Kisah penyintas tragedi 1965: Tentara khawatir saat saya bebas

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisah penyintas tragedi 1965: Tentara khawatir saat saya bebas
Keluarga dan penyintas akan kirim surat kepada Menkopolhukam Luhut Panjaitan untuk mendatangi kuburan massal korban tragedi 1965

Heryani Bisono terlihat ramah saat menyapa tamu di rumahnya di Jalan Blimbing, Peterongan, Semarang. Di usianya yang hampir 90 tahun, sorot matanya tampak jernih menggambarkan sosok perempuan cerdas pada masanya.

Heryani lalu mempersilakan Rappler duduk di kursi ruang tamu. Ia bilang sekarang sering tinggal bersama pembantunya di rumah.

“Sepeninggal suami, saya sekarang tinggal sama pembantu. Anak saya di Jakarta,” kata Heryani, pada Jumat pagi itu, 29 April.

Gaya bicaranya tegas dan teratur, meski rambutnya telah memutih. Ketegasannya juga ia tunjukkan kala menjadi dosen jurusan sejarah di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta pada 1965 silam.

“Dulu sebelum ditangkap sama tentara, saya mengajar di UGM. Sedangkan suami Bisono Wiwoho yang bergelar doktor, jadi kepala rumah sakit paru-paru di Yogyakarta,” kata wanita kelahiran Medan, 24 November 1933 ini.

Sembari memperlihatkan foto dirinya berada di penjara, ia mengaku tak tahu mengapa bisa ditangkap saat Indonesia bergejolak pada 1965. Sebab, hidupnya kala itu hanya dihabiskan di ruang kuliah. Mengajar, mengajar, dan mengajar adalah nyawanya dan suaminya. 

“Saya bahkan ditangkap usai ngajar di Yogyakarta,” ujarnya.

Ia masih mengingat jelas betapa terkejutnya ia saat mendengar deru mesin jip menghampiri rumahnya di Bulaksumur Blok S, Yogyakarta. Alih-alih bersikap sopan terhadapnya, tentara justru membentaknya seraya menariknya secara paksa masuk ke jip.

“Sudah, ibu pokoknya ikut sama saya ke Denpom (Detasemen Polisi Militer),” kata Heryani menirukan kata-kata tentara yang menangkapnya.

Kejadian itu terjadi tatkala ia berusia 23 tahun. Usia yang sangat muda bagi seorang perempuan cerdas untuk menapaki karirnya lebih tinggi di UGM.

Ia mengingat saat itu sang suami selain menjadi dokter, juga aktif sebagai Ketua Himpunan Sarjana Indonesia (HSI). HSI yang beranggotakan mayoritas dokter ternyata dituduh terlibat gerakan pemberontakan 1965.

“Suami lebih dulu ditangkap saat berkumpul dengan teman-temannya di Blora. Saya sedih kalau ingat itu,” katanya getir.

Heryani lalu meringkuk di dalam jerusi sel tahanan Lapas Wirogunan, Yogyakarta, selama enam bulan. Perasaan getir bercampur kesal berkecamuk di dadanya. Apalagi, ia tak tahu kabar kedua anaknya serta suaminya yang belakangan ditahan di Pulau Buru.

“Enggak ngerti, salah saya apa kok tiba-tiba ditangkap. Dan ternyata, banyak teman juga ditangkap,” katanya.

Mengajar di dalam penjara

Namun beruntung, selama enam bulan ditahan di Wirogunan, ia terhindar dari penyiksaan seksual. Setelah itu ia dipindahkan lagi ke Penjara Ambarawa, Semarang.

Di Ambarawa, ia lega tatkala mendapati perlakuan tentara yang baik terhadapnya. “Saya malah disuruh mengajar bahasa Inggris di sana,” akunya sambil tersenyum simpul.

Apapun keperluan mengajar yang dimintanya, tentara selalu memenuhinya. Perlakuan ini membuatnya senang karena dunia mengajar menjadi penyemangat hidupnya.

“Mulai buku, papan tulis, sampai satu ruang disediakan buat saya agar dapat mengajar bahasa Inggris buat teman-teman di tahanan,” ucapnya.

Meski begitu, ia mengaku terus kepikiran dengan nasib kedua anaknya yang masih kecil. Tiap malam, ia selalu berdoa agar anaknya tak bernasib sama dengannya.

Sebagai pelipur lara sekaligus obat kangen, ia pun membuat lagu yang dibantu sipir penjara Ambarawa.

Peristiwa ’65 benar-benar membuat hidupnya berbalik 180 derajat. Ia mempertanyakan sikap pemerintahan Orde Baru yang seenaknya menuduh orang komunis.

Padahal, Heryani adalah seorang nasionalis sejati. Orangtuanya bahkan ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

“Saya tahu betul, bagaimana bapak saya berkawan dekat dengan Bung Karno. Saat Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, bapak saya saksi hidupnya. Beliau diminta Bung Karno tinggal di Pegangsaan Timur sebagai markas republik,” paparnya.

