Gereja minta PBB investigasi pelanggaran HAM di Papua

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Gereja minta PBB investigasi pelanggaran HAM di Papua
Pemerintah Indonesia didesak untuk melakukan dialog dengan pemuka Papua, termasuk tokoh pro-referendum.

JAKARTA, Indonesia (UPDATED) – Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Brisbane, Australia meminta Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Majelis Umum PBB melakukan investigasi terhadap pelanggaran HAM di Papua sejak pelaksanaan penentuan pendapat rakyat pada 1969.

Dalam laporan berjudul We Will Lose Everything, mereka juga mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan dialog dengan para pemimpin Papua, termasuk pemimpin pro-referendum. 

“Mendesak agar Dewan HAM PBB dan Majelis Umum melakukan investigasi yang kredibel dan independen terhadap pelanggaran HAM di Papua,” kata komisi tersebut dalam rekomendasinya.

Rekomendasi tersebut dibuat setelah dua anggota komisi, Peter Arndt dan Suster Susan Conelly, melakukan kunjungan selama dua minggu ke Merauke, Jayapura, Timika, dan Sorong awal Februari lalu, di mana mereka mewawancara terduga korban pelanggaran HAM.

Laporan tersebut diluncurkan pada Minggu, 1 Mei, di Brisbane, Australia tetapi baru diluncurkan pada 3 Mei di Jakarta oleh VIVAT International Indonesia.

Pastor Paulus Rahmat, Direktur Eksekutif VIVAT Internasional-Indonesia, mengatakan laporan Brisbane itu “memotret dan menyuarakan wajah kekerasan, ketidakadilan dan marjinalisasi di Papua sejak 1960-an.

“Dalam konteks pelanggaran HAM di Papua, lebih dari 50 tahun , baik kekerasan yang dilakukan secara sistematis maupun marjinalisasi sosial, ekonomi dan budaya, gereja tidak boleh diam. Gereja harus menyuarakan suara menentang ketidakadilan, ketertindasan, pelecehan martabat manusia dan pelanggaran HAM,” kata Paulus.

Dalam laporan tersebut, Komisi Keadilan dan Perdamain menyebut berbagai ‘kasus besar’ yang perlu diinvestigasi Komisi HAM PBB, termasuk kasus pemboman selama tiga bulan di Pegunungan Tengah pada 1977, di mana sekitar 25.000 warga Papua diduga meninggal dunia. Kasus ini lebih dikenal dengan sebutan pemboman Bronco karena menggunakan pesawat Bronco ex-Vietnam.

Arndt dan Conelly juga menyebut pemboman Pegunungan Tengah pada 1997 dengan target ternak dan kebun-kebun masyarakat Papua. Pemboman ini bertujuan membuat masyarakat kelaparan. Ribuan orang Papua diduga mati kelaparan sesudah pemboman tersebut. 

Kasus penganiayaan terhadap dua Pastor Gereja Kingmi pada 2010, penahanan dan pembunuhan setelah Kongres Papua ke-3 pada 2011, kekerasan, penahanan dan pemukulan terhadap anggota kelompok Komite Nasional Papua Barat (KNPB)  yang melakukan aksi damai, dan penembakan 22 orang di Paniai, di mana 4 orang anak mati di tempat pada 8 Desember 2014, juga masuk dalam laporan tersebut.

“Sistim hukum dan politik Indonesia tidak mau dan tidak mampu menangani pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat,” kata laporan tersebut.

Laporan tersebut juga menyebut berbagai masalah sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Papua, termasuk keluhan atas pengambilan tanah adat masyarakat Papua untuk pemukiman penduduk, pembangunan infrastruktur; pendidikan yang memprihantikan; rendahnya harapan hidup serta tingginya angka kematian ibu dan bayi; dan penyebaran HIV/AIDS.

“Mereka selalu hidup dalam ketakukan akan kekerasan dan merasa putus asa dengan jumlah mereka yang berkurang sangat cepat serta terus terpinggirkannya mereka secara ekonomi dan sosial,” kata laporan tersebut.

