20 Mei 1998: 14 menteri menolak gabung Kabinet Reformasi ala Soeharto

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

20 Mei 1998: 14 menteri menolak gabung Kabinet Reformasi ala Soeharto
Rencana membentuk Komite Reformasi pun terhalang. Sebagian besar yang ditawari menolak. Soeharto seolah mutung dan mempercepat ‘lengser keprabon’

JAKARTA, Indonesia — Letnan Kolonel TNI AU K. Inugroho, asisten Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Industri Ginandjar Kartasasmita, harus menembus penjagaan ketat di seputar Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, kediaman pribadi Presiden Soeharto.  

Hari sudah gelap, pada hari itu, 20 Mei 1998. 

“Saya mengontak ajudan yang kebetulan sesama Angkatan Udara, untuk menyerahkan surat yang ditandatangani 14 menteri Kabinet Pembangunan VII,” kata Inugroho kepada Rappler, Selasa, 17 Mei 2016, belasan tahun setelah awal runtuhnya Orde Baru.

Ajudan presiden berkoordinasi dengan komandan pasukan pengamanan presiden, lalu mengirim mobil menjemput Inugroho.   

Inugroho  yang purnawirawan bintang dua TNI AU itu kini aktif sebagai salah satu wakil ketua umum di pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Ia adalah saksi mata proses pembuatan surat yang menyatakan menolak untuk bergabung dengan Kabinet Reformasi, yang akan dibentuk Soeharto sesuai janji dalam jumpa pers sehari sebelumnya, 19 Mei 1998.  

Soeharto berharap dengan membentuk kabinet baru, tuntutan agar dia lengser melunak.

Begini bunyi surat itu:

Kepada Yth.

Bapak Presiden RI

Bersama ini dengan hormat kami laporkan bahwa setelah melakukan evaluasi terhadap situasi akhir-akhir ini, terutama di bidang ekonomi, kami berkesimpulan bahwa situasi ekonomi kita tidak akan bertahan lebih dari 1 (satu) minggu apabila tidak diambil langkah-langkah politik yang cepat dan tepat sesuai dengan aspirasi yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, khususnya mengenai reformasi di segala bidang, seperti antara lain yang direkomendasikan oleh DPR RI dengan pimpinan fraksi-fraksi pada Selasa, 19 Mei 1998.

Dalam hubungan ini, kami bersepakat bahwa langkah pembentukan kabinet baru sebagaimana yang Bapak rencanakan tidak akan menyelesaikan masalah.

Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati kami secara pribadi-pribadi menyatakan tidak bersedia diikutsertakan dalam susunan kabinet baru tersebut.

Sebagai anggota Kabinet Pembangunan VII kami akan tetap membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas yang Bapak emban dalam menyukseskan Catur Krida Kabinet Pembangunan VII.

Atas perhatian dan perkenan Bapak kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,

  • Akbar Tanjung
  • A.M. Hendropriyono
  • Ginandjar Kartasasmita
  • Giri Suseno
  • Haryanto Dhanutirto
  • Yustika Baharsyah
  • Kuntoro Mangkusubroto
  • Rachmadi Bambang Sumadhijo
  • Rahardi Ramelan
  • Subiakto Tjakrawerdaya
  • Sanyoto Sastrowardoyo
  • Sumahadi
  • Theo L. Sambuaga
  • Tanri Abeng 

Surat itu dibaca oleh Soeharto di kamarnya, sekitar pukul 20:00 WIB. Menurut Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursjid, Soeharto nampak terkejut. Pasalnya, sehari sebelumnya dia masih membahas rencana kabinet baru dengan menteri senior, termasuk siapa yang bakal masuk. 

Sebagian dari menteri yang menandatangani surat menolak duduk di kabinet reformasi, adalah menteri senior yang diandalkan presiden.

Sore hari datang pukulan baru. Dari 45 orang yang diminta duduk di Komite Reformasi, sebagian besar menolak bergabung.  

Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Industri Ginandjar Kartasasmita. Foto dari Wikimedia

Ginandjar Kartasasmita dalam buku Managing Indonesia’s Transformation: An Oral History, menceritakan bahwa pagi itu, sejumlah menteri berkumpul di rumah dinasnya di kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan. Di antaranya Akbar Tanjung, Hendropriyono, Kuntoro Mangkusubroto.  

Juga hadir pengusaha Arifin Panigoro dan Zainal Arifin. Arifin Panigoro secara terbuka mendukung gerakan mahasiswa. Rumahnya di kawasan Jenggala menjadi posko penting gerakan reformasi.

Penulis juga ada di kediaman Ginandjar, memonitor pertemuan. Saat itu kami mendiskusikan perkembangan situasi yang kian memburuk. Akbar Tanjung menyampaikan hasil pertemuan senior Himpunan Mahasiswa Indonesia malam sebelumnya di kediaman Malik Fadjar, tokoh Muhammadiyah.  Hasil pertemuan itu, Soeharto harus turun dari kekuasaan.

Pertemuan di rumah Ginandjar mendiskusikan ancaman bentrok antara mahasiswa dan kekuatan aparat. Hasrat mahasiswa dan pendukung gerakan reformasi untuk menurunkan Soeharto tak bisa lagi dibendung, bahkan dengan janji reshuffle kabinet dan pembentukan Komite Reformasi.  Sementara Soeharto merasa yakin ada pihak yang mendukungnya.

“JIka terjadi (bentrok) bisa jatuh korban dalam jumlah banyak, kerusakan ke sektor ekonomi tidak bisa dibayangkan, dana kan menyeret ke kerusuhan sosial,” kata Ginandjar.  

Bayangan Tiananmanen Square berdarah begitu kuat dalam diskusi itu.

“Saya lantas meminta menteri ekonomi berkumpul siang itu,” kata Ginandjar.  

Semua menteri ekonomi hadir, kecuali tiga orang: Menteri Lingkungan Hidup Juwono Sudarsono sedang dirawat di rumah sakit, Menteri Industri dan Perdagangan Bob Hasan yang mengatakan dia tidak bisa melewati barikade jalanan, dan Menteri Keuangan Fuad Bawazier yang tidak bisa dihubungi.  

“Kami paham posisi Bob Hasan dan Fuad Bawazier yang sangat dekat dengan Soeharto dan keluarganya,” ucap Ginandjar.

Para menteri menganalisa situasi ekonomi dan dampaknya kepada politik. Mereka memanggil Gubernur Bank Indonesia (BI) Syahril Sjabirin, yang menjelaskan bahwa kantor BI tutup dua hari karena pegawai tidak bisa mencapai kantor. Blokade di mana-mana.

“Menurut Gubernur BI, jika keadaan seperti itu berlanjut selama sepekan lagi, tanpa berfungsinya Bank Sentral, ekonomi collapse,” kata Ginandjar.

Setelah mendapatkan penjelasan itu, Ginadjar mengaku menyampaikan kepada koleganya, bahwa dia mendengar Presiden Soeharto akan membentuk Kabinet Reformasi.  

“Ada indikasi kuat bahwa saya akan masuk kembali dalam kabinet itu,” kata Ginandjar.  

Tapi dia akan menolak, karena kabinet baru tidak akan memberikan solusi atas situasi yang ada.  Sejumlah menteri yang hadir sepakat dengan pendapat Ginandjar.

Tidak semua yang hadir ikut menandatangani surat menolak menjadi bagian dari Kabinet Reformasi versi Soeharto.

Surat 14 menteri ini mempercepat keputusan Soeharto lengser keprabon keesokan harinya, 21 Mei 1998. Soeharto merasa kaget, dan marah, karena sebagian mereka adalah orang yang selama ini dibesarkan olehnya, dan dianggap loyal.  

Sebagian di antara mereka masuk dalam Kabinet Presiden BJ Habibie. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!