Indonesia

MOOD METER: Ketika adik saya kepingin mati…

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

MOOD METER: Ketika adik saya kepingin mati…

ANTARA FOTO

Refleksi Hari Pendidikan Nasional, apakah pendidikan Indonesia membahagiakan anak?

JAKARTA, Indonesia – Sejak dulu, saya selalu bertanya-tanya apakah sekolahan adalah tempat yang menyenangkan bagi anak-anak Indonesia. Pertanyaan ini terus bergaung tanpa pernah terjawab, sejak saya masih di bangku sekolah hingga akhirnya lepas total dan masuk dunia kerja.

Saya pribadi tak pernah menganggap sekolah tempat yang menyenangkan. Selalu ada yang mengganjal. Entah gurunya terlalu begini, pelajarannya kok ya saya tak sreg, hingga kegiatan remeh temeh yang sebenarnya lebih layak jadi hari libur, tapi kok ya dipaksa masuk juga.

Intinya, saya bisa tulis curahan hati panjang tentang mengapa saya tak suka sekolah.

Padahal, kalau dipikir-pikir saya bukannya tak suka belajar.

Saya sering kok beli buku tentang banyak topik untuk menambah pengetahuan sendiri – yang nantinya juga dijelaskan sama guru di sekolah. Seiring perkembangan zaman, saya juga banyak menimba ilmu dari YouTube, maupun situs edukasi intetraktif lainnya di dunia maya.

Tapi, kenapa saya bisa senang belajar sendiri, tapi tidak di sekolah? Dan mengapa teman-teman sekolah saya juga mayoritas berpikiran demikian?

Ah, mungkin itu cuma saya saja yang aneh. Atau salah pilih kelompok pergaulan.

“Aku tidak mau hidup lagi.”

Hampir dua tahun sejak saya lepas total dari lembaga pendidikan. Kebetulan, saya punya 4 adik yang masih harus melalui apa yang pernah saya lewati dulu.

Apakah pendapat mereka berbeda? Tidak juga.

Semuanya masih mengeluh saat pergi bersekolah. Bahkan, adik saya yang saat ini baru kelas 4 SD.

Saat libur kerja, saya pernah menemani dia mengerjakan tugas sekolah di rumah. Sembari mengerjakan soal matematika yang saat itu sampai 40 soal, saya bisa lihat mata si bocah mulai berkaca-kaca.

Pada satu titik, ia meletakkan pulpennya di meja dan menatap saya.

“Aku tidak mau hidup lagi kalau begini terus. PR-nya banyak banget,” kata dia. Saya kaget mendengar kalimat itu.

Kok anak 9 tahun bisa-bisanya berpikir seperti itu gara-gara sekolah? That’s one crazy shit.

Meski berlebihan, entah kenapa saya bisa paham dengan situasi ‘stres-sampai-mau-mati-itu’. Ini bukan kali pertama saya membantu si kecil (yang badannya tak kecil) itu belajar. Saya pernah membantu dia belajar pengetahuan alam, sosial, hingga PPKN.

Sejujurnya, materi yang diajarkan dan harus dimengertinya itu, menurut saya pribadi, tak sesuai dengan usianya. Wajar kalau adik saya jadi malas sekolah, dan cenderung berdoa supaya besok-besok dia sakit hingga tak perlu menghadiri kegiatan belajar mengajar.

Seingat saya, anak SD itu kecenderungannya masih bermain; dan tentu tak ambil pusing soal legislatif, yudikatif, hingga eksekutif. Apalagi mikirin undang-undang. Memang waktu SD saya juga sama seperti dia, menghafalkan lembaga-lembaga pemerintahan, tanpa pernah mengerti apa makna dan fungsinya.

Setelah mulai agak besar dan peduli pemerintahan (sekitar SMA), barulah pentingnya lembaga-lembaga itu terasa. Itu pun, tentu, dengan pelajaran yang sama diulang lagi di buku SMA.

Pertanyaan saya, kenapa materi yang kelak diulang lagi di jenjang pendidikan yang lebih tinggi harus dijejalkan ke otak anak-anak yang belum paham apa fungsinya?

Belum lagi kalau membicarakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), yang angkanya terus naik seperti harga bahan pokok. Untuk mengejar batas ketuntasan, akhirnya anak-anak masih harus les tambahan lagi.

Tak punya waktu bermain, beban yang begitu berat, ditambah stres yang luar biasa, akhirnya bukan kenangan manis tentang sekolah yang didapat adik-adik ini. Tapi mimpi buruk yang harus segera diakhiri. Padahal dunia kerja juga enggak indah-indah banget.

Guru adalah nabi

Ini mungkin bukan sesuatu yang baru, tetapi perlu ada perombakan total dalam sistem pendidikan Indonesia. Tak hanya kurikulum, juga pola pikir tenaga pengajarnya.

