Mengapa saya buka suara tentang pelecehan seksual yang pernah terjadi

Yohannie Linggasari

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa saya buka suara tentang pelecehan seksual yang pernah terjadi
‘Pelecehan seksual adalah makanan sehari-hari perempuan Indonesia.’

‘Pelecehan seksual adalah makanan sehari-hari perempuan Indonesia.’

Bila Anda merupakan perempuan yang tinggal di Indonesia, Anda pasti sepakat dengan pernyataan di atas. Hidup di negeri ini sebagai perempuan, pelecehan seksual (yang merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual) bukanlah hal yang asing. 

Saya pernah mengalaminya. Ibu saya pernah mengalaminya. Dan semua teman-teman perempuan saya pun pernah mengalaminya. Yang bahkan, dalam beberapa kasus, pelecehan seksual terhadap teman saya terjadi tepat di depan mata saya, dan pelakunya pun adalah teman laki-laki saya sendiri. Mengejutkan? Mungkin tidak bagi para perempuan Indonesia.

Coba tanyakan ini kepada para perempuan Indonesia, adakah yang tidak pernah sekalipun mendapatkan siulan atau sapaan bernada seksual ketika sedang berjalan di tempat umum? Adakah yang tidak pernah mendapatkan tatapan tidak pantas dari para lelaki ketika kamu sedang di transportasi publik atau duduk seorang diri di tempat umum?

Saya yakin, hampir semua perempuan yang hidup di negeri ini pernah mengalaminya. Kami, perempuan Indonesia, begitu terbiasa mengalaminya hingga akhirnya hal itu terus berjalan dari waktu ke waktu, tahun ke tahun, seperti sebuah kewajaran. Dari yang awalnya marah dan bereaksi keras atas siulan yang mengganggu, hingga capek dan memilih diam.

Rasa-rasanya kita sama-sama tahu bahwa tidak perlu survei untuk meyakinkan bahwa kekerasan seksual terjadi secara massive di Indonesia. Namun, sebagai gambaran, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2015 mengatakan bahwa di Indonesia, tiap dua jam, sebanyak tiga perempuan mengalami kekerasan seksual. Atau dengan kata lain, tiap hari ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual.

Lalu, apa itu kekerasan seksual? Komnas Perempuan telah merangkum definisi kekerasan seksual sebagai:

“Setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perempasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi.”

Ada 15 bentuk kekerasan seksual yang telah dikategorikan oleh Komnas Perempuan,di antaranya :

  1. Pemerkosaan
  2. Intimidasi seksual (termasuk ancaman atau percobaan perkosaan)
  3. Pelecehan seksual
  4. Eksploitasi seksual
  5. Perdagangan manusia untuk tujuan seksual
  6. Prostitusi paksa
  7. Perbudakan seksual
  8. Pemaksaan perkawinan
  9. Pemaksaan kehamilan
  10. Pemaksaan aborsi
  11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi
  12. Penyiksaan seksual
  13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
  14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan
  15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama

Saya akan fokus membahas pelecehan seksual karena ini yang pernah saya alami. Dalam banyak kasus pelecehan seksual, perempuan kerap memilih diam, karena pada dasarnya masih ada anggapan bahwa perempuanlah yang memancing laki-laki melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya, baik itu menyalahkan cara berpakaian maupun cara berperilaku si perempuan.

Perempuan terpaksa bungkam, entah karena mengilhami bahwa dirinya yang bersalah atau karena takut terkena tudingan dan penghakiman dari masyarakat. Pernah ketika saya bercerita kepada kawan saya (baik itu laki-laki maupun perempuan) soal pelecehan seksual yang saya alami, muncul pertanyaan, “Emangnya waktu itu lo pake apa, sih?”

Nyatanya saya waktu itu memakai baju yang sangat tertutup, kaus lengkap dengan cardigan serta bawahan berupa celana jeans, di bawah terik matahari tropis. Lalu, apalagi yang mau disalahkan? Wajah saya yang terbilang oriental sehingga menarik perhatian? Atau cara berjalan saya yang sebenarnya cukup tomboi?

Toh, nyatanya, teman saya yang berjilbab dan berpakaian muslimah pun menjadi korban pelecehan seksual. Jadi, tudingan yang menyalahkan baju dan cara berperilaku perempuan sesungguhnya sangat tidak masuk akal. Kita harus sadar bahwa yang harus berubah dan disalahkan adalah sisi pelakunya, bukan sisi perempuan yang jelas-jelas merupakan korban.

Perempuan Indonesia alami pelecehan seksual sejak dini

Aksi solidaritas untuk korban pemerkosaan YY di Bandung. Foto oleh Gisella Tani Pratiwi/Facebook

Berkaca dari pengalaman saya, saya bisa katakan perempuan di Indonesia harus menghadapi bahaya kekerasan seksual sejak usia dini. Saya masih ingat ketika saya dan kawan saya bertemu dengan seorang exhibitionist saat tengah berjalan ke sekolah di siang bolong. Saya dan teman saya kala itu masih berseragam putih-biru, masih polos dan tidak mengerti apa itu exhibitionist dan masturbasi. 

