Dosa-dosa Soeharto dan orde baru menurut Pramoedya Ananta Toer

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dosa-dosa Soeharto dan orde baru menurut Pramoedya Ananta Toer

AFP

Pram berkisah betapa menderitanya ia saat buku-bukunya dibakar oleh rezim orde baru.

 

JAKARTA, Indonesia—Soeharto dan Pramoedya Ananta Toer datang dari generasi yang sama. Keduanya juga sama-sama pernah mengabdi pada militer. Soeharto menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia sejak 5 Oktober 1945 setelah tamat dari Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah. 

Sedangkan Pram – sapaan Pramoedya- hanya sempat mengikuti kelompok militer di Pulau Jawa. Ia pernah ditugaskan di Jakarta tapi akhirnya ia memutuskan untuk keluar dan menulis saja. Pram kemudian bergabung dengan Lekra, kelompok penulis sayap kiri. 

Setelah itu, keduanya menjalani takdirnya masing-masing. Soeharto berhasil meniti karir menjadi anggota militer. Kelak ia berhasil menduduki posisi nomor satu di TNI.  

Sedangkan Pram akhirnya menjadi seorang penulis yang menginspirasi banyak orang lewat novelnya yang berjudul Bumi Manusia, Nyanyian Sunyi Seorang Bisu. Begitu pula dengan karyanya yang lainNama Pram bahkan dikenal hingga ke luar negeri. 

Meski demikian, seumur hidup, keduanya ditakdirkan untuk selalu berhadap-hadapan. Seoharto menjadi penguasa dan Pram menjadi kritikusnya. Kritikus paling tajam. Pram akhirnya dipenjara dan melakukan kerja paksa di Pulau Buru saat Soeharto berkuasa. 

Di sela-sela kritik umumnya, Pram selalu dipancing untuk berkomentar tentang Soeharto. Ia pun mengungkapkan pendapatnya tentang penguasa orde baru itu. 

Kritikannya itu muncul ketika ditanya soal Soeharto dan Orde Baru. Jawaban Pram selalu keras.

Seperti saat membalas Goenawan Muhamad soal permintaan maaf negara pada orang-orang yang ditahan seperti Pram. Pram pun menjawab Goenawan.

Dalam jawaban itu tergambar bagaimana Pram menilai bahwa Soeharto telah menyengsarakan hidupnya. Mulai dari penjara, pelarangan buku, sampai teror bahkan setelah dia dibebaskan oleh pemerintah orde baru.  

“Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia. Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang.” 

“Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan.”

“Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan KTP (Kartu Tanda Penduduk).” 

“Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar.”

“Basa-basi baik saja, tapi hanya basa-basi. Selanjutnya mau apa? Maukah negara mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Negara mungkin harus berhutang lagi untuk menebus mengganti semua yang saya miliki.”

Salah satu buku yang ditulis oleh Koesalah Soebagyo Toer berjudul "Pramoedya Ananta Toer: dari dekat sekali". Koesalah wafat pada Rabu, 16 Maret di Depok. Foto dari KPG.

Di artikel lainnya di Indoprogress yang ditulis Linda Christanty juga dituturkan Pram yang menyamakan Soeharto dengan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda).  

“Nasution (Jenderal Abdul Haris Nasution yang dianugerahi bintang lima di masa Soeharto) telah membunuh teman saya, membuat teman saya mati. Waktu itu kami sedang mempertahankan Bekasi, tepatnya di daerah Lemah Abang. Nasution dan Soeharto itu sama saja, sama-sama KNIL,” tuturnya. 

Permusuhan Pram pada kesewenangan Soeharto di era