Laporan tersebut juga mendorong organisasi gereja dan lembaga swadaya masyarakat di Pasifik untuk terus membangun solidaritas dengan masyarakat Papua Barat untuk, antara lain, mendukung usaha penentuan nasib sendiri oleh masyarakat Papua dan pimpinan mereka di United Liberation Movement for West Papua.

Komisi itu juga meminta Pemerintah Australia untuk menangguhkan dukungan, latihan, dan bantuan finansial terhadap Indonesia sampai ada perubahan kebijakan dari pemerintah untuk mengakhiri pelanggaran HAM di Papua.

Reaksi pemerintah, DPRD, dan aktivis

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan menanggapi dingin laporan Brisbane terrsebut. “Bila ada bukti awal, akan kita proses secara terbuka,” katanya singkat kepada Ursula Florene dari Rappler. 

Tetapi pada 28 Maret lalu, Luhut mengatakan pemerintah akan menuntaskan sejumlah kasus pelanggaran HAM di Papua secara transparan dan akuntabel.

“Masalah HAM di Papua sangat penting untuk dituntaskan, ada enam belas kasus yang dikategorikan harus diselesaikan, dan saya sudah pelajari itu,” kata Luhut dalam kunjungannya ke Jayapura, Papua, Selasa, 28 Maret.

Sebaliknya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua Yunus Wonda menyambut gembira desakan untuk UNHCR melakukan investigasi pelanggaran HAM di Papua.

“Pelanggaran HAM sejak Pepera pada 1969 sangat mengerikan, bahkan satu generasi sempat hilang, namun hingga kini tidak pernah ada penyelesaian. Untuk itu, keinginan gereja Katolik Australia harus didukung,” kata Yunus Wonda pada Selasa, 3 Mei.

“Kami sudah prediksi ini bahwa Papua akan terus menjadi sorotan dunia Internasional selama aksi kekerasan masih terus berlanjut,” katanya. 

Menurut Yunus Wonda, selama ini data tentang pelanggaran HAM di Papua memang lebih banyak diketahui oleh pihak asing dibanding oleh pemerintah Indonesia.

 “Kalau Indonesia kekurangan data, tetapi dunia luar sangat lengkap, semua terekam sampai dibuat video,” katanya.

Menurut Yunus Wonda, solusi terbaik dalam penyelesaian persoalan Papua adalah dialog, dengan melibatkan semua pihak terutama mereka yang berseberangan dengan NKRI.

“Masalah Papua bukan masalah kesejahteraan tapi butuh dialog, dengan melibatkan rakyat Papua yang berjuang di luar negeri, di hutan hutan. Jangan libatkan kami, karena kami terikat dengan janji selaku bagian dari pemerintahan di Papua,” katanya.

Sebenarnta, kata dia, selama ini pihaknya bersama pemerintah daerah selalu mengingatkan aparat keamanan untuk tidak menggunakan kekerasan dalam menangani demo atau aksi lainnya.

“Satu nyawa orang Papua melayang, dunia internasional langsung soroti, jadi hindari cara kekerasan dan represif,” katanya.

Pastor John Jonga, salah satu pegiat HAM di Papua, mengatakan desakan Gereja Katolik Australia itu tidak mengejutkan karena memang kondisi hak asasi manusia di Papua terus memburuk sejak Pepera 1969. 

“Tetapi sebelum meminta UNHCR datang ke Papua, PBB harus mendesak Indonesia untuk menghargai dan menghormati HAM masyarakat Papua karena pelanggaran HAM di Papua sudah sangat gamblang,” katanya.

 “Bayangkan, anggota dan simpatisan KNPB sudah ditangkap sebelum mereka melakukan demo yang merupakan hak (konstitusi) mereka. Ada yang dipukul, disiksa, dan bahkan ada yang diminta keluarkan baju dan dijemur,” katanya.

Dia juga mengatakan bahwa fakta bahwa desakan ini datang dari gereja Australia adalah sebuah pukulan bagi Gereja Indonesia dan Gereja Papua khususnya. “Kita menyaksikan pelanggaran HAM di depan mata, tetapi kita tetap tidur nyenyak,” katanya. – dengan laporan dari Ursula Florene dan Banjir Ambarita/Rappler.com

BACA JUGA:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!