Munaslub Golkar: Pertarungan dua kubu besar meraih kursi ketua

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Munaslub Golkar: Pertarungan dua kubu besar meraih kursi ketua

ANTARA FOTO

Dua kubu besar tersebut didukung orang kuat yang kini duduk di pemerintahan. Siapa yang akan terpilih?

JAKARTA, Indonesia – Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar dijadwalkan memasuki tahap akhir pada Minggu malam, 16 Mei. Setelah melalui rapat paripurna dan komisi, peserta Munaslub akan memilih 1 ketua dari 8 kandidat yang ada.

Kedelapan kandidat ketua umum yang maju yakni Ade “Akom” Komaruddin, Setya “Setnov” Novanto, Airlangga Hartato, Mahyuddin, Priyo Budi Santoso, Azis Syamsuddin, Indra Bambang Utoyo dan Syahrul Yasin Limpo. Manuver-manuver politik sudah mulai terasa sejak hari Minggu, 15 Mei kemarin.

Dari 8 kandidat, diprediksi ada dua kubu besar yang akan mendominasi pemilihan ketua umum pada malam ini. Dua kandidat yang diunggulkan yaitu Setya Novanto dengan nomor urut dua dan Ade Komarudin di nomor urut satu. Lalu, siapa yang lebih unggul di antara keduanya?

Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya mengatakan saat ini Setnov sedang berada di atas angin.

“Karena ada isu di mana DPD I lebih berpihak kepada Setnov, kemudian dia juga mendapat restu dari Aburizal Bakrie dan dekat dengan orang Istana dalam hal ini Luhut Panjaitan yang turun langsung memantau Munaslub,” tutur pria yang akrab disapa Toto itu ketika dihubungi Rappler melalui telepon pada Senin, 16 Mei.

Dia menjelaskan, unggulnya dua kubu tersebut bukan sesuatu yang mengejutkan. Karena Golkar merupakan partai politik yang memiliki genetik kekuasaan. Artinya, mereka yang dekat dengan kekuasaan lah yang bisa mencapai di pucuk kepemimpinan.

“Itu yang menjelaskan mengapa Jusuf Kalla dulu memenangkan pemilihan ketua umum di tahun 2005 dan Aburizal Bakrie di tahun 2009 lalu,” ujar Yunarto.

Sementara, Setnov selain memiliki kedekatan dengan pihak Istana, juga sempat menjadi Ketua DPR selama satu tahun. Saat ini, dia juga menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar di DPR.

Di lain pihak, Akom masih menjabat sebagai Ketua DPR dan dekat dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

“Ini merupakan dua modal yang sulit dilawan oleh kandidat lain. Tidak ada lagi yang bisa mengalahkan hal itu,” kata Yunarto.

Bahkan, jelang pemilihan ketua umum, keduanya saling lempar sindiran di media massa. Luhut yang mengatasnamakan Presiden Jokowi menyindir Akom yang tidak bisa menjadi Ketua Umum Golkar karena merangkap jabatan.

“Sementara, di kubu Akom, tim sukses mereka selalu menyindir Luhut atau Setnov yang kerap mencatut nama Presiden untuk kepentingan mereka pribadi. Yang lebih menarik, hal tersebut justru dijustifikasi oleh Jokowi melalui pidato pembukaan Munaslub,” kata dia.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu kemudian merespons secara simbolis, kata Yunarto, dengan tidak ingin terlibat dalam proses tarik-menarik kepentingan tersebut.

“Dia memilih untuk berangkat ke luar negeri dan memindahkan jadwal keberangkatan yang semula hari Minggu menjadi hari Sabtu malam,” katanya.

Apakah ini artinya Jokowi membiarkan kedua kubu tersebut “bertarung”? Yunarto menepis hal itu. Menurutnya, Jokowi hanya ingin menunjukkan dia tidak ingin berpihak ke salah satu kubu.

Apabila Jokowi menegur JK atau Luhut karena ikut dalam pertarungan itu, kata Yunarto, justru Jokowi melakukan intervensi. Bahkan, berpotensi menyebabkannya dimusuhi oleh salah satu kubu.

“Stabilitas politik ujung-ujungnya malah menjadi pecah, karena hal tersebut,” kata dia.

Tetapi, Yunarto melanjutkan, Jokowi perlu menegur Luhut karena telah mencatut namanya dalam Munaslub Golkar. Kalimat Luhut yang menyebut Presiden tidak suka adanya pejabat parpol yang merangkap jabatan di parlemen, seolah membuat mantan Wali Kota Solo itu tidak paham tata krama hubungan legislatif dengan eksekutif.

“Jika kepala eksekutif mengomentari hubungan di wilayah legislatif, maka itu sama saja seperti meminta Ketua MPR mengundurkan diri dari posisinya saat ini karena dia juga petinggi PAN,” kata dia.

Jika dibiarkan, hal itu bisa berbahaya dan bisa menjadi contoh sangat buruk bagi kader politik di kabinet. Sebab, siapa pun yang menjadi kader artinya bisa mengatasnamakan Jokowi dalam peristiwa partai.

Kuda hitam

Tetapi, tidak ada yang pasti dalam politik. Begitu pula pemilihan ketua umum Golkar. Walaupun, proses tersebut didominasi dua kubu, tetapi Yunarto menilai kejutan bisa saja terjadi.

Ada dua kandidat menurut Yunarto yang bisa jadi kuda hitam. Mereka adalah Airlangga Hartarto dan Syahrul Yasin Limpo.

“Airlangga dinilai punya citra yang cukup baik, tidak pernah bermasalah secara integritas dan mewakili tokoh muda. Dia juga bisa dikatakan diterima semua golongan. Sedangkan, Syahrul memiliki basis suara yang tinggi di Indonesia timur,” tuturnya menjelaskan.

Yunarto mengatakan perpecahan juga berpotensi kembali dalam Munaslub Golkar, jika ada upaya pemaksaan agar sistem pemungutan suara dilakukan secara terbuka.

“Jika itu yang terjadi, maka perpecahan sudah dimulai dari situ. Berkaca dari perpecahan kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, semua berpangkal dari adanya pemaksaan sistem voting terbuka atau aklamasi,” kata dia.

Peserta Munaslub memang telah menyepakati tata tertib pemungutan suara dilakukan secara tertutup pada Minggu malam, 15 Mei. Tetapi, hal tersebut belum dapat dipastikan, hingga tatib disahkan pada malam ini.

Konsolidasi partai yang utama

Yunarto juga menilai janji yang ditawarkan oleh ke-8 kandidat ketua umum terlalu muluk. Yang paling penting, kata dia, bagaimana membawa Partai Golkar nantinya agar menjadi parpol yang bersatu dan tidak kembali pecah.

“Jadi konsolidasi partai perlu segera dilakukan oleh ketua umum Partai Golkar terpilih nanti. Dengan demikian perolehan suara partai bisa kembali naik,” tuturnya. – Rappler.com

BACA JUGA: 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!