Kasus palu arit: Masyarakat sipil pertanyakan keterlibatan tentara

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kasus palu arit: Masyarakat sipil pertanyakan keterlibatan tentara
Aktivis akar rumput mengingatkan pencidukan dan penghilangan paksa aktivis HAM bisa terulang kembali

JAKARTA, Indonesia— Masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (Gema Demokrasi) mempertanyakan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia dalam berbagai kegiatan penggeledahan dan penangkapan warga yang dianggap menyebarkan ajaran komunisme. Menurut Gema, aksi tentara tersebut tak memiliki dasar hukum. 

“Tentara tidak punya hak sama sekali melakukan penggeledahan dan penyitaan pada masyarakat sipil, karena tugas tentara sebenarnya adalah di bidang pertahanan dan keamanan sesuai dengan UU TNI,” kata Alghiffari Aqsa, Direktur LBH Jakarta, salah satu anggota Gema, pada Kamis, 12 Mei.

 

Alghif juga mengingatkan bahwa LBH Jakarta bersama masyarakat sipil telah memenangkan gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi pada 2010, di mana MK menerbitkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-VIII/2010 yang membatalkan PNPS No. 4 tahun 1963 tentang Pelarangan Buku karena inkonstitusional dan bertentangan dengan UUD 1945.

Alghif menganggap apa yang dilakukan tentara saat ini sudah mengangkangi kewenangan Mahkamah Konsitusi. 

 

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen Indonesia Arfi Bambani menimpali Alghif. Ia juga mengatakan tindakan tentara yang melakukan penggeledahan dan penyitaan buku-buku belakangan ini, salah satunya yang dilakukan oleh Komandan Kodim 0712/Tegal Letkol Infanteri Hari Santoso, tidak tepat.

Di sebuah foto yang diunggah kantor berita Antara, Hari menunjukkan lima judul buku yang dipercaya terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disitanya dari sebuah mal, pada 11 Mei 2016. 

“Ini cemooh pada atasannya Presiden Joko “Jokowi” Widodo karena melanggar kebebasan berekspresi,” ujar Arfi. 

Ia sepakat dengan Alghif bahwa tentara memang tak punya hak dan wewenang untuk melakukan hal itu. 

Ia malah curiga, penggeledahan ini punya agenda terselubung. “Kami curiga pelarangan ini dipakai untuk menutupi perjuangan untuk mengungkap pelanggaran HAM seperti 1965,” katanya.

Karena buku-buku yang disita masih terkait dengan sejarah tragedi pembantaian massal 1965. 

Dengan insiden ini, kata Arfi, ia menilai tentara telah menginjak-nginjak keputusan MK yang membatalkan pelarangan buku tersebut. 

Gufron Mabruri dari Imparsial, LSM yang bergerak di bidang pengawasan dan penyelidikan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia, sepakat dengan Alghif dan Arfi.

Ia melihat gelagat tentara yang mulai masuk ke ruang pelayanan publik sejak jauh-jauh hari. “Memang ada upaya dari tentara untuk mendapatkan peran-perannya di masa lalu,” katanya.  

Ia mencontohkan, tentara mulai aktif dalam penggusuran yang marak terjadi di Jakarta hingga penggeledahan dan penangkapan baru-baru ini. “Tugas tentara di luar pertahanan itu dibungkus dalam tugas perbantuan lewat MOU (nota kesepahaman),” katanya. 

GELEDAH. Komandan Kodim 0712/Tegal Letkol Inf Hari Santoso menunjukkan lima judul buku Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disita dari sebuah mal, pada 11 Mei 2016. Foto oleh Oky Lukmansyah/Antara

Sementara itu, aktivis akar rumput Dhyta Caturani yang juga pernah ikut dalam demonstrasi pelengseran Soeharto pada 1998, menuturkan kekhawatirannya terkait insiden penangkapan dan penggeledahan oleh tentara tersebut. 

“Tiba-tiba kami seperti dilempar kembali ke tahun 1998,” katanya. Kondisi saat ini, katanya, mirip dengan sesaat sebelum reformasi pecah. Ia mengingatkan, kejadian pencidukan dan penghilangan paksa aktivis HAM bisa terulang kembali. 

Oleh karena itu, Gema membacakan lima tuntutannya pada pemerintah: 

  1. Presiden Joko Widodo harus bertanggung jawab untuk menjaga demokrasi berjalan sesuai dengan konstitusi yakni memegang teguh prinsip demokrasi, negara hukum dan menjunjung tingi Hak Asasi Manusia dan menjamin perlindungan dan pemenuhan serta penghormatan hak warga negara untuk berpikir, berpendapat, berserikat dan berkumpul serta menyampaikan pendapat secara damai (berekspresi). Jika ini tidak dilakukan, artinya negara telah mengingkari nawacita dan meruntuhkan bangunan demokrasi dan negara hukum Indonesia. 
  2. Ditegakkanya supremasi kepemimpinan sipil atas militer dan kepolisian sesuai dengan Konstitusi dengan mandat reformasi sektor keamanan agar gerak militerisme yang menghambat ruang-ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat warga negara bisa dihancurkan.
  3. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti untuk melakukan penegakkan hukum yang sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara khusus Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Tidak berkompromi dengan masa atau ormas “vigilante”, dan melakukan penindakan hukum kepada siapa pun yang melakukan penyerangan, memasuki pekarangan orang lain tanpa ijin, merusak, merampas, menggeledah, menangkap, melakukan kekerasan dan tindakan kejahatan lainnya. Serta melindungi dan menjami hak konstitusi masyarakat maupun kelompok masyarakat dalam menikmati hak konstitusional nya dalam berkumpul, berekspresi dan mengemukakan pendapat.
  4. Menuntut jajaran militer, kepolisian, organisasi masyarakat  yang melakukan tindakan pelarangan, sweeping, penyitaan buku agar tunduk pada hasil putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-VIII/2010 tentang pembatalan PNPS No. 4 tahun 1963 tentang Pelarangan Bukuyang menyatakan ketentuan Pasal 1 hingga Pasal 9 UU No. 4/PNPS/1963 adalah inkonstitusional, bertentangan dengan UUD 1945. Karena tindakan pelarangan, sweeping, penyitaan barang cetakan seperti buku tanpa melalui proses peradilan adalah sama dengan pengambilalihan hak milik pribadi secara sewenang-wenang dan mencerminkan sikap yang tidak beradab.

Gema Demokrasi adalah gabungan dari  AJI Indonesia, LBH Pers, LBH Jakarta, KontraS, Elsam, SEJUK, SAFENET, PPRI (KPO PRP, SGMK, SGBN, PPR, GSPB, FSedar, SPRI, Solidaritas.net, SEBUMI), YLBHI, KPRI Jakarta, PRP, INFID, ITP/Institut Titian Perdamaian, PULIH Area Aceh, Pergerakan Indonesia, PurpleCode, IMPARSIAL dan individu-individu yang peduli pada masa depan demokrasi Indonesia. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!