Ada gaduh dalam tubuh purnawirawan TNI soal Simposium ’65

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ada gaduh dalam tubuh purnawirawan TNI soal Simposium ’65
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu tak setuju dengan langkah Menkopolhukam Luhut Panjaitan soal pembongkaran kuburan massal

 

JAKARTA, Indonesia — Simposium Nasional 1965 telah rampung digelar sebulan yang lalu. Namun gaung forum yang mempertemukan korban dan pelaku tragedi berdarah 1965 untuk pertama kali dalam sejarah ini masih terasa hingga hari ini, Jumat, 13 Mei. 

Apalagi rekomendasi akhir untuk Presiden Joko “Jokowi” Widodo masih disusun oleh tim simposium yang dipimpin oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto. Menurut info yang diterima Rappler, rekomendasi akan diselesaikan hari ini.

Sementara rekomendasi belum rampung, maka ruang debat mengenai forum yang diselenggarakan di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, pada 18-19 April lalu masih terbuka. 

Perdebatan itu bukan hanya terjadi di masyarakat umum, tapi juga di antara purnawirawan TNI. Pasalnya, Letnan Jenderal (Purn) TNI Agus Widjojo bertindak sebagai Ketua Panitia Pengarah simposium ini. Agus adalah putra dari Jenderal Sutoyo, salah satu korban tragedi 1965.

Pasca simposium, ada gaduh di internal pensiunan tentara. Sebagian dari mereka, alih-alih menyumbang pendapat untuk poin rekomendasi, malah menegaskan menolak penyelenggaran simposium. 

Salah satu yang menolak antara lain Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Sebagai bentuk penolakan, Ryamizard, yang merupakan angkatan 1974, ini menggelar silaturahmi bersama organisasi Forum Umat Islam (FUI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang diselenggarakan di Balai Kartini, Jakarta Selatan, hari ini. 

(BACA: Forum Umat Islam minta film ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ ditayangkan lagi)

Meski dikemas dalam forum untuk merespons kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui ditangkapnya penjual dan pemakai kaus dan pin berlogo palu arit, isi dari forum ini salah satunya adalah membahas Simposium Nasional 1965. 

Klausul Simposium 1965 pertama kali disebut oleh Ketua Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat Letjen TNI (Purn) Suryadi. “Ada kegamangan kita mengenai sikap pemerintah, orang yang memberontak difasilitasi. Kalau pemerintah memfasilitasi ini, anggarannya dari mana?” kata Suryadi. 

Suryadi secara samar-samar merujuk pada Simposium 1965 yang belakangan disebut lebih memfasilitasi keluarga korban pembantaian massal dan korban penahanan saat itu.  

Bukan hanya simposium yang dipertanyakan, tapi nama Agus Widjojo juga disinggung-singgung.

Suryadi mempertanyakan keputusan Presiden Jokowi melantik Agus, anak korban tragedi 1965, sebagai Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). “Siapa sih dia?” tanya Suryadi.  

Padahal, kata Suryadi, masih banyak calon-calon dari purnawirawan TNI yang lebih baik dari Agus. 

Sekjen FUI Ahmad Al Khattah kemudian menimpali Suryadi. Ia ikut mengkritik sikap aparat yang melindungi kegiatan Simposium 1965. “Justru Simposium 65 dan kegiatan di TIM yang ada nyanyi Genjer-Genjer dilindungi polisi,” keluhnya.

Ahmad merujuk kepada penyelenggaraan ASEAN Literary Festival 2016 pada 5-8 Mei lalu yang menampilkan monolog Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer sebagai salah satu acaranya.

(BACA: Kelompok intoleran ancam bubarkan ASEAN Literary Festival)

Setelah itu, Ryamizard pun merangkum pernyataan kedua koleganya. “Tatap muka ini sangat penting bagi kita yang setia pada Pancasila harus waspada dengan bahaya laten komunis yang dimotori PKI,” katanya. 

