Road to final Read Madrid: Takdir yang datang terlalu cepat

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mampukah Real Madrid meraih gelar ke-11 Liga Champions bersama Zinedine Zidane?

Pelatih Real Madrid Zinedine Zidane saat mendampingi anak asuhnya menghadapi Rayo Vallecano. Foto: Luca Piergiovanni/EPA

JAKARTA, Indonesia – Awal musim 2015-2016. Real Madrid kebingungan. Mereka belum punya entrenador (pelatih) setelah memecat Carlo Ancelotti. Padahal, pelatih asal Italia itu yang memberi trofi ke-10 koleksi piala Liga Champions mereka.

Beberapa nama masuk ke kantong Presiden Florentino Perez. Salah satunya pelatih Real Madrid Castilla, tim remaja Real Madrid, Zinedine Zidane. Namun, Perez menepisnya. “Belum waktunya,” katanya seperti dikutip FourFourTwo.

Perez ingin nama yang lebih mapan. Bukan pelatih anyar yang bahkan belum pernah sekalipun memimpin pasukan di level tertinggi. Zidane paling banter hanya menjadi asisten pelatih Ancelotti.

Pilihan kemudian jatuh kepada Rafael Benitez yang baru saja lengser dari kursi kepelatihan Napoli. Profil pelatih 56 tahun itu jelas jauh lebih mentereng dibanding Zidane.

Portofolionya merentang mulai dari juara La Liga dua musim bersama Valencia, piala Liga Champions bersama Liverpool, juara Europa League bersama Chelsea, dan baru dua tahun lalu juara Coppa Italia bersama Napoli.

Pilihan pun jatuh kepada Benitez. Selain profilnya yang teruji, dia bukan figur asing publik Santiago Bernabeu. Benitez pernah menukangi tim muda Real Madrid di awal 1990-an.

Tapi, jalan yang dilalui Los Blancos bersama Benitez tak mulus. Tim megabintang yang selalu menargetkan dominasi di level domestik dan internasional itu justru “konsisten” di posisi ketiga.

Situasi bagi Benitez semakin memburuk karena mereka dihajar Barcelona, musuh abadi Real, empat gol tanpa balas.

Benitez dipecat. Zidane yang sebelumnya dianggap Perez terlalu cepat menangani tim senior mau tak mau datang menggantikan Benitez.

Hal-hal baik pun mulai datang kepada legenda timnas Prancis tersebut.

Selisih dengan Barca hanya berselisih satu angka meski gelar juara Primera Division masih terlalu berat diraih dengan hanya dua laga tersisa. Yang lebih penting, mereka kini lolos ke final Liga Champions. Mereka sudah ditunggu rival sekota: Atletico Madrid.

Karisma sang legenda

Zinedine Zidane memberi semangat pemainnya dalam laga leg kedua semi final Liga Champions melawan Manchester City di Santiago Bernabeu. Foto: JUAN CARLOS HIDALGO/EPA

Akhir Maret tahun lalu, seorang lelaki berkepala plontos terlihat duduk bersilang kaki di pojok Sabener Strasse, kompleks latihan Bayern Muenchen. Dia melihat dengan detail Josep “Pep” Guardiola yang sedang memimpin skuat Die Rotten latihan.

Latihan berakhir. Dante, Franck Ribery, dan beberapa rekan-rekannya langsung menghambur ke lelaki yang ternyata adalah Zinedine Zidane.

Mereka meminta foto bareng dengannya. Padahal, Zizou—sebutan Zidane—datang bersama Claude Makalele, rekan senegara mantan pemain Real Madrid dan Juventus itu saat meraih juara Piala Dunia 1998.

Tak jauh dari situ, mantan bek Bayern Willy Sagnol juga berdiri tak jauh dari Zidane. Tapi, aura kebintangan lelaki keturunan Aljazair berpaspor Prancis itu jauh lebih bersinar.

Zidane saat itu sedang mengikuti rangkaian program kepelatihan UEFA di Jerman. Saat sedang tak sibuk itulah dia memilih untuk memantau latihan Bayern. Pep Guardiola sampai menghampirinya agar bisa bersalaman.

“Dia adalah pemain Prancis terbaik di generasinya. Sekarang dia ingin menjadi pelatih terbaik di generasinya pula,” tulis Andrew Murray saat menuturkan pemandangan unik tersebut di FourFourTwo.

Zidane memang memiliki pesona luar biasa. Karismanya tak hanya karena deretan prestasi lengkap yang telah dia raih dari lapangan bola. Mulai dari gelar domestik (Serie A Italia dan La Liga Spanyol) hingga prestasi internasional seperti Liga Champions hingga gelar juara Piala Dunia 1998.

Namun, ada satu hal lain yang membuat namanya lebih spesial dibanding legenda lainnya. Zidane adalah pemain temperamental. Gara-gara perangainya itu, dia meraih 14 kartu merah sepanjang karirnya.

