Teladan hidup Bripka Seladi: Lebih baik memulung daripada terima pungli

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Teladan hidup Bripka Seladi: Lebih baik memulung daripada terima pungli
"Saya tak mau amanah ini tercemar hanya karena ucapan terima kasih yang tidak pada tempatnya.”

MALANG, Indonesia – “Saya tak mau amanah ini tercemar hanya karena ucapan terima kasih yang tidak pada tempatnya.” 

Kalimat di atas meluncur dari mulut Seladi, seorang polisi berpangkat Bripka di Polres Malang, Jawa Timur pada Jumat, 20 Mei.

Nama Bripka Seladi memang lagi ‘ngetop’ beberapa hari terakhir, karena dia masuk dalam jajaran petugas polisi yang tergolong jujur. Hal itu terbukti dengan menolak uang “tanda terima kasih” dari warga masyarakat yang dia layani. Padahal, jika dia mau, Seladi bisa menambah sedikit pemasukan sejak ditempatkan di bagian SIM sebagai petugas uji praktik roda dua dan roda empat pada tahun 2001.

“Mereka saya bantu karena itu tugas saya. Kalau saya bukan petugas SIM atau Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) misalnya, apa mereka mau berterima kasih dan memberi berbagai benda atau uang kepada saya. Saya tak mau amanah ini tercemar hanya karena ucapan terima kasih yang tidak pada tempatnya,” ujar Seladi yang ditemui Jumat, 20 Mei.

Namun, itu bukan berarti dia tidak butuh uang ekstra. Bahkan, Seladi mempunyai pekerjaan sampingan sebagai pemulung. Iya, pemulung, orang yang mencari dan memilah sampah itu.

Dan hebatnya lagi, dia sudah menekuni pekerjaan sampingan sebagai pemulung sejak 2004. Artinya sejak 12 tahun lalu. Dia tak sungkan-sungkan mencari sampah di tempat lain. Tentu saat memulung, Seladi menanggalkan baju dan atribut kepolisian di rumah.

“Saya tak mau menyalahgunakan jabatan. Jabatan ini amanat yang harus dijaga namanya. Bahkan teman sesama polisi tak mengenali ketika sedang memungut sampah di jalan,” katanya.

Setidaknya Seladi bisa mendapatkan Rp 50 ribu sehari dari memilah sampah. Ada tiga anak, istri serta beberapa kawan lain yang ikut memilah di tempat yang sama dan mendapat pendapatan tanpa harus setor pada Seladi. 

Dia sempat dianggap melecehkan profesi polisi karena menjalani profesi sampingan yang tidak biasa sebagai aparatur hukum.

“Semua cacian saya terima. Saya tidak marah karena ini halal. Saya ingat kata ibu saya, kalau ada yang menghina masukkan saja semuanya dalam saku dan buang di tempat lain,” katanya.

Ibunda juga berpesan ketika bekerja harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, jangan sombong, jangan mencubit kalau tak ingin dicubit. Jika ada yang menghina, kata Seladi cukup didengarkan saja. Sang Ibu meminta agar tak boleh marah. 

“Yang penting makanlah uang yang halal,” kata dia menirukan ucapan sang Ibu. 

Hingga saat ini kegiatan memulung tetap menjadi pekerjaan sampingan pria berusia 57 tahun itu. Tetapi, dia tidak perlu lagi berkeliling ke beberapa tempat untuk mencari sampah. Sebab, petugas kebersihan di Stasiun Kereta Api Malang setiap hari datang mengantar sampah yang telah dipilah. 

Sampah kemudian dikumpulkan di sebuah gudang yang dipinjamkan oleh seorang kawan. Lokasinya tak jauh dari kantor tempat dia bekerja yakni di Jalan Dr. Wahidin. 

Bukan pekerjaan sampingan pertama

MEMILAH SAMPAH. Bripka Seladi terlihat tengah memilah sampah yang terkumpul di gudang pada Jumat, 20 Mei. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler

Ini bukan pertama kali Seladi mempunyai pekerjaan sampingan. Bahkan, dalam usaha sampingannya terdahulu, Seladi sempat merugi hingga Rp 96 juta. Kok bisa?

