Bagaimana mengajarkan seksualitas pada anak?

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bagaimana mengajarkan seksualitas pada anak?
Tiga langkah sederhana yang bisa menjadi bekal anak untuk mengenal seksualitas, hak dan persetujuan atas tubuhnya.

JAKARTA, Indonesia – Meningkatnya angka kekerasan seksual pada anak dan perempuan semakin membuktikan pentingnya pendidikan seksualitas pada anak. Dengan demikian, anak dapat mengetahui hak mereka atas tubuh, juga lebih menghargai orang lain.

Namun, perlu diakui tak semua orang dewasa mampu memberikan pemahaman komprehensif tentang seksualitas pada anak. “Karena sebagian besar masih memandang ini sebagai hal yang tabu, apalagi orang tua,” kata pendiri organisasi swadaya masyarakat Lentera Sintas Indonesia Wulan Danoekoesoemo di Jakarta pada Kamis, 12 Mei.

Padahal, akan jauh lebih berbahaya bagi seorang anak kalau tak dibekali pengetahuan tentang apa saja hak yang ia miliki atas tubuhnya sendiri.

Sebenarnya, menurut Wulan, cara untuk memberikan pemahaman seksualitas pada anak bisa melalui banyak hal. Bahkan, lewat kegiatan sehari-hari:

1. Sentuhan

Orangtua dapat memberitahu anaknya untuk menolak atau memberitahu saat ia merasa tak nyaman dengan seseorang. Bahkan dengan orang terdekat sekalipun.

“Seperti misalkan kalau saya pegang bahu. Sebentar saja tentu tak masalah. Tapi kalau lama, bahkan sampai meremas, tentu membuat kita tak nyaman,” kata Wulan. Saat perasaan tak nyaman muncul, anak berhak untuk menolak, bahkan menghindar dari sentuhan tersebut. Juga meminta tolong bila pihak lainnya masih memaksa.

2. Underwear training

Metode ini lebih mengajarkan pada anak tentang privasi. Orangtua bisa memberitahu kalau area tubuh mereka yang tertutup pakaian dalam tak boleh disentuh orang lain tanpa persetujuan.

“Kalau anak laki-laki, tentu celana dalam. Untuk anak perempuan, celana dalam dan bra,” kata Wulan. Dengan penanda ini, anak dapat lebih mudah memahami area mana saja yang masuk dalam ranah pribadi mereka.

Meski demikian, bukan berarti area tubuh lain yang tak tertutup boleh disentuh sembarangan. “Kita bisa beritahu mereka kalau sudah merasa tak nyaman, boleh menolak,” kata Wulan.

3. Toilet training

Meski terlihat sederhana dan tak berhubungan, sebenarnya melatih anak untuk mandiri menggunakan toilet sangat penting. “Kita mendidik mereka untuk tak bergantung pada orang lain,” kata Wulan.

Menurut dia, angka terbesar pelaku kekerasan anak di Indonesia justru berasal dari kalangan orang dekat. Bisa tetangga, guru, kerabat, bahkan orangtua kandung.

Toilet atau kamar mandi adalah lokasi yang sangat rentan. Tak hanya tertutup, anak juga berada dalam kondisi terbuka, atau melepaskan pakian, di dalam sana. Bila mereka harus bergantung pada orang lain, seperti untuk menceboki bahkan sekedar menemani, mereka rentan menjadi korban kekerasan seksual. “Apalagi kalau yang dimintai tolong adalah orang asing.

“Tapi kalau bisa sendiri, mereka tak perlu meminta tolong. Jadi lebih aman,” kata dia.

Tentu saja, bila lokasi toilet berada di sudut mati atau luput dari pandangan, pendampingan orang tua tetap diperlukan.

Seluruhnya tak bersifat satu arah saja. Anak juga harus diajarkan untuk memahami bila perilaku merekalah yang justru membuat orang lain merasa tak nyaman. Pencegahan dini lebih efektif ketimbang menerima hukuman saat tua nanti.

Perlu pendidikan dini

Ia mengatakan tak ada usia tertentu yang menjadi tolak ukur kelayakan seorang anak untuk mendapatan pendidikan seksual. Baru-baru ini, ramai kasus pemerkosaan terhadap anak berusia 2,5 tahun di Bogor. “Ini menunjukkan urgensi pendidikan sudah harus sedini mungkin,” kata dia.

Menurut Wulan, cara penyampaian hingga informasi yang disampaikan dapat disesuaikan dengan usia anak. “Tentu saja kalau usianya 5 tahun, orangtua bisa menyaring,” kata dia.

Pendidikan ini tak semata-mata menjadi tugas keluarga saja. Pihak sekolah juga harus memberikan pemahaman ini sebab semakin dewasa, anak akan lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, salah satunya sekolah.

Perlu ada penyeragaman pola pikir antar kedua pihak, baik guru maupun orangtua, kalau seksualitas bukanlah hal yang tabu bagi anak. Melainkan suatu pendidikan karakter yang dapat memangkas potensi menjadi korban ataupun pelaku kekerasan seksual.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengatakan akan memasukkan pendidikan seksualitas sebagai salah satu pelajaran di sekolah. Namun, ia belum bisa memastikan untuk tingkat mana saja pendidikan tersebut akan mulai diberikan.-Rappler.com

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!