Keluarga laporkan kematian terduga teroris Siyono ke Polres Klaten

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Keluarga laporkan kematian terduga teroris Siyono ke Polres Klaten
Laporan dugaan penganiayaan tidak terbatas pada dua anggota Densus, tetapi semua yang terlibat.

 

KLATEN, Indonesia – Keluarga Siyono, terduga teroris yang meninggal di tangan anggota Densus 88, mendatangi Polres Klaten, Jawa Tengah pada Minggu pagi, 15 Mei, untuk melaporkan dugaan tindak pidana penganiayaan yang berakibat kematian.

Pihak keluarga mengaku menghormati keputusan sidang Komisi Etik dan Profesi Mabes Polri pekan lalu yang mencopot dan memindahkan dua anggota Densus, AKBP T dan Ipda H, ke satuan lain karena terbukti melakukan kesalahan prosedur pengawalan tahanan. Namun, keluarga Siyono tidak puas karena tidak ada proses hukum pidana untuk menjerat mereka.

Keluarga Siyono – Suratmi (istri), Marso Diyono (ayah), dan Wagiyono (kakak) – datang ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Polres Klaten didampingi kuasa hukumnya, Tim Pembela Kemanusiaan (TPK), yang merupakan koalisi dari beberapa lembaga hukum di Yogyakarta dan Solo, seperti LBH Yogyakarta, LBH Ikadin DIY, Pusham UII, PKBH UMY, dan BKBH UMS.

Koordinator TPK Trisno Raharjo menyebutkan pihak keluarga melaporkan tiga hal dugaan tindak pidana dalam kasus Siyono. Pertama, laporan dugaan penganiayaan (pembunuhan) yang dilakukan anggota Densus, tidak hanya terbatas pada dua anggota Densus yang diperiksa Komisi Etik dan Profesi yang saat ini sedang mengajukan banding, tetapi semua yang terlibat.

Kedua, dugaan pidana menghalangi penegakan hukum dan proses otopsi yang dilakukan oleh dua orang Polwan, A dan L, yang memberikan dua gepok “uang damai” Rp 100 juta. Keduanya meminta Suratmi untuk mengikhlaskan kematian Siyono.

Ketiga, keluarga juga melaporkan dugaan pemberian keterangan palsu mengenai sebab kematian Siyono yang dilakukan oleh dokter forensik kepolisian, dr AW, dalam formulir surat bertanggal 11 Maret.

“Pihak Polres baru menerima satu laporan, yaitu tentang dugaan penganiayaan (pembunuhan), sementara dua lainnya sedang didalami. Kami menghormati proses ini, dan akan kami kawal terus,” kata Trisno.

Sebelumnya, keluarga Siyono melalui TPK sudah mengirimkan surat kepada Kapolri agar polisi menyelesaikan kasus Siyono lewat jalur hukum pidana, namun tidak pernah ditanggapi.

“Kami meminta semua yang terlibat untuk diperiksa, tidak hanya dua anggota yang sekarang sedang banding, tetapi semua, termasuk yang memberi perintah,” ujar Trisno.

Pelaporan ini, lanjut dia, bukan hanya untuk mencari siapa yang bersalah dan dihukum, tetapi lebih jauh untuk melihat apakah proses hukum bisa ditegakkan secara adil. Karena, jika kasus ini hanya berhenti pada pemberian sanksi mutasi dan permintaan maaf kepada kepolisian, maka justru terkesan polisi melindungi anggotanya.

Suratmi mengatakan bahwa dirinya dan keluarga menyerahkan sepenuhnya kasus kematian suaminya pada proses hukum. Ia berharap suaminya memperoleh keadilan.

Sehari sebelumnya, Kapolres Klaten AKBP Faizal mempersilakan keluarga Siyono untuk melayangkan laporan ke Polres Klaten. Ia menjamin SPK akan tetap buka selama 24 jam termasuk hari Minggu dan siap melayani mereka dan tim hukumnya.

Secara terpisah, The Islamic Study and Action Center (ISAC) menilai hukuman untuk kedua anggota Densus itu jauh dari rasa keadilan. Mereka mendesak Kapolri untuk  melimpahkan kasus meninggalnya Siyono ke Bareskrim dan menjeratnya dengan pidana umum.

Permintaan maaf, selain mutasi, dianggap tidak cukup sebagai hukuman anggota Densus yang terlibat penganiayaan. Karena, jika sanksinya seringan ini maka dikhawatirkan akan ada lagi korban seperti Siyono di kemudian hari yang mati sebelum diadili.

“Kalau Kapolri tidak tegas, dan tidak memproses pidana, maka ada kesan melindungi anggotanya. Penganiayaan dan pembunuhan adalah delik umum, bukan delik aduan,” kata Sekretaris ISAC Endro Sudarsono.

Siyono ditangkap ketika keluar dari masjid di samping rumahnya pada 9 Maret petang. Keluarganya mengaku ia dalam keadaan sehat. Dua hari kemudian, Siyono dilaporkan meninggal pada saat pemeriksaan, dan dipulangkan ke rumahnya pada 13 Maret untuk dimakamkan.

Mabes Polri mengeluarkan pernyataan bahwa meninggalnya Siyono akibat kelelahan setelah ia berkelahi melawan petugas di dalam mobil saat pencarian gudang senjata api yang diduga hanya diketahui Siyono. Polri mengaku ada kesalahan prosedur pengawalan – tahanan hanya dijaga satu orang anggota Densus dan tangan tanpa diborgol – yang menyebabkan terjadinya perlawanan oleh tahanan.

Namun, pihak keluarga yang mendapati sejumlah luka pada tubuh Siyono menaruh curiga bahwa kematian Siyono tidak seperti yang disampaikan Mabes Polri. Istri Siyono menemui  Komisi Nasional Hak Asai Manusia (Komnas HAM) dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk meminta bantuan hukum pengusutan terhadap kematian suaminya yang diduga tidak wajar.

Melalui bantuan tim dokter forensik dari Muhammadiyah, Komnas HAM membongkar kembali makam Siyono pada 3 April dan melakukan otopsi untuk mencari benang merah penyebab kematiannya. Sepekan kemudian, Komnas HAM mengumumkan bahwa kematian Siyono tidak seperti yang disampaikan Mabes – karena benturan benda tumpul di kepala.

Tim dokter yang dipimpin oleh dr Gatot Suharto, SpF dari Universitas Diponegoro menemukan sejumlah tulang rusuk, terutama bagian kiri, dan tulang dada yang patah dan menyebabkan kerusakan jaringan jantung. Mereka mengidentifikasi ini sebagai penyebab kematian Siyono.

Meski demikian, Polri menolak hasil otopsi independen yang dilakukan Komnas HAM dan tetap berpegang pada keterangan forensik dari kepolisian bahwa Siyono meninggal akibat benturan di kepala yang berakibat pendarahan. – Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!