Nasib anak pemburu babi di Aceh Singkil

Woro Wahyuningtyas

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Nasib anak pemburu babi di Aceh Singkil
'Mungkin kalau setelah upaya banding dan tidak ada keadilan, kami akan ikut hidup di penjara saja'

Minggu, 9 Mei 2016. Usai mengikuti ibadah di GKPPD Kuta Kerangan Aceh Singkil, saya bersama kawan-kawan dari Posko Kemanusiaan Lintas Iman bergegas ke Dangguran, sebuah desa dengan jalanan yang rusak. Jalanan menuju kampung memang tidak terlalu jauh, saya perkirakan kurang dari 2 km. 

Dalam perjalanan, Pagu Manik, Lurah Desa Dangguran yang mengantarkan kami, mengajak kami berhenti. Beliau menjelaskan tempat terjadi bentrokan yang telah menghadirkan trauma mendalam dalam diri warga pada beberapa waktu lalu. 

Di jalanan tempat kami berhenti penuh dengan pepohonan kelapa sawit di kanan dan kirinya. Kami mencoba menyimak penjelasan beliau sambil memerhatikan lapangan dan lokasi di mana kami berada. Tidak banyak bercakap, karena kami hendak mengunjungi keluarga Hotmauli Natanael Tumangger alias Wahed bin STL. 

Sesampai di rumah sederhana itu, kami disambut oleh beberapa anak balita yang berhamburan dari dalam rumah tersebut. Mereka saling berpandangan sambil sesekali mengamati kami satu per satu. Kami menyapanya dan segera masuk.

Di dalam rumah, ada bayi di gendongan seorang perempuan muda. Segera aku menjulurkan tangan meminta untuk menimangnya. Bayi tersebut terlihat sehat dan menggemaskan namun di kedua tangannya terdapat beberapa bintik kemerahan. 

Tidak berdaya karena miskin 

Di dalam rumah yang sangat sederhana tersebut ada istri Wahed, beserta empat anaknya yang masih balita. Juga orangtua Wahed dan Nurmawati. Kedua orangtua mereka membantu Nur mengasuh anak-anaknya sekaligus menemani Nur.

Sepeninggal Wahed karena ditangkap dan dituduh melakukan penembakan yang tidak pernah dilakukan, Nur tinggal di rumah tersebut. Sebelumnya, Nur dan keluarganya tinggal di desa Kuta Kerangan, Kecamatan Simpang Kajang, berjarak kurang lebih 5 km dari rumah yang saat ini mereka tinggali. 

Rumah yang mereka tempati ini bukanlah miliknya. Sudah 3 bulan mereka menempati rumah atas kemurahan hati pemiliknya. Dan selama itu pula, belum ada pembicaraan menyangkut sewa rumah tersebut. Nur bertutur bahwa pembicaraan terkait sewa rumah belum dilakukan karena mereka berharap Wahed bebas dari semua tuntutan yang disangkakan kepadanya. 

Harapan mereka pupus karena pada 18 April 2016 lalu, ketika Wahed divonis selama 6 tahun penjara, angka yang sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum. Nur bersama keluarganya memang belum memiliki rencana apapun dalam waktu dekat. Untuk tetap bisa menempati rumah tersebut dia sudah cukup bersyukur. 

Yoel, Hose, Zepa, dan Justi adalah nama dari keempat anak Wahed dan Nur. Yoel, si sulung, saat ini berumur 6 tahun dan tahun ajaran baru ini akan masuk SD. Sementara Hose yang berumur 5 tahun akan masuk TK. Nur belum bisa mengatakan, ke mana anak-anak tersebut akan bersekolah dan dari mana biayanya. 

Saya dapat memahaminya, karena selama ini Nur bergantung kepada Wahed yang bekerja sebagai pemburu babi hutan yang penghasilannya juga tidak tentu setiap hari. Ada tatapan pasrah dalam pandangannya yang sesekali mengalir cairan bening di sela-selanya. 

Saat ditanyakan adakah rencana ke depan untuk hidupnya dan anak-anaknya, Nur tidak mampu menjawab. Mukanya memerah dan matanya terlihat berkaca-kaca kembali. 

“Mungkin kalau setelah upaya banding dan tidak ada keadilan, kami akan ikut hidup di penjara saja”. 

Kalimat tersebut menyentakkan kami, terutama saya. Bagaimana dua orang balita dan satu bayi ini akan tinggal dalam sel tahanan nan sempit. Tetapi, itulah ketidakberdayaan Nur. 

Dalam kemiskinan yang dia hadapi, menggapai keadilan yang dia harapkan sangatlah tidak mudah. Dalam percakapan kami, dia berkali-kali dia mengucapkan terima kasih kepada tim hukum (pengacara) yang difasilitasi oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). 

Senyap sesaat waktu kami bercakap soal rencana hidup mereka ke depan. Saya tidak mampu membayangkan, jika Wahed tidak ada tim kuasa hukum, apa yang akan terjadi dengannya? 

Terancam terlantar 

Yoel Kristiawinata Tumangger (6 tahun), Hose Winana (5 tahun), Zepanya Dinata Tumangger (2 tahun), serta Justiable Putra Nata Tumangger (3 minggu) adalah anak-anak yang terancam terlantar hidupnya di masa depan.

Paling tidak 6 tahun berikutnya, jika didasarkan pada putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Singkil. Mereka adalah anak-anak yang sejatinya punya hak yang sama dengan anak-anak lain di bangsa ini. 

Justiable baru dibaptis beberapa pekan lalu, tanpa kehadiran Wahed, ayahnya. Pengadilan tidak memberikan izin kepada Wahed untuk hadir dalam momen sakral dan bersejarah bagi hidup mereka. 

Coba kita lihat dengan tahanan di tempat lain di Indonesia ini. Gayus Tambunan, terpidana 30 tahun kasus penggelapan pajak, di akhir tahun 2011, sebuah foto tersebar di media sosial Gayus sedang berada di luar penjara bersama penggemarnya. Tidak untuk urusan berobat atau hal penting lain bagi keluarganya. 

Kembali kepada nasib keempat anak Wahed. Di tengah putusan hukuman yang dirasa tidak adil ini, anak-anak dan istrinya harus berjuang untuk mempertahankan hidup mereka. Segala harapan akan keadilan disandarkan pada tim kuasa hukum yang tengah melakukan upaya hukum di tingkat banding. 

Karena keadilan bagi Wahed adalah masa depan keluarganya, anak-anak yang tidak pernah memahami konflik yang terjadi pada orang dewasa. Namun jika keadilan juga tidak bisa diperolehnya, maka keempat anak tersebut dapat dikategorikan sebagai anak terlantar. 

Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) diatur bahwa yang disebut anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. 

Pasal 53 UUPA ayat 1 menyebutkan pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.

Tanggung jawab anak terlantar juga menjadi tanggung jawab komunitas atas dorongan pemerintah, hal ini termaktub dalam pasal 53 ayat 2 Pertanggungjawaban Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula mendorong Masyarakat untuk berperan aktif. 

Dengan demikian, maka Yoel, Hose, Zepanya dan Justiable menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah selama Wahed masih ditahan. Jika banding tidak berhasil juga menyelesaikan persoalan ini, maka keempat anak Wahed menjadi bagian dari 4,1 juta anak terlantar di Indonesia.

Semoga saja dewi keadilan berpihak pada kebenaran yang sejati, sehingga membebaskan penderitaan Wahid dan Nur, serta keempat anaknya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!