Setelah lepas SMA, adik saya yang paling tua berkesempatan menjajal pendidikan tinggi di negeri Paman Sam. Beberapa kali dalam sebulan kami bertukar kabar lewat Skype, dan pernah satu kesempatan ia bertutur tentang perbedaan pendidikan antar dua negara.

“Aku merasa di sini dituntut untuk lebih kritis,” kata dia. Memang, baru dua tahun ada di sana, adik saya ini jadi lebih bawel dan berani berpendapat.

Sikap seperti ini, menurut dia, sangat didorong oleh dosennya. Situasi kelas tak melulu dari sisi pengajar semata; ada kesempatan bagi mahasiswanya untuk berpendapat bebas.

Kalau menurut adik saya, sikap ini sudah ditanamkan sejak awal penduduk sana mengenyam pendidikan. Mereka tak dididik menjadi pihak pasif – hanya mendengar semata – tapi juga berkesempatan menyampaikan pemikiran-pemikiran mereka.

Soal yang diberikan tak melulu teori, tetapi juga analisa masalah yang menguji kompetensi pemahaman para siswa atas apa saja yang mereka dapatkan di dalam kelas. Karena ada keterlibatan ini, mungkin murid-murid sana tumbuh rasa percaya dirinya; juga merasa menjadi bagian dari satu sistem yang egaliter dan tak melulu satu arah.

Yah, pola ini memang secara teoretis diterapkan juga di lembaga pendidikan Indonesia. Kalau tak salah, sejak saya masih di SMA. Tapi nyatanya?

Soal masih melulu tentang hafalan di buku cetak. Jawaban yang tak sesuai kalimat asli langsung disalahkan (padahal intinya sama).

Bahkan, saya ingat dulu setiap memeriksa ulangan, kalau jawaban ada yang kurang satu kata saja (padahal intinya kurang lebih sama), langsung mengacungkan tangan dan tanya ke guru apa bisa dibenarkan atau tidak. Jadi kami tak belajar tentang esensi atau inti; lebih pada hafalan dan kesesuaian kalimat. Kan konyol.

Adik saya yang saat ini masih duduk di bangku SMA, kerap mengeluhkan hal sama. Dia sering menyampaikan pendapat yang berbeda dengan ajaran gurunya; tentu bukan dalam maksud membangkang tapi lebih ke arah diskusi. Tapi apa hasilnya? Si guru langsung naik pitam dan menyuruh adik saya meninggalkan kelas; ketimbang memberikan penjelasan yang komprehensif.

Klaim dia, ini tak hanya dialami sendiri. Tapi juga beberapa temannya yang lain. Guru di sekolahnya seperti nabi yang kata-katanya absolut tak terbantahkan. Tak ada ruang diskusi untuk murid-murid menyampaikan pendapatnya.

Padahal kalau kita ingat cikal bakal sekolah yang asalnya dari Yunani Kuno, rasa-rasanya tak demikian. Socrates dan Plato yang meninggalkan catatan soal ruang kelas dan sekolah; sangat terkenal dengan metode pengajaran berbasis diskusi ruang terbuka.

Bahkan, Socrates juga lebih sering mengajukan pertanyaan penggalian untuk membuka pikiran murid-muridnya. Kenapa sekarang jadi guru adalah nabi?

Pendidikan Indonesia untuk apa?

Tapi sebelum memaki-maki, coba saya lihat dulu apa sih tujuan pendidikan Indonesia sebenarnya? Yang mempersempit lingkar otak bukan membukanya jadi lebih luas?

Jargon-jargon pemerintah mengatakan rakyat harus menjadi ‘tenaga kerja’ kelas dunia yang mumpuni. Oke. Tenaga kerja.

Kalau begitu, mungkin memang tak ada yang perlu dirombak dari sistem pendidikan kita. Ya wong cuma jadi robot kerja doang ndak perlu mikir yang hebat-hebat buat bikin perusahaan macam Bill Gates atau Mark Zuckerberg.

Tidak perlu ada kaum-kaum yang terbiasa berpikir kritis untuk menelurkan karya-karya inovatif. Biar yang kayak begitu segelintir orang saja; kalau bisa bule.

Biar saja semuanya jadi orang yang mentalnya: nyontek tidak apa-apa yang penting ranking supaya nanti bisa kerja di perusahaan bagus. Toh ngerti enggak ngerti juga tidak penting, yang penting nilainya bagus dan lolos KKM, terus bisa jadi anak ranking. Entah setelah lulus itu pelajaran masih nempel di otak atau cuma tinggal kenangan masa lalu, biar semesta saja yang tahu.

Jangan semua orang Indonesia jadi cerdas. Nanti tidak ada lagi yang mau jadi buruh.

Apalagi dibayar rendah di bawah UMR. Mana mau? – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!