Pada tahun 1988 sampai 1995, dia pernah menggeluti berbagai bisnis mulai menjadi penjual sepatu, barang elektronik, hingga produk mebel. 

Pada tahun 1988, Seladi mendapat modal sebesar Rp 25 juta dari Koperasi Kepolisian di Polres Malang Kota.Hal itu menjadi sebuah kejutan, sebab biasanya koperasi hanya memberi batas kredit maksimal Rp 1 juta bagi polisi yang baru bertugas. Koperasi percaya dengan jejak rekam Seladi sebagai polisi jujur, maka diberi modal hingga puluhan juta. 

Ketika itu, usaha Seladi maju pesat. Nilai pesanan yang diterima Seladi semakin lama semakin tinggi dari seorang rekanan. Pesanan pertama, rekanannya itu membeli produk mebel seharga Rp 25 juta dengan mengangsur tiga bulan. Pada pemesanan kedua, nilainya naik menjadi Rp 75 juta dengan uang muka Rp 50 juta sisanya diangsur.

Pesanan ketiga, rekanan memesan senilai Rp 115 juta dengan uang muka Rp 20 juta. Tak ragu dia segera menyediakan semua permintaan rekanan itu. Tetapi, apes, rekanannya itu kemudian kabur membawa barang tanpa melunasi tunggakan Rp 95 juta.

“Saya rugi besar, karena saya tak pernah mau berhutang. Semua mebel pesanan saya beli dengan kontan. Eh, ternyata orangnya kabur,” katanya.

Sebenarnya Seladi bisa saja dengan mudah menggunakan jabatan dan mengerahkan korpsnya untuk mencari, menangkap dan meminta uangnya kembali. Namun dia memilih jalan berbeda. Dia tak mencari atau menangkap si penipu.

“Tuhan punya jalan untuk mengambil rezeki yang bukan milik saya. Kredit itu sama dengan memakan bunga, rentenir, dan Tuhan mengambil uang yang tidak barokah itu,” katanya yakin.

Kondisinya yang bangkrut tak membuat Seladi gelap mata menyalahgunakan jabatan. Dia tak pernah mau menerima pemberian orang yang merasa terbantu atas kinerjanya sebagai aparat kepolisian.

Berbagai pemberian baik uang ataupun barang sebagai ucapan terima kasih ditolak secara halus.

Lahir dari keluarga buruh tani

LAHIR DARI KELUARGA BURUH TANI. Sejak kecil, Bripka Seladi (kanan) sudah membantu perekonomian keluarganya yang pas-pasan dengan ikut bertani. Foto oleh Dyah Pitaloka/Rappler

Bripka Seladi lahir dari keluarga buruh tani di Desa Jogomulyan, Kecamatan Tirtoyudho, Kabupaten Malang Jawa Timur, 57 tahun lalu. Desanya berada di Malang bagian selatan dengan kontur yang berlembah dan berbukit.

Seladi kecil adalah anak ke-3 dari 9 bersaudara. Tak ada satupun anggota keluarganya yang menjadi pejabat pemerintah atau aparat kepolisian. Sehari-hari, Seladi membantu ekonomi keluarga dengan membantu berjualan kayu. 

Jalan menuju korps kepolisian terbuka ketika seorang temannya mengajaknya daftar ke Lembaga Pendidikan Polri Pusat Pendidikan Brimob di Watu Kosek di Mojokerto. Seladi lolos, sementara kawannya gagal di tahap kesehatan.

“Saya masuk Watu Kosek dan lulus tahun 1978,” kata dia.

Sejak itu, Seladi mencicipi berbagai unit dalam melayani warga. Dia pernah diperbantukan di bagian Sabhara Polres Malang Kota. Kemudian, pada tahun 1984 hingga 1985 dia bertugas di Timor Timor, lalu kembali bekerja di bagian Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) hingga tahun 1998. Setelah itu, dia dipindah kembali ke Sabhara sebelum masuk di bagian SIM sebagai petugas uji praktik roda dua dan roda empat sejak 2001 hingga saat ini.

