Indonesia

Bincang Mantan: Menghapus mantan dari media sosial

Adelia Putri, Bisma Aditya

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bincang Mantan: Menghapus mantan dari media sosial
Perlukah mengubur kenangan dan menghapus mantan dari media sosial?

 

Kedua penulis kolom baru Rappler, Bincang Mantan, adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius.

Bisma: Orang yang menghapus sejarah adalah pecundang

Setelah putus cinta, sudah pasti kita mau melupakan berbagai ingatan tentang sang mantan. Tapi di era modern ini, kadang hal yang demikian tidak mudah sama sekali karena kita punya memori cadangan di dunia maya. 

Itulah medsos, tempat di mana berbagai kenangan kita dan sang mantan tersimpan dengan rapinya. Medsos juga lah yang bikin kita tetap bisa tahu tentang kegiatan sang mantan setiap harinya dan bikin susah move on

Kalau begitu, apa perlu kita hapus mantan dari medsos?

Saya sih tidak setuju. Alasannya simpel aja. Agama melarang kita untuk memutus tali silaturahmi dengan siapapun, terlebih kita dijanjikan rezeki jika tetap menjalin silaturahmi dengan orang-orang. 

Mungkin terdengar klise, tapi saya enggak asal ngomong, kok.

Contoh paling konkret, kalau saya menghapus Adelia dari medsos saya, kolom Bincang Mantan setiap Minggu ini enggak akan bisa kamu nikmati. Dulu dia mengajak saya nulis kolom ini lewat salah satu medsos. Kalau dulu saya hapus akun medsos Adelia, mungkin nama penulis artikel ini bukan Bisma Aditya, bisa jadi orang lain. 

Lewat media sosial pulalah saya dapat kesempatan untuk nulis begini, dan itu adalah rezeki untuk saya.

Tapi teman kantor saya punya pendapat lain. “Gue enggak mau ngapus medsos mantan biar tahu bentuk pacar setelah gue”. 

Katanya, kalau mantannya lebih cakep dari dia, dia harus olahraga dan lain-lain supaya enggak kalah pamor. Dan akhirnya dia kebawa baik. Tapi kalau pacar barunya “ajaib” … Ya, jadi hiburan aja untuk senang-senang dan ketawa. 

Either way, yang terjadi pasti baik untuk dia dan itu pun salah satu bentuk rezeki dari tidak menghapus mantan dari medsos.

Contoh selanjutnya. Ada teman saya yang cerita kalau semua akun medsos dia dihapus sama mantannya. Teman saya itu langsung cerita ke semua orang. Langsung aja semua orang mencap si mantan itu dengan panggilan-panggilan macam enngak dewasa, norak, kampungan, dan lainnya. 

Si mantan itu enggak peduli sama panggilan-panggilan baru itu, tapi yang belum si mantan sadari adalah, ternyata ada orang lain yang naksir sama dia dan sekarang jadi ilfil karena cerita-cerita itu. 

Si mantan kehilangan seseorang yang mungkin baik untuk dia, dan dia jadi kehilangan rezeki karena tindakan kekanak-kanakannya.

Melihat dari contoh di atas, sebaiknya kita jangan hapus medsos mantan kita. Memang sih susah banget untuk lupain dia kalau setiap hari kita masih dapat update tentang kehidupannya. Tapi emangnya mantan perlu banget dilupain, ya? 

Yang dilupain yang buruk-buruk aja dan kenangan buruk itu enggak ada di medsos kok. Adanya cuma di pikiran kita aja. Biar bagaimanapun, cerita kita sama mantan adalah sejarah buat kita. 

Karena sejarah itu milik pemenang. Orang yang menghapus sejarah pastilah pecundang. Jadi kamu pemenang atau pecundang?

Adelia: Peduli amat apa kata orang

I know it very well kalau ada orang-orang yang ingin kita hapus dari ingatan apalagi timeline sehari-hari, dari mantan, mantan-nya pacar, hingga pacar-nya mantan. Buat saya sih normal-normal saja kalau kamu tidak ingin bertemu, melihat, atau mengingat mereka. Normal-normal saja kalau kamu butuh pelampiasan emosi dengan cara memencet tombol unshare di Path-mu.

You know what, screw society. Cut yourself some slack and do whatever makes you happy. And especially in times of broken heart, do whatever it takes to get back your sanity. Put the love for yourself on top.

And this, if needed, includes deleting all the tagged photos on Facebook and blocking that person on Facebook.

Peduli amat dengan orang-orang yang mempertanyakan kedewasaan kamu. Peduli amat dengan nasihat “jaga silaturahmi” (toh semua juga tahu ada resiko tali silaturahmi yang akan hilang ketika kamu memutuskan untuk berpacaran). Kalau kamu butuh lari dari pertemanan klise media sosial, lakukan saja. Memangnya orang lain yang komentar itu peduli kamu waras atau tidak?

But then again, sudah menghapus mantan dari media sosialpun, dia masih bisa muncul, thanks to algoritma media sosial yang membuat lingkup pertemanan semakin luas. Sudah di-delete, eh tetiba dia muncul karena di-tag di foto temanmu yang lain atau ada di friends suggestion Facebook. 

Dan percayalah, manusia itu lemah. Muncul sedikit namanya, godaan untuk stalking, dan wham! satu jam kemudian, kamu sudah terdampar di Facebook mamanya dan tahu bapaknya sedang dinas di mana.

Media sosial itu black hole yang kejam namun menggoda, teman. Dan masokisme adalah sesuatu yang ngeri-ngeri sedap. 

Kembali ke topik. Jadi, perlukah menghapus mantan dari media sosial? Ya, cuma kamu yang bisa menjawabnya. Cuma kamu yang bisa tahu sejauh mana putus cinta bisa mempengaruhi kewarasan kamu, dan tindakan apa yang harus kamu ambil. 

Kalau putusnya baik-baik, ya mungkin kamu masih bisa tahan melihat semua update kehidupan mantanmu itu setiap hari (by the way, “putus baik-baik” itu apa? Kalau baik-baik saja mah kenapa harus putus?). 

Kalau putusnya melibatkan perselingkuhan dan perang besar, ya sudah hapus saja, kenapa tidak? Kalau perlu, minta temanmu yang jago hacking untuk merekayasa profil Facebook mantanmu (eh, jangan ditiru!). Cuma kamu yang tahu harus berbuat apa.

But let me tell you something. Revenge feels good. And the best kind of revenge when it comes to broken heart is by showing that you’re doing OK, even better than before. And how do you do it? By showing off in social media of course. 

Iya, iya. Pura-pura bahagia di media sosial dan balas dendam itu bisa berbahaya untuk kesehatan mental. Tapi ya sudahlah, anggap saja kamu punya free pass untuk sementara. Yang penting, tahu kapan kamu harus berhenti. 

Once you’ve moved on and stop caring about what the other person thinks of you, you’ll stop pretending and without you realize, you are actually happy with your current life. In the meantime, fake it ’til you make it, babe. 

Tapi ya, kalau kamu termasuk makhluk mulia yang tidak punya dendam dan amarah tersembunyi, you can take the higher road, seperti saran si Mas di atas ini. —Rappler.com

Baca juga kolom Bincang Mantan lainnya:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!