Singkat kata, di gang yang cukup sepi itu, si exhibitionist menghentikan kami dan meminta kertas kepada saya. Ya, tentu saja saya punya kertas karena saya adalah siswa sekolah. Ketika saya hendak memberikan kertas yang baru saja saya ambil dari tas saya, saya sudah melihat pemandangan menjijikkan berupa aksi exhibition yang sangat melecehkan tersebut. 

Di depan kami, siswa SMP berusia 14 tahun itu, ia bermasturbasi. Lalu dengan santainya, dia berkata, “Tolong buatkan kerucut dengan kertas itu, Dek.” Sontak, saya dan teman saya langsung berlari menuju sekolah kami yang jaraknya hanya sekitar 500 meter dari situ. 

Bayangkan, anak 14 tahun sudah mengalami hal yang seperti itu! Itu bukanlah kejadian yang bisa begitu saja dilupakan. Beberapa hari setelah kejadian itu, saya sempat takut pergi ke sekolah. Dan kenyataan bahwa seorang exhibitionist berkeliaran tak jauh dari sekolah bukanlah hal yang bisa dianggap sepele.

Di lain waktu, ketika sedang berjalan pulang sekolah dengan teman saya dan hendak menyeberang, seorang pria bermotor tiba-tiba memelankan motornya dan memeras payudara kawan saya. Lalu dengan pengecutnya ia pergi begitu saja. Lagi-lagi, hal itu terjadi saat saya dan kawan saya masih duduk di bangku SMP. Dan orang di sekeliling kami bersikap seolah tidak terjadi apa-apa di tengah kekagetan kami.

”Komnas Perempuan mengatakan tiap 2 jam, sebanyak tiga perempuan mengalami kekerasan seksual di Indonesia.”

Beranjak dewasa, dunia tidak tampak lebih aman bagi saya. Pernah suatu kali, ketika pulang kerja sekitar pukul 22:00 WIB, saya diikuti pria yang tidak saya kenal ketika baru saja turun dari TransJakarta. Bahkan ketika saya naik ojek, dia pun masih mengikuti. Hal itu menyebabkan saya ketakutan berhari-hari pulang kerja di malam hari.

Bukankah ironis, kini saya yang tinggal di negeri asing seorang diri, justru merasa lebih aman berjalan kaki sendiri pukul 12 malam, daripada saya berjalan sendiri di Jakarta, kota kelahiran saya, pada pukul 10 malam, atau siang bolong di gang yang sepi? Di negeri yang terbilang asing bagi saya ini, saya juga merasa secure meskipun harus berdesakan dengan para laki-laki di kereta. 

Semua kejadian pelecehan seksual yang saya alami bukan untuk dibanggakan atau untuk mendapat rasa kasihan. Toh tidak perlu ada yang dibanggakan dan yang perlu dikasihani sesungguhnya adalah para pelaku. 

Namun, saya menulis topik ini karena saya merasa hal ini sangat perlu dibicarakan dan didiskusikan, bukan hanya untuk menunjukkan solidaritas terhadap para perempuan korban pelecehan seksual, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa kekerasan seksual itu tidak dapat dibenarkan dan tidak boleh menjadi wajar.

Yang cukup menyedihkan, banyak catcaller yang saya hadapi justru merupakan bocah berseragam sekolah. Bagi saya, ini merupakan satu tanda bahwa generasi muda kita tidak punya pengetahuan yang cukup bahwa apa yang mereka lakukan salah dan melecehkan. Bisa ditebak bahwa mereka tidak mendapatkan edukasi seks yang memadai.

Kasus pemerkosaan terhadap YY, siswi 14 tahun di Bengkulu yang diperkosa 14 orang pria, seharusnya menjadi tamparan besar bagi pemerintah bahwa edukasi seks mutlak diperlukan di sekolah. 

Edukasi seks bukan hanya mengajarkan soal reproduksi, penerimaan diri, perkembangan tubuh, seks yang aman dan disetujui kedua belah pihak, tetapi juga mengajarkan bahwa kedua gender harus saling menghormati. Sayangnya, masih banyak politisi di Senayan sana yang berpikir bahwa edukasi seks menjerumuskan anak ke seks bebas.

Seharusnya, kasus pemerkosaan YY membuka mata pemerintah bahwa kekerasan seksual, baik terhadap perempuan maupun laki-laki, sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Pemerintah harus menunjukkan tindakan konkret agar kekerasan seksual tidak terjadi lagi. 

Namun, pertama-tama, kita para perempuan (juga laki-laki), harus mulai buka suara agar semua orang sadar bahwa pelecehan seksual yang selama ini terjadi tidak bisa dianggap wajar (lagi).  Perempuan punya hak untuk berjalan sendiri di tempat umum tanpa risiko digoda atau diperkosa. Mari bicara. —Rappler.com

Yohannie Linggasari adalah eks jurnalis ibu kota yang tertarik akan isu-isu gender dan feminisme. Kini bekerja “nine-to-six” di Singapura namun tetap menulis di waktu senggangnya.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!