Indonesia

Sisi kelam gemerlap dunia fashion

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sisi kelam gemerlap dunia fashion

AFP

Meski dunia fesyen identik dengan kesan glamor dan gemerlap, ada sisi kelam yang masih tersembunyi. Para buruh jahit yang mengerjakan pakaian miliaran rupiah, bisa hidup di bawah garis kelayakan.

DEPOK, Indonesia — Tak ada yang bisa membantah gemerlap yang melingkupi dunia fesyen. Sebut saja busana-busana bernilai hingga miliaran rupiah dari merk seperti Chanel, Dior, ataupun Alexander McQueen.

Belum lagi kalau kita melihat fashion show yang bertabur model hingga artis papan atas. Semakin sahih membuktikan dunia ini bermandikan cahaya.

Namun, adakah yang pernah bertanya-tanya tentang mereka di belakang pakaian miliaran rupiah ini?

Anak tiri dunia buruh

Aktivis perempuan Dhyta Caturani mengatakan ada perlakuan “berbeda” pada kelompok buruh tekstil.

“Karena mayoritas pekerjanya perempuan, jadi dianaktirikan,” kata Dhyta dalam diskusi “The True Cost” yang berlangsung di Kampus Universitas Indonesia, Depok, pada Jumat, 29 April.

Salah satunya, ia melihat langsung saat mengunjungi pabrik-pabrik yang memproduksi pakaian untuk brand high street yang berdagang di Indonesia. Lokasinya tersebtar di Tangerang, Jawa Barat, hingga Jawa Tengah.

Pertama, pada kategori pekerjaan. Menjahit ternyata tak masuk dalam kategori skilled labor, sehingga para pekerjanya memperoleh bayaran rendah. Selain itu, jam kerja buruh-buruh ini pun tak tentu. Karena, mereka tak mendapat uang lembur.

“Jadi mereka disuruh memenuhi target produksi harian. Kalau tak tuntas dan harus bekerja lembur, dihitungnya sebagai ‘loyalitas’,” kata Dhyta. Karena itu, meski bekerja melebihi batas waktu yang ditentukan, para buruh ini tak mendapat bayaran yang setimpal.

Indonesia masih berkutat pada industri busana ramah lingkungan, belum menyentuh ranah kelayakan hidup buruhnya.

Irmanzah Iboy Nurhidayat, aktivis gerakan Fashion Revolution yang berkonsentrasi di wilayah buruh garmen semacam ini, mengatakan hal serupa. Kawannya sendiri, yang merupakan seorang tukang jahit, sampai harus tidur di bawah mesin jahit di pabrik tempatnya bekerja.

Seolah belum tuntas, Dhyta yang juga aktif di media sosial sebagai @PurpleRebel ini mengatakan para pemilik pabrik masih berupaya untuk memotong anggaran buruh jahit.

“Karena sektor ini masuk kategori padat karya, jadi pabrik bisa mengajukan permohonan untuk membayar lebih rendah dari upah minimum regional (UMR),” kata dia. Sepengetahuannya, sudah ada 112 perusahaan tekstil yang mengajukan permohonan semacam ini pada 2016. Namun ia tak mengatakan daerah mana saja.

Sebagai informasi, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga 2013 lalu buruh tekstil tercatat ada sebanyak 1,47 juta jiwa. Angka ini diperkirakan akan meningkat 4,78 persen pada 2016 karena pemerintah akan mendorong kinerja industri manufaktur semacam ini.

Desainer diajari untuk cari produsen paling murah

Buruh perempuan yang membuat pakaian untuk merek-merek ternama dunia. Foto dari Facebook/FashionRevolution

Mengapa para desainer bisa memperoleh penghasilan jutaan hingga miliaran rupiah, sementara para buruh jahit yang mengerjakan baju-baju mereka kebanyakan hidup di bawah standar kelayakan? Hal ini ternyata sudah bermula sejak tingkat pendidikan desainer di sekolah fashion.

“Pengajar-pengajarnya yang menanamkan supaya cari tukang jahit yang paling murah,” kata Iboy. Para desainer ini pun kemudian menutup mata terhadap kemiskinan penjahit yang mewujudkan rancangan mereka menjadi benda nyata.

Pengajar ESMOD Jakarta, Sadikin Gani, mengatakan permasalahan ini sudah seharusnya menjadi perhatian para perancang busana — tak hanya aktivis buruh. Salah satu jalan masuk, menurut dia, adalah melalui screening film The True Cost saat pagelaran Jakarta Fashion Week 2013. Film dokumenter besutan sutradara Andrew Morgan ini menunjukkan kondisi hidup buruh pabrik tekstil di Bangladesh, India, dan Kamboja.

