Petualangan sehari di tanah Para Dewa

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Petualangan sehari di tanah Para Dewa
Dataran tinggi di Dieng rata-rata memiliki ketinggian 2.000 meter dari permukaan laut. Ketika mencapai di puncak, wisatawan bisa menyaksikan awan di bawah kaki mereka.

 

 BANJARNEGARA, Indonesia – Dieng bisa menjadi alternatif pilihan libur akhir pekan bagi mereka yang ingin mengungsi dari hiruk-pikuk metropolitan dan ingin menikmati alam. Dataran tinggi yang terbentang di Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah, ini bisa ditempuh kurang dari tiga jam perjalanan darat dari Semarang atau Yogyakarta.

Dieng berasal dari bahasa Sansekerta, Di-Hyang, yang berarti gunung para dewa. Dataran tinggi ini dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan pada masa lalu menjadi salah satu tempat pertapaan bagi raja-raja Hindu di Jawa.

Di balik kabut abadi yang menyelimuti dataran berketinggian rata-rata 2.000 meter dari permukaan laut (mdpl) dan dikelilingi gunung ini, tersimpan keanggunan candi-candi Hindu, kawah, danau, dan tradisi masyarakat yang eksotis. Tetapi, selain itu, ada juga wisata minat khusus Dieng yang perlu dicoba, dari hiking hingga rafting.

Mendaki Sikunir

Salah satu daya tarik Dieng adalah pemandangan sunrise yang merupakan salah satu dari yang terbaik di Indonesia. Namun, untuk mendapatkan sinar matahari jingga, saya harus bermalam di Wonosobo, di sebuah guest house sederhana di perkebunan teh Tambi. Saya bangun pukul 03:00 dan termometer pada telepon seluler menunjukkan angka 10 derajat celsius.

PUNCAK GUNUNG SINDORO. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Di tengah udara dingin, saya terpaksa berangkat ke bukit Sikunir. Sekitar setengah jam perjalanan, saya sampai di desa Sembungan. “Selamat datang di Negeri di Atas Awan” begitu tulisan di sebuah papan. Ini merupakan desa tertinggi di Jawa yang berada di 2.350 mdpl.

Udara dingin di Sembungan terasa sangat ekstrem terutama bagi orang-orang yang biasa tinggal di kota-kota berudara panas. Karenanya, perlengkapan yang wajib dibawa adalah jacket, sarung tangan, topi hiking dan sepatu atau sandal outdoor. Perlengkapan itu akan membantu menjaga tubuh kita tetap hangat dan mencegah hipotermia.

Sikunir sebenarnya lebih menyerupai bukit daripada gunung, yang terletak di atas Danau Cebongan. Untuk menyaksikan sunrise, saya harus mendaki sejauh 800 meter ke puncak. Tidak terlalu jauh, tetapi jalurnya cukup curam dan gelap. Jalan setapak di bagian atas berbatu dan banyak akar pohon yang menonjol.

Tips untuk mendaki tempat tinggi yang minim oksigen seperti ini adalah berjalan pelan-pelan agar tidak cepat lelah. Jika kepala mulai terasa agak pusing, itu merupakan gejala awal hipoksia akibat tubuh kita kekurangan oksigen yang bisa berdampak kehilangan kesadaran alias pingsan. Sebaiknya berhenti dan istirahat sejenak.

Di titik sekitar 200 meter dari puncak, banyak pendaki yang beristirahat mengatur napas. Saya pun ikutan berhenti. Ini jauh lebih baik daripada memaksakan terus mendaki, tetapi malah terkapar di puncak dan gagal melihat matahari pagi.

Rasa sesak di dada hilang seketika begitu saya sampai di puncak Sikunir. Pemandangan yang menakjubkan ada di depan mata. Matahari belum muncul, tetapi awan berwarna kelabu terhampar seperti karpet raksasa. Dan, saya baru tersadar, bahwa saya benar-benar berdiri di atas awan.

Para pendaki sudah sibuk mencari tempat terbaik, menyiapkan tripod dan kamera mereka. Sebentar lagi mereka merekam sang surya yang akan muncul di balik cakrawala. Masyarakat setempat mengatakan, orang belum sampai Dieng jika belum mendaki Sikunir dan menyaksikan sunrise.

Beberapa saat kemudian, langit gelap mulai tersingkap semburat fajar di ufuk timur. Cahaya jingga menyebar perlahan dan menciptakan gradasi warna-warna brilian pada langit pagi.

Matahari berwarna emas muncul, menciptakan siluet Gunung Sindoro, dan mengubah warna awan dari kelabu menjadi putih seperti lautan kapas. Langit mulai terang dan mengusir kabut pagi, membuat pemandangan sekitar tampak jelas. Gumpalan awan tidak lebih tinggi dari kaki, mengingatkan saya pada film Jack and the Giant Slayer.

Meskipun matahari mulai bersinar terang, temperatur lokal masih tetap 5 derajat celsius. Mentari menguak kecantikan puncak-puncak gunung di Jawa Tengah yang terlihat dari bukit Sikunir, yaitu Sumbing, Prau, Slamet, Merbabu, dan Merapi. Boleh berfoto selfie, asal tetap berhati-hati.