Selama bekerja sebagai polisi Seladi menyekolahkan tiga adik-adiknya hingga lulus SMA.

Tak mau gunakan kendaraan dinas

Satu tahun lagi Seladi memasuki masa pensiun. Uniknya, selama lebih dari 35 tahun bertugas, dia tidak pernah menggunakan kendaraan dinas. Dia lebih memilih mengayu sepeda yang diwariskan oleh kedua orang tuanya untuk melakukan berbagai aktivitas dan bekerja mengatur lalu lintas. 

“Tahun 2009 saya dipercaya merawat mobil untuk uji SIM kendaraan roda empat. Tapi saya takut salah menggunakan, jadi lebih baik tidak saya pakai untuk keperluan pribadi,” katanya.

Dia berharap ke depan akan ada banyak polisi yang mau membaur dengan warga, dan mau memberikan teladan langsung pada warga. Harapan itu, salah satunya dilabuhkan pada anak ke duanya yang kini sedang mengikuti ujian pendidikan kepolisian jalur Tamtama Polri. Ini adalah pendaftaran ke tiga bagi anak lelakinya setelah gagal di dua pendaftaran sebelumnya akibat nilai akademis yang tak mencukupi dan tak lolos tes kesehatan.

“Setelah ini saya pensiun. Harapan saya akan ada banyak polisi yang mau membaur dengan masyarakat dan memberi teladan nyata. Mohon doanya untuk anak saya agar bisa mewujudkan cita-cita tersebut,” katanya

Bripka Seladi sadar, setiap pilihan akan membawa dampak berbeda. Seperti pilihannya menjadi polisi jujur membawanya berpangkat Brigadir Kepala selama mengabdi lebih dari 35 tahun dan sebuah gudang pinjaman penuh sampah.

“Teman seangkatan saya banyak yang berpangkat AKP, Kompol, AKBP hingga jenderal. Setiap orang punya kemampuan masing-masing. Bripka itu kepanjangannya ibrig-ibrig berkah (sedikit-sedikit berkah),” katanya sambil tertawa lebar.

Jumat pagi Seladi nampak mengendarai mobil Uji SIM di halaman kantor Samsat Kota Malang. Nur Sulistiono, warga Bandulan Gang 2 mengikuti semua aba-aba dan perintah Seladi. Pengusaha itu sedang mengurus SIM A agar bisa mengendarai mobil angkutan barang jenis pick up untuk usahanya. 

PRAKTIK SIM. Bripka Seladi tengah membantu salah satu warga bernama Nur Sulistiono untuk menjalani ujian SIM pada Jumat, 20 Mei. Foto oleh Dyah Pitaloka/Rappler

Berbagai tahap ujian dilewati Nur, mulai dari memasang sabuk pengaman, membawa mobil naik ke tanjakan hingga memarkir dengan cara berjalan mundur. Malangnya, satu penanda parkir roboh akiibat terserempet mobil Nur ketika parkir. Seladi pun mengisi formulir Nur dengan spidol warna merah bertulis mengulang.

“Mungkin sedang grogi, tiga hari lagi datang kemari dan mencoba lagi. Ini sudah benar, jangan pakai calo, langsung datang dan uji SIM sendiri,” kata Seladi.

Meskipun gagal, Nur tak nampak gusar. Pria yang datang bersama istri dan seorang anaknya membenarkan nasihat Seladi. “Iya saya sedikit grogi tadi, lain kali harus lebih baik. Pak Seladi ramah dan baik. Biasanya mengulang itu menunggu sampai seminggu, ini boleh kembali tiga hari lagi. Jadi bisa segera digunakan kerja,” katanya. 

Bagi Nur, aparat kepolisian telah banyak bekerja melindungi warga. Namun dia berharap aparat berbenah dalam hal birokrasi yang berkaitan dengan kendaraan. “

Harapannya agar kalau mengurus tidak ribet. Kalau menilang juga dikasih surat tilang untuk sidang di persidangan,” ujarnya. – Rappler.com 

BACA JUGA: 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!