Pemblokiran game bukanlah solusi

Shesar Andriawan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pemblokiran game bukanlah solusi
Indonesia butuh kesadaran sistem ‘rating game’, bukan sekadar pemblokiran

“Kalau gitu, sih, sama saja ada kejadian anak kecil kecelakaan naik motor, lalu ada peraturan semua orang enggak boleh naik motor,” salah seorang teman berkomentar di Facebook.

Objek yang dikomentari adalah rencana Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memblokir 15 game online. Dalihnya, ke-15 game itu punya pengaruh buruk pada anak-anak. 

Salah satu yang kena batunya adalah Grand Theft Auto (GTA). Saya sepakat. Mereka yang pernah memainkan game kreasi Rockstar itu pun seharusnya sependapat.

Sepuluh tahun ke belakang, saya biasa mendapati celetukan begini:

Halah mainnya GTA, game anak kecil!”

Dengan gameplay sandbox — pemain bebas melakukan apa saja, tak terikat misi — tidak salah jika beberapa orang dewasa berceletuk begitu. Game dengan tujuan jelas (dan mengikat) seperti Medal of Honor, Call of Duty, maupun Dragon Quest bagi mereka lebih “dewasa”. GTA? Kamu bebas ngalor ngidul tanpa tujuan yang jelas.

Mengemudi ugal-ugalan di jalan, menabrakkan panser ke mobil polisi, memakai sejenis Hummer untuk melindas pejalan kaki, menepi guna bernegosiasi dengan penjaja kenikmatan kelamin. Itu beberapa saja aksi yang bisa dilakukan di GTA

KPAI benar, elemen-elemen tadi sungguh bahaya jika dikonsumsi anak-anak yang bahkan belum mengenal rumitnya aljabar.

Merupakan hal yang layak membikin siapapun mengelus dada. Bukan cuma perkara GTA dimainkan anak-anak, melainkan persepsi GTA itu game anak-anak. Persepsi barusan tak lain dari cerminan betapa tidak sadarnya masyarakat mengenai sistem rating game

Dipikirnya game sama dengan mainan anak-anak. Kesalahan yang tingkat fatalnya sederajat saja di bawah gagalnya sepakan penalti Roberto Baggio di final Piala Dunia 1994.

Belakangan ini saya merasa senang sekaligus bangga terhadap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bukan karena pendidikan kita sudah bagus (tidak, menurut saya pekerjaan rumah bidang ini masih beberapa tumpuk), tapi karena sadarnya mereka terhadap kecocokan game dengan usia. Tambah lagi, kala instansi tersebut menerbitkan poster berisi sistem rating game Entertainment Software Rating Board (ESRB).

Dalam ilmu pemasaran, perkara kesadaran adalah fondasi. Mana ada orang yang membeli produk X jika ia tak tahu produk X ada. Maka tak usah heran ketika para pengusaha pemula membayar mahal ikut pameran, bukan untuk cari untung melainkan untuk urusan brand awareness saja.

Kesadaran inilah yang perlu dimiliki, di urutan paling pertama. Karena dengan mengetahui eksistensi sistem rating game, maka duduk persoalan pemblokiran game bisa lebih adem dan enak diobrolkan.

Seperti yang sudah diinformasikan Kemdikbud, game yang beredar memiliki rating mulai dari:

  • E (everyone alias semua umur)
  • T (teen alias remaja)
  • A (adult alias dewasa)

Berdasarkan pengalaman, sistem buatan ESRB yang berasal dari Amerika Serikat itu sudah cukup universal. Artinya, sistem tersebut bisa diterima budaya negara lain, tak terkecuali Indonesia.

Demi kesesuaian budaya dan norma, Eropa membuat sendiri sistem rating bernama Pan European Gaming Information (PEGI). Jepang selaku raksasa game tentu punya, namanya Comptuter Entertainment Rating Organization (CERO). Korea Selatan memiliki Game Rating Board (GRB), Australia dengan Classification Board (CB), dan banyak lagi dari negara lain.