Yang paling diingat, tentu saja, tandukan mautnya kepada bek Italia Marco Materazzi di final Piala Dunia 2006. Tapi, sejak insiden itu, kecaman justru diarahkan publik bola kepada Materazzi sebagai pemain yang culas. Zidane justru panen simpati dan pujian. Sampai sekarang.

Lantas, bagaimana dia membawa karisma dan pengalamannya di Real Madrid?

Direct football: sepak bola efisien ala Zidane


Sudah berbagai tipe pelatih datang dan pergi di Valdebebas, kompleks latihan Real Madrid. Mulai dari Carlo Ancelotti yang cenderung “membebaskan” hingga Jose Mourinho yang penuh tekanan dan ketaatan terhadap detail.

Kebetulan, Zidane pernah bekerja sama dengan kedua pelatih tersebut. Dan Zidane bukan bertipe salah satu dari keduanya.

Di era Mourinho, Zidane bertindak sebagai direktur olahraga. Dia menjadi “penyambung lidah” antara Presiden Real Madrid Florentino Perez dan “si lidah api” Jose Mourinho.

Tapi, hubungan antara Mou dan Zidane tak langgeng. Ayah Enzo Zidane itu tak bisa ikut-ikutan perang kata-kata di media sebagaimana yang dilakukan sang entrenador.

Zidane adalah seorang introvert sejati. Dia juga bukan petarung di medan pencitraan. Apalagi menggunakan pendekatan psikologis dengan menekan habis-habisan anak asuhnya. Itu bukan gaya dia.

Sebagaimana saat masih aktif bermain, Zidane adalah sosok pekerja tim. Dia akan lebih banyak bekerja dalam diam. Karena itu, setiap kali Real bermain, dia tidak banyak berteriak dari pinggir lapangan. Dia lebih banyak memantau. Baru saat tim sudah mulai dalam bahaya dia akan bertindak.

Berbeda dengan Mourinho yang kerap menghabisi pemain di depan rekan-rekannya, Zidane menggunakan cara yang lebih halus. Tapi tetap keras.

“Untuk kebaikan bersama, kamu harus bisa menemukan bagaimana mengatakan kepada pemain sesuatu yang tak siap mereka dengar,” katanya.

Zidane juga termasuk pelatih yang jarang marah. Menurut dia, marah bukan satu-satunya cara. “Saya memiliki otoritas yang alamiah. Saya tak harus berteriak-teriak untuk ditaati. Jika saya terus menerus berteriak, saya tak akan menjadi diri sendiri,” katanya.

Memang, banyak yang menilai Zidane terlalu kalem untuk seorang pelatih. Apalagi memimpin tim penuh bintang semacam Real. Ego mereka setinggi langit. Hanya dengan memberi mereka kebebasan tak lantas menyelesaikan masalah.

“Apakah seorang pelatih harus lebih banyak bicara dan tidak terlalu banyak diam seperti saya? Menjadi pelatih bukan hanya soal itu,” katanya.

Di tangan Zidane, bangunan serangan Real menjadi lebih langsung. Umpan-umpan dari lini tengah bisa langsung dilepas ke depan. Sesegera mungkin mencetak gol.

Statistik dari FourFourTwo menyebutkan, rata-rata penguasaan bola pasukan Zidane sekitar 60 persen. Lebih banyak dibanding era Benitez yang hanya 56 persen.

Tapi, bukan cuma angka yang bertambah. Tapi juga signifikansi penguasaan bola. Real lebih bisa bertahan lama di area akhir lawan. Mereka lebih bisa mengurung rival di kotak penaltinya plus melepas sejumlah tembakan.

Di Liga Champions, Zidane memimpin anak asuhnya hanya dalam enam laga. Tapi, bukan berarti mereka tak tersentuh kekalahan. Mereka kalah atas Wolfsburg 0-2 dan ditahan seri Manchester City 0-0.

Semakin mendekati partai puncak, produktivitas Los Merengues—julukan lain Real—juga semakin menyusut. Rata-rata gol mereka hanya 1,3 gol.

Selain itu, Real lebih kerepotan menghadapi tim dengan pertahanan solid dan serangan balik yang kuat. Saat menghadapi AS Roma di Olympic Stadium, Real beberapa kali kecolongan peluang emas. Untungnya, mereka terbantu dengan barisan depan Il Lupi yang tumpul.

Begitu juga ketika melawan Manchester City di leg pertama. Sekalipun mereka mengurung tim tuan rumah, Real tetap tak bisa mencetak gol.

Salah satu penyebabnya, kuartet bek City sedang full. Di leg kedua, kapten Vincent Kompany harus keluar lapangan di awal pertandingan karena cedera. Dan 10 menit kemudian terjadilah gol semata wayang Real hasil tembakan Gareth Bale yang mengenai Fernando.

Karena itu, menarik untuk menunggu ramuan Zidane menghadapi Atletico Madrid yang sangat kuat. Di level domestik, dia hanya mampu menang 1-0 atas pasukan Diego Simeone itu. Tapi, Los Rojiblancos selalu berbeda di Liga Champions.

 Apakah kali ini takdir Liga Champions bakal benar-benar terlalu cepat datangnya bagi Zidane?—Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!