Trekking ke Telaga Warna

Di bawah Sikunir, beberapa tenda terlihat berdiri di tepi Danau Cebongan. Para pendaki yang suka tidur di alam biasanya memilih tempat ini untuk menginap gratis daripada tidur di hotel atau penginapan.

PETUALANGAN DI DIENG. Telaga warna yang ditutupi oleh kabut. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Saya harus melewatkan danau ini karena mengejar waktu untuk pergi ke Telaga Warna sebelum siang hari. Perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit dari desa Sembungan.

Sampai di lokasi, saya harus berjalan kaki dan memilih di antara dua jalur trekking, yaitu jalur tepi danau dan jalur bukit. Saya memilih jalur bukit karena ingin menyaksikan danau dari atas untuk melihat perbedaan warna.

Telaga ini merupakan danau vulkanik atau kawah kuno. Kandungan sulfur yang tinggi memengaruhi perubahan warna airnya. Warna bisa berkisar dari biru ke merah, coklat, hijau dan kuning. Tetapi, hari itu, saya mendapati warna danau hijau tua, turkis, dan coklat tua.

Tempat ini sangat hening dan diselimuti kabut tebal setiap hari. Di sekitar danau juga terdapat goa-goa kecil yang biasa dipakai untuk tempat meditasi oleh para praktisi supranatural. Beberapa penduduk mengatakan danau ini sarat dengan mistisme.

Bagaimanapun juga tempat ini layak dikunjungi karena panorama danau yang dikelilingi oleh pepohonan hijau dan udara yang segar, sebuah tempat yang cocok untuk trekking. Waktu yang tepat untuk mengunjungi danau ini adalah menjelang siang hari karena pemandangan akan terlihat jelas tanpa kabut. Pada sore hari, kabut kembali menutupi danau ini hingga pagi hari berikutnya.

Arung jeram di Serayu

ARUNG JERAM. Petualangan arung jeram di Sungai Serayu, Banjarnegara. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Dari Wonosobo, saya kemudian menuju ke arah Kabupaten Banjarnegara, tepatnya di base camp Madukara yang dikelola Bannyu Woong Adventure di Desa Kutayasa, daerah aliran sungai Serayu. Saya sudah menjadwalkan rafting selepas siang ini.

Ini bukan kali pertama bagi saya, karena sebelumnya pernah mencoba sungai Elo di Magelang. Bedanya, Serayu memiliki grade 3+ atau dengan tingkat kesulitan lebih tinggi. Sungai ini memiliki jeram lebih banyak dan hanya sedikit arus tenang, artinya cocok untuk para pencari tantangan.

Serayu bukan sungai yang stabil karena jeramnya selalu berubah sepanjang waktu akibat arus deras. Titik jeram, tepi sungai, dan bebatuan selalu bergeser setiap kali terjadi banjir besar dari bagian hulu.

“Kami biasa memetakan lagi jalur arung jeram setelah banjir besar untuk mengenali dan menghitung kesulitan serta titik-titik berbahaya sebelum membuka layanan rafting,” ujar Akhmad Fajar, manajer Bannyu Woong.

“Saat ini hanya kurang dari 30 kilometer aliran yang masih aman untuk rafting. Selebihnya, jeramnya cuku berbahaya dan sangat berisiko untuk olah raga air,” kata dia.

Di base camp, saya istirahat sejenak bersama dan makan siang sembari mendengar penjelasan instruktur, sebelum memulai persiapan. Saya dijelaskan tentang prosedur detail menghadapi risiko jeram, arus putar, batuan, dan saat perahu terbalik, termasuk cara menolong teman yang tercebur atau jatuh ke sungai saat terjadi goncangan perahu karet.

Para instruktur membagikan perlengkapan. Satu orang mendapat satu jaket pelampung, helm, dan dayung. Setiap perahu karet terdiri lima orang dan satu orang instruktur. Saya diberangkatkan ke hulu, sekitar 14 kilometer dari base camp.

Lima menit dari start, perahu saya tergoncang oleh jeram pertama. Seorang teman terlempar jatuh ke air setelah dayungnya tersangkut batuan. Beruntungnya, ia tidak cedera dan bisa meneruskan petualangannya.

Selama perjalanan, perahu berhasil mengatasi lebih dari 20 jeram yang cukup memompa adrenalin. Guncangan arus sungai Serayu memberikan ketegangan. Saat instrutur di belakang mengatakan “boom”, kami semua harus segera duduk di tengah perahu dan mengangkat dayung agar perahu tidak terbalik oleh dorongan arus yang kuat.

Untuk wisatawan pencari ketegangan, tiga jam rafting di sungai Serayu perlu dicoba. Tak perlu khawatir, pengelola sudah menyiapkan 40 instruktur bersertifikasi untuk mendamping Anda menaklukan jeram. – Rappler.com

BACA JUGA: 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!