Mengapa bazaar buku Big Bad Wolf ramai, padahal minat baca rendah?

Sakinah Ummu Haniy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa bazaar buku Big Bad Wolf ramai, padahal minat baca rendah?
Menurut laporan UNESCO, hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang suka baca

JAKARTA, Indonesia — Sejak 30 April hingga hari ini, 9 Mei, telah diselenggarakan bazaar buku impor terbesar di Indonesia di Indonesia Convention and Exhibition (ICE), BSD City, Tangerang, Banten.

Animo masyarakat untuk berkunjung ke bazaar Big Bad Wolf Indonesia (BBW) ini amat besar. Hingga 6 Mei lalu, diperkirakan BBW Indonesia telah dihadiri sebanyak 100 ribu pengunjung. Bahkan pameran yang rencananya akan berakhir pada Minggu, 8 Mei tersebut diperpanjang hingga Senin, 9 Mei, pukul 23:00 WIB.

Terdapat jutaan buku disusun di atas puluhan meja, mulai dari buku cerita anak-anak, novel remaja, hingga buku-buku literatur untuk orang dewasa.

Berdasarkan pengamatan, hampir seluruh buku yang dijual merupakan buku impor berbahasa Inggris, hanya ada satu atau dua meja di pojok yang menjual buku fiksi berbahasa Indonesia.

Dari jutaan buku tersebut, sekitar 30 persennya adalah buku anak-anak. Jika biasanya satu buku cerita impor anak harus dibeli dengan harga lebih dari Rp 200 ribu, di pameran ini harganya tidak sampai Rp 100 ribu.

Bahkan buku-buku fotografi berukuran besar, yang biasanya bisa dihargai lebih dari setengah juta rupiah, dapat dibeli dengan harga seratus hingga dua ratus ribu rupiah saja.

Rappler sempat berkunjung ke BBW Indonesia pada Minggu, 1 Mei lalu, dan harus mengantri selama lebih dari 15 menit hanya untuk masuk ke dalam hall 10  tempat pameran tersebut berlangsung. Bahkan pada hari-hari lain, apalagi pada libur panjang Isra Mi’raj dan Kenaikan Isa Almasih, pekan lalu, banyak pengunjung lain yang harus mengantri berjam-jam untuk masuk.

Ketika selesai berbelanja sekitar dua setengah jam (menemani ibu saya yang terlalu lupa waktu kalau sudah lihat-lihat buku), kami mengantri di kasir selama hampir 30 menit.

Saat saya datang kesana, memang belum seramai saat long weekend. Namun tetap saja, tetap ada ratusan pengunjung yang membeli bertumpuk-tumpuk buku berbahasa Inggris di pameran tersebut.

Ketika itu saya berpikir dalam hati, “Ternyata masyarakat masih banyak yang suka baca buku, ya.”

Padahal, menurut laporan UNESCO, hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki minat baca. Dalam kata lain, indeks minat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001. Sangat rendah, bukan?

Sementara, berdasarkan laporan Kantor Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 90 persen penduduk usia di atas 10 tahun gemar menonton televisi, tetapi tidak suka membaca buku.

Fakta tersebut membuat saya berpikir ulang, apakah fenomena hebohnya festival buku asal Malaysia benar-benar karena minat baca masyarakat yang mulai membaik?

Pada akhir pekan kemarin, ada yang mengaku harus mengantri selama dua jam hanya untuk membayar buku belanjaannya. Ada teman saya yang datang pukul 04:00 dini hari agar bisa memilih-milih buku dengan lebih tenang (meskipun masih lumayan ramai juga).

Saya mengetahui situasi ramainya BBW dari media sosial karena banyak teman saya di timeline Facebook dan Path yang check in di BBW. Saya baru sadar, ternyata pameran BBW jadi lokasi foto-foto baru yang lumayan OK untuk diunggah ke media sosial.

Itu membuat saya jadi teringat fenomena IKEA—supermarket furniture asal Swedia yang buka di Alam Sutera, Tangerang—yang lebih terkenal sebagai lokasi foto ala #OOTD (Outfit of the Day).

Banyak yang datang ke IKEA karena ingin foto-foto dengan latar belakang rak tinggi berisi kardus dan perkakas furniture lainnya. Sangat Instagramable.

Sementara BBW, jika dipikir ulang, memang Path-able banget. Jalan-jalan di antara tumpukan buku, rela mengantri berjam-jam demi memdapatkan bacaan impor dengan harga murah, kesannya kutu buku banget.

Untuk di-posting di Facebook juga menarik. Anak-anak duduk di dalam keranjang yang ditarik orang tuanya sambil melihat-lihat jutaan buku lainnya.

Saat ini, sepertinya semua hal yang menarik untuk diunggah di media sosial memang jadi menarik. Mulai dari makanan, restoran, hingga tempat wisata.

Namun di balik itu semua, dengan banyaknya masyarakat yang berkunjung ke BBW, tujuan penyelenggara yang ingin mendorong minat baca masyarakat Indonesia lewat pameran ini bisa berhasil.

Semoga ramainya masyarakat yang membeli dan membaca buku tidak terhenti di BBW dan media sosial saja.—Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!