Ia pun mengajak ormas Islam untuk ikut menjaga Pancasila dengan mengikuti program bela negara. “Ancaman hari ini sudah multidimensi karena itu tak cukup hanya ditangani TNI,” ujarnya. 

SANG JENDERAL. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu saat diwawancarai TVRI, 26 Oktober 2014. Foto oleh Adi Weda/EPA

Usai acara, Rappler pun mendatangi Ryamizard dan menanyakan mengapa ia menolak Simposium 1965. Apakah terjadi perpecahan di tubuh purnawirawan TNI pasca Simposium?  

Dengan tegas ia menjawab, “Satu Pancasila, kalau enggak Pancasila, kita beda pendapat,” katanya. 

Ia juga mengaku tak bahagia dengan gerakan pasca simposium, yakni menggali kuburan massal yang dimotori oleh tim Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan.

“Justru itu bongkar kuburan, kalau semua marah bagaimana? Enggak betul itu,” ujarnya. 

Agus Widjojo sendirian’ 

Prijanto, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang juga purnawirawan TNI angkatan 1975, mengatakan sebelum isu Simposium 65 dan penggalian kuburan ini, kondisi tenang. 

“Itu yang bikin perpecahan. Dari tenang, mengapa gali kuburan? kuwi ora bener (Itu enggak benar),” katanya. 

Apalagi salah satu tujuan Simposium 1965 adalah meluruskan sejarah. Menurut Prijanto, tidak ada sejarah yang perlu diluruskan, semua sudah benar.

“Emangnya sejarah enggak lurus? Kalau mau meluruskan sejarah, ke Perpustakaan Nasional saja sana ada datanya,” keluhnya. 

Prijanto juga menyebut Agus Widjojo tak memiliki pendukung di grup purnawirawan TNI yang mendukungnya di Simposium 1965. 

“Jangan gebyah uyah (disamaratakan), Pak Agus Widjojo itu 10 aja enggak ada (pendukungnya). Sendirian. Mungkin dia punya teman satu, dua orang,” katanya. 

Apa yang dilakukan Agus dan tim Simposium 1965, kata Prijanto, ditentang oleh sebagian besar purnawirawan TNI. “Ditentang, itu enggak benar. Itu barang yang udah enggak perlu digugah-gugah lagi,” ucapnya. 

Selain itu, Priyanto juga menyebut rekam jejak Agus memang tak pernah akur dengan sebagian besar purnawirawan TNI. “Zaman waktu dinas itu, Pak Agus itu penggagas pembubaran teritorial yang ada Babinsanya, Babinsa itu musuh PKI,” ujarnya. 

Babinsa merupakan singkatan dari Bintara Pembina Desa, salah satu kekuatan Komando Daerah Militer (Kodam).

Lalu apa tanggapan Agus? 

Kepada Rappler, Agus mengaku tak kaget dengan komentar miring tentang simposium dan dirinya pribadi.

“Kita ini purnawirawan. Begitu kita menjadi purnawirawan, kita menjadi warga negara sipil, kita mempunyai pikiran yang bebas mengemukakan pendapat,” katanya. 

Agus mengingatkan pada kolega-koleganya yang lain bahwa banyak purnawirawan selain dirinya yang akhirnya bergabung dengan kelompok lain dan partai politik. “Buktinya banyak purnawirawan yang bergabung dengan parpol yang berbeda,” katanya.  

Ia tak ingin menyebut ada perpecahan di tubuh purnawirawan TNI terkait Simposium 1965, menurutnya wajar jika ada perbedaan pendapat. 

Tapi sampai kapan perbedaan pendapat ini akan berlangsung? Apakah perbedaan pendapat ini akan berdampak pada hasil Simposium nanti? 

Yang jelas FUI yang didukung Ryamizard dan purnawirawan TNI lainnya telah mendeklarasikan simposium tandingan yang akan diselenggarakan pada 1-3 Juni nanti. Meski lokasi belum ditentukan, tapi mereka mengatakan tak akan menerima apapun hasil Simposium 1965 nanti. —Rappler.com

Baca laporan lengkap Rappler tentang Simposium Nasional 1965:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!