Indonesia bukan tak punya. Semasa terbitnya (kini sudah tutup cetak), majalah HotGame pernah membuat sistem sendiri. Namun itulah persoalannya, sistem itu buatan HotGame, bukan seluruh pemangku kepentingan industri game (jika sudah layak disebut industri) Indonesia.

Agak kejauhan membicarakan dibuatnya sistem rating game Indonesia. Sekali lagi, yang perlu dibangun adalah kesadaran. Dan edukasi adalah penajamnya. Pemblokiran hanya akan bersifat sementara, malah rawan penentangan.

Ingat kembali masa politik balas budi di Hindia Belanda. Sekelompok rakyat Indonesia akhirnya bisa mendapatkan pendidikan pada masa kolonialisme Belanda. Sekelompok rakyat terpilih tepatnya. Sekelompok rakyat dari kalangan priyayi lebih tepatnya lagi.

Raden Ajeng Kartini dan Raden Mas Panji Sosrokartono adalah anak Bupati Jepara. Tirto Adhi Soerjo — pendiri koran asli pribumi pertama di Hindia, Medan Prijaji — berayah Bupati Blora. Tjokroaminoto — guru Soekarno, Semaoen, Tan Malaka, Kartosoewirjo, dan Musso sekaligus — pun berasal dari kalangan ningrat.

Kesamaan mereka adalah pendidikan menjadi pembuka kesadaran terhadap nasionalisme. Selanjutnya adalah sejarah.

Edukasi sistem rating game juga akan seperti itu. Ketika anak dan orangtua tahu bahwa GTA bukanlah permainan usia di bawah 18 tahun, maka ada sistem kontrol yang lebih baik dari sekedar pemblokiran. 

Orangtua akan mengingatkan si anak. Apakah ada kontrol yang lebih baik dari orang terdekat? Karena jika edukasi tersebut lancar, pengingat tidak saja datang dari orangtua tetapi juga lingkungan, semisal teman sebaya, kakak, bahkan orang asing.

Lebih dari itu, edukasi juga berarti komunikasi. Mengomunikasikan kenapa sebuah game sudah atau belum layak dimainkan, lebih bisa diterima seseorang daripada memblokirnya.

“Ayah, kenapa orang Islam tidak boleh makan babi?”

“Ya, pokoknya tidak boleh. Itu perintah Allah, Nak.”

Atau,

“Ayah, kenapa orang Islam tidak boleh makan babi?”

“Allah sudah melarangnya, Nak. Terlebih lagi, ada penelitian yang menyebutkan daging babi bisa menyebabkan penyakit A, B, C, dan D. Kamu enggak mau sakit, kan?”

Pilihan ada pada kita.

Kasus anak SD banting-bantingan akibat meniru tayangan dan permainan Smackdown terjadi karena andil orangtua. Andil minimnya kesadaran orangtua bahwa Smackdown belum layak tonton dan layak main oleh anak mereka.

Memblokir tentu satu solusi. Namun apakah adil memblokirnya jika ada pria 26 tahun menyukai tayangan dan permainan itu? Dan usianya sudah lebih dari cukup.

Lagipula, bagaimana cara KPAI memblokir game yang beredar offline dan di toko aplikasi? Terkhusus toko aplikasi, orangtua sebagai pihak terdekat saja kewalahan mengawasi, bagaimana yang jauh?

Mana yang lebih baik, melarang ada motor di jalanan karena ada seorang anak SD kecelakaan saat mengendarainya, atau menumbuhkan kesadaran semua pihak, juga membuat budaya saling mengingatkan agar anak SD tidak diperbolehkan berkendara motor?

Pilihan ada pada kita. —Rappler.com

Shesar Andriawan adalah mantan jurnalis yang kini menjadi abdi negara di bidang pariwisata.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!