Sastra kekinian: Ketiadaan cinta dan gawat darurat jomblo

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sastra kekinian: Ketiadaan cinta dan gawat darurat jomblo
Memperingati Hari Buku Nasional, penulis mengamati sastra zaman sekarang yang topiknya makin mengerucut pada satu titik: Cinta

Setelah menonton film dokumenter Rayuan Pulau Palsu di Goethe Institute, Jakarta, beberapa malam lalu, saya dan seorang teman menyambangi satu restoran prasmanan di pinggir Stasiun Gondangdia.

Awalnya, kami membahas tentang reklamasi Teluk Jakarta dan kepesimisan kalau proyek yang bising ini akan benar-benar berhenti.

Entah mengapa, obrolan kami tiba-tiba berbelok ke arah sastra.

“Lo suka Puthut EA, ya?”

“Iya, gue suka. Menurut gue dia salah satu cerpenis bagus saat ini.”

Raut teman saya berubah. Dengan berhati-hati ia mengatakan kalau Puthut EA, menurut salah seorang kawannya, terlalu “nge-pop”. Maksudnya, karya pendiri Mojok.co ini, terlalu mengikuti selera pasar kini.

Saya merengut. Mungkin karena kumpulan cerpen Puthut yang saya baca pertama adalah Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali, istilah “nge-pop” itu kurang signifikan. Tema besar buku itu adalah mereka yang terasingkan, atau teropresi oleh pemerintah — dari penyintas 1965 hingga korban rezim Orde Baru.

Buku ini meninggalkan kesan yang begitu kuat hingga saya bisa menoleransi kumpulan cerpen Sarapan Pagi Penuh Dusta yang ternyata kurang sesuai dengan selera saya. Untuk buku yang kedua ini, saya akui memang Puthut jadi lebih “nge-pop”.

Selanjutnya kami membahas cerpenis andal lainnya, seperti Y. B. Mangunwijaya; hingga topik mencapai cerpen Kompas yang semakin “begitu.” Menurut Lusi, kawan saya itu, mayoritas cerpen di media terbesar se-Indonesia itu mulai mengerucut pada satu tema besar: Cinta.

“Jadi ngikutin selera pasar,” kata dia. Dia benar. Saya sudah mengikuti cerpen Kompas sejak pertama mengenalnya waktu SMP. Cerita pertama yang saya kenal adalah Gerobak.

Saking terkesannya, setelah itu saya rajin menyambangi perpustakaan untuk mencari kumpulan cerpen Kompas lainnya. Saya berjumpa dengan Petrus dan Pelajaran Mengarang yang sangat mengagumkan. Juga terus mengikuti karya terbaru setiap edisi Minggu; bahkan meluas hingga halaman puisinya.

Tapi, belakangan cerpen-cerpen Kompas tak lagi membuat saya puas. Lusi benar. Ada pergeseran substansi dan tema yang ujung-ujungnya memang mengarah pada cinta. Ragamnya banyak, tetapi intinya satu: Asmara.

Kekuatan cerpen Kompas, menurut saya, karena menyoroti isu-isu sosial masyarakat Indonesia. Seperti meningkatnya jumlah pendatang pasca Lebaran, kisah eksil, kebudayaan yang terancam punah, dan lain-lain.

Kolumnis Arman Dhani mengatakan kalau ada cerpen jiplakan Rashomon karya Ryunosuke Akutagawa yang entah mengapa bisa lolos terbit. (Seingat saya itu edisi tahun lalu dengan judul Gerbang?)

Meski demikian, saya kurang setuju dengan Lusi. “Menurut gue, bukan ngikutin selera pasar. Tapi emang masyarakat sekarang lagi krisis cinta saja,” kata saya.

Cerpen, novel, ataupun sastra secara umum adalah suatu cerminan kegelisahan pengarang atas sesuatu. Kalau dulu marak karya-karya berbau masalah sosial, karena hal tersebutlah yang sangat menggelitik sanubari sastrawan pada zamannya. Maka lahirlah Para Priyayi, Bumi Manusia, Ronggeng Dukuh Paruk, Robohnya Surau Kami, dan ratusan karya lainnya.

Kalau belajar sejarah sastra, tentu kita tahu setiap sastrawan terbagi menjadi beberapa angkatan. Seperti angkatan Balai Pustaka, Angkatan ’45, Angkatan ’66, dan setelahnya. Semua punya ciri khas mengangkat isu sosial pada zamannya.

Ada masalah yang ingin ditonjolkan. Ada masyarakat yang harus dibuka matanya. Saya ingat pada perhelatan ASEAN Literary Festival, ada seorang narasumber yang mengatakan kalau sastra harus bisa membangkitkan empati. Menggelitik perasaan. Menceritakan yang tak terceritakan.

“Kalian (penulis) harus bercerita tentang para pengungsi. Terpidana hukuman mati. Mereka yang tak bisa bersuara. Buat supaya masyarakat tahu bagaimana cerita mereka,” kata dia.

Para sastrawan, Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam, dan lain-lain menjalankan fungsi tersebut dengan baik.

Sekarang? Sedikit sekali. Seperti Okky Madasari dengan Pasung Jiwa, Eka Kurniawan dengan novel-novel proletarnya. Redaktur senior Rappler, Abdul Qowi Bastian, menambahkan juga beberapa judul seperti Raden Mandasia dan satu karya Zen Rs. Tapi sisanya?

Ada satu kutipan menarik yang terlontar dalam diskusi A Nation that Doesn’t Read beberapa pekan lalu di ALF: “Buku yang laku di Indonesia itu cuma tiga: buku rohani, how to, dan chick lit.”

Apakah itu hal yang buruk? Menurut saya tidak juga. Hanya mencerminkan apa yang menjadi kegelisahan masyarakat saat ini.

Saya tak mau mengkritik lakunya buku rohani karena nanti berakhir blasphemy (saya menolak konsep agama); buku how to karena masyarakat Indonesia memang suka yang instan; dan chick lit tentu karena fokusnya cinta.

Masalah sosial, ketidakadilan, hingga opresi tak lagi menjadi bensin bagi penulis untuk melahirkan karya. Apalagi sesuatu yang menarik perhatian masyarakat. Kalaupun ada, ya itu karena latah saja.

Seperti saat novel bertemakan 1965 menang penghargaan, langsung muncul gelombang buku lain bertema sama. Tapi setelah itu surut. Sementara novel cinta tak lekang oleh waktu justru makin ke sini makin membanjir di toko buku umum.

Itulah ciri khas dan isu genting bagi pengarang angkatan milenial: ketiadaan cinta dan gawat darurat jomblo.

Mungkin masyarakat kita, yang sudah tak lagi merasakan cinta antar sesama, memang butuh sastra bertemakan hal itu untuk kembali menghadirkannya. Sama halnya dengan duit instan lewat buku how to. Atau pembenaran diri lewat buku rohani (lol).

Tapi ini cuma analisa sotoy saja saya loh ya. —Rappler.com

Ursula Florene adalah reporter multimedia Rappler Indonesia. Ia dapat diajak ngobrol di Twitter @Kuchuls

BACA JUGA:

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!