menyembunyikan pesan, entah disengaja atau tidak, tentang yang kelam di antara yang romantis. 

Yakni dengan penampilan teater boneka dari Papermoon Puppet Theatre karya Ria dan Iwan Effendi berjudul Secangkir Kopi dari Playa

Saya menelepon Ria pagi ini, Sabtu, 30 April, menanyakan tentang dari mana datangnya ide penampilan Papermoon itu? Dari Riri atau dari Mira? 

Saya pribadi adalah fans berat Papermoon Puppet, semenjak melihatnya di Salihara pada tahun lalu. Pertunjukan Papermoon yang saya lihat di AADC kali ini justru menggelitik saya pribadi. 

Sekilas di adegan film AADC2 hanya ditunjukkan saat Rangga mengajak Cinta menonton pertunjukan tersebut. Mata Cinta menatap lekat pada kedua boneka. Menerawang. 

Kisah Secangkir Kopi dari Playa memang mirip dengan kisah Cinta dan Rangga. “Konsepnya adalah long lost lover,” kata Ria pada saya. 

Cinta dan Rangga sudah terpisah selama 9 tahun tanpa penjelasan, tanpa penyelesaian. Bedanya dengan dua tokoh di Secangkir Kopi dari Playa itu adalah Widodo Suwardjo, pemuda kelahiran 2 September 1940 dan kekasihnya seorang putri sulung direktur perusahaan negara. 

Dikisahkan, setelah menyelesaikan studinya di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Widodo mendapat kehormatan untuk melanjutkan studinya jauh ke Moskow, Rusia, pada 1959. 

Sebelum berangkat ia bertunangan dan bahkan berencana menikah selepas masa tugas belajarnya. Tahun berganti, surat-surat cinta di antara mereka pada akhirnya harus terputus oleh peristiwa 30 September 1965. 

Saat sedang belajar di Moskow itulah, tiba-tiba kewarganegaraannya dicabut oleh pemerintah Orde Baru karena ia dianggap pro terhadap Soekarno dan belajar di negara komunis.  

Ia tak bisa pulang, tak bisa menghubungi keluarga dan kekasihnya secara tiba-tiba. Tanpa alasan yang dipahaminya

Hingga 40 tahun lebih telah berlalu, dan sang mahasiswa telah menyelesaikan studi S3, dan menjadi ahli Metalurgi di Kuba. 

Empat puluh tahun telah berlalu, dan ia tetap memilih tidak menikah, demi memenuhi janjinya pada kekasih yang entah di mana. 

Di masa pemerintahan Gus Dur, sang ahli metalurgi kemudian mendapat visa untuk bisa kembali ke tanah air, menemui sejumlah keluarganya. 

Hampir setiap sore, sang ahli metalurgi naik bis dengan trayek yang sama dengan jurusan yang dulu, di tahun 60-an, yang selalu ditempuh olehnya bersama sang kekasih. Dengan harapan, ia akan berjumpa dengan tunangannya di masa lalu itu di dalam bis!

Kisah kekasih yang hilang, terpisah jarak dan waktu akibat kondisi politik yang pelik saat itu membuat cerita ini banyak menyentuh siapa saja yang menontonnya termasuk Cinta, saya, dan anda yang menonton AADC2. 

Menurut saya, ini yang bisa saya banggakan dari kedua sineas ini, mengangkat hal yang tabu dan kritis, meski dibungkus dengan romantisme cerita drama anak muda. Apalagi tema tentang tragedi 1965 sepertinya masih kurang populer di antara anak muda. 

Saya percaya film ini mungkin tak hanya akan menggairahkan perfilman nasional, tapi juga membantu memberikan ‘clue’ pada anak muda, tentang sejarah bangsa yang mungkin sangat jarang dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. 

Buat kalian yang belum menonton, saya sarankan untuk tidak hanya menunggu adegan saat Rangga menyatakan perasaaannya pada Cinta, tapi juga detail-detail tersembunyi di film ini. Seperti pertunjukan Papermoon Puppet Theatre ini. Selamat menonton! —Rappler.com

Febriana Firdaus adalah wartawan Rappler Indonesia. Ia fokus membahas isu korupsi, HAM, LGBT, dan buruh migran. Selain menjadi wartawan, ia adalah Podcast Producer di @Ingat65. Febro, panggilan akrabnya, bisa disapa di @febrofirdaus.

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!