“Malah, ketika pemerintahan republik federal dipindah ke Yogyakarta, kami semua diminta tetap menjaga rumah Pegangsaan Timur. Saya juga mengenyam pendidikan hingga SMA di sekolah republik Jalan Pegangsaan. Begitu loyalnya kami terhadap negara sampai akhirnya semuanya terenggut oleh peristiwa ’65,” ucapnya.

Tragedi ’65 telah mengubah hidupnya. Dari semula bebas mengajar sejarah Indonesia, lalu harus mendekam di sel tahanan. Hidupnya berpindah-pindah dari penjara Wirogunan, Ambarawa, lalu dibawa ke Plantungan Kendal.

“Di Plantungan, saya bertemu banyak tahanan wanita yang senasib. Mereka kebanyakan dari Jawa Timur. Ada yang seorang dokter, bidan, penari, penyanyi seriosa, dan masih banyak lagi. Meski dipenjara tapi kami ikut bantu warga lokal yang sakit,” kata Heriyani.

Pernah suatu hari ada warga yang sakit disentri. Lalu dokter tahanan politik mengobatinya sampai sembuh. Hal itu dilakukan seterusnya hingga para tahanan dibebaskan oleh tentara.

“Maka, jangan heran kalau waktu itu lihat banyak plastik-plastik berisi makanan yang dicantelkan di pagar penjara. Itu bentuk imbalan dari warga yang merasa dibantu oleh kami,” katanya.

Bebas dari dendam

13 tahun ia hidup di balik jeruji besi yang pengap. Ia bebas dari Plantungan pada 1980an. Pembebasannya dari penjara diwarnai kisah-kisah yang tak terlupakan.

Di kala siang hari, satu per satu para wanita tahanan politik diminta berbaris untuk mengisi surat pembebasan. Tiba gilirannya, seorang tentara bertanya berulang kali.

“Ibu hari ini bebas. Ibu tidak dendam?” kata tentara itu.

“Kenapa harus dendam, Pak?” ujar Heryani.

“Ya kan, udah ditahan belasan tahun. Masa enggak dendam? Enggak marah, Bu?” kata tentara itu lagi.

“Saya senang, Pak. Jadi banyak teman bisa berkumpul senasib,” jawabnya.

“Ya, tapi kan ditahan lama. Masa ibu enggak marah sama sekali? Jangan dendam, ya,” ucap si tentara.  

Begitu seterusnya diulang-ulang kepada tahanan lain sampai-sampai Heryani hingga kini masih mengingat jelas perkataan tentara yang membebaskannya.

“Pasti tentara yang membebaskan saya ada perasaan takut dan berdosa karena telah menahan saya tanpa tahu apa kesalahan saya,” katanya.

Negara didesak minta maaf

TRAGEDI 1965. Kuburan 24 orang yang dibunuh karena diduga anggota Partai Komunis Indonesia di Kampung Plumbon, Semarang. Foto screengrab Youtube

Di sisi lain, para aktivis hak asasi manusia di Semarang mendesak negara segera meminta maaf terhadap para korban tragedi ’65 seperti yang dialami Heryani Bisono.

Koordinator Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia, Yunantyo Adi, berpendapat permintaan maaf itu perlu dilakukan karena pembantaian dan penangkapan dilakukan tanpa melalui proses hukum. Banyak korban tidak terlibat tragedi ’65. 

“Mereka tidak tahu apa-apa soal kasus Lubang Buaya,” kata Yunantyo kepada Rappler.

Ia dalam waktu dekat akan mengirimkan surat kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Panjaitan untuk meminta pemerintah mendatangi jejak kuburan massal korban tragedi ’65.

Menurutnya, itu sesuai instruksi Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang ingin mencari bukti fisik pelanggaran HAM tragedi 1965.

“Kita akan buktikan kepada Menteri Luhut apakah beliau serius dengan ucapannya atau tidak. Kita punya bukti kuburan massal PKI di hutan Plumbon Mangkang,” kata Yunantyo.

Ia mengatakan medio 2015 silam, aktivis lokal telah melakukan penisanan terhadap kuburan yang diduga sebagai lokasi pembantaian tragedi ’65 di Semarang. Ia bilang ada 24 orang yang dipendam dalam satu liang lahat.

Ada pula keterangan saksi mata dan keluarga korban yang sering mendatangi lokasi tersebut.

Monggo, Menteri Luhut dan tim yang  membongkar itu. Mulai dari menggali, memforensik, dan menghitung jumlah korban, lalu memakamkan ulang secara layak korban 1965 di Semarang,” ujarnya.

Ia pun mengajukan syarat jika Luhut berniat membongkar kuburan massal di Plumbon.

Yang pertama, harus menerbitkan surat keputusan atau surat forensik penggalian. Kedua, pemakaman harus dilakukan kembali biar menjadi payung hukum nasional untuk tiap-tiap kuburan massal yang ada saat ini.

Pengembalian jenazah di tempat semula penting karena berkaitan dengan peninggalan sejarah. Untuk dokumentasi, negara wajib melibatkan arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya dan Komnas-HAM.

“Ini demi menjamin pelindungan, tata cara, juklak dan juknis, serta jaminan akan dikembalikannya kerangka-kerangka jenazah korban ke lokasi kuburan massal semula,” ucapnya. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!