Mereka kebanyakan hidup di perkampungan kumuh; meski perusahaan tempat mereka bekerja bisa meraup keuntungan hingga miliaran dolar Amerika. Tapi, mereka mendapat sedikit sekali dari uang tersebut.

“Dari sini terlihat kalau dunia fashion di luar sana sudah lebih meluas ke pergerakan kemanusiaan,” kata Sadikin. Sayang, hal semacam ini belum tampak di perancang busana lokal.

Sejauh ini, menurutnya, Indonesia masih berkutat pada industri busana ramah lingkungan, belum menyentuh ranah kelayakan hidup buruhnya.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk menyoroti ketimpangan ini adalah lewat gerakan sosial. Organisasi Fashion Revolution yang bermukim di London merupakan salah satu yang paling nyaring menyuarakan.

“Kami menggunakan tagar ‘who made my clothes’ di Twitter untuk memento perusahaan fashion membuka buruh mereka,” kata Iboy.

Gerakan ini, kata dia, memperoleh sambutan luar biasa di luar negeri sana. Beruntung beberapa merk seperti Levi’s bersedia menjelaskan tentang kisah di balik pembuatan produk mereka. Namun, kebanyakan masih memilih bungkam. “Kalau begitu, ya tabulasi transparansinya buruk,” kata Iboy.

Selain itu, ada pula gerakan para pelajar fashion untuk mulai memikirkan kesejahteraan penjahit mereka. Tujuannya untuk merombak total pola pikir “mencari yang termurah” yang tentunya memperburuk kehidupan para buruh jahit.

Masih banyak pekerjaan rumah

Komite Aksi Perempuan melakukan aksi simpatik saat Hari Buruh Dunia di Jakarta, pada 1 Mei 2016. Foto oleh M Agung Rajasa/Antara

Secara terpisah, Komite Aksi Perempuan (KAP) mencatat apa saja yang masih harus menjadi perhatian terkait para buruh garmen.

Di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung terdapat kurang lebih 80 perusahaan dari sektor garmen, dan mempekerjakan sekitar 80 ribu orang dengan jumlah buruh perempuan mencapai 90 persen.

Tetapi sebagian besar pabrik tidak menyediakan ruang menyusui (laktasi). Ketiadaan ruang laktasi memaksa para ibu membuang ASI ke toilet, atau bahkan ditahan berjam-jam ketika bekerja dan merembes ke pakaian mereka. 

Hal ini juga berdampak pada bayi-bayi mereka, yang tak memperoleh ASI eksklusif setidaknya dalam masa 0-6 bulan. Fakultas Kedokteran UI pernah melakukan penelitian pada 2013, bahwa persentase pekerja sektor formal di Jakarta yang memberi ASI eksklusif hanya mencapai 32 persen.

Situasi umum yang dihadapi hampir seluruh buruh ibu yang sedang hamil adalah rentan keguguran di tempat kerja, hal ini dikarenakan beberapa hal seperti: jam kerja yang panjang lebih dari 8 jam dan tidak disediakannya fasilitas untuk ibu hamil, seperti kursi duduk bagi yang bekerja berdiri lebih dari 5 jam setiap harinya.

Dalam implementasinya hak-hak reproduksi hanya disediakan untuk buruh tetap, bukan untuk outsourcing.

Sebagai contoh dalam industri garmen, beberapa perusahaan tidak memberikan cuti haid bagi pekerja mereka, mereka memberikan remunerasi menstruasi gantinya.

Karena itu, KAP menuntut pemerintah untuk melaksanakan kebijakan dengan standar hak asasi manusia bagi perempuan buruh, karena selama ini pemerintah terbukti memudahkan investasi dan usaha yang berakibat pada peminggiran kesejahteraan ibu dan para buruh perempuan di Indonesia.

Mereka juga diminta menyelesaikan persoalan perempuan buruh di Indonesia secara fundamental dengan menggunakan gagasan kritis dan terintegrasi dengan standar Hak Asasi Manusia perempuan seperti The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), dengan tidak melakukan kekerasan dan diskriminasi pada para buruh perempuan Indonesia.

Serta memastikan tidak ada lagi prasyarat kerja yang melanggar hak dan mendiskriminasi pekerja perempuan dalam sektor industri bahkan lembaga-lembaga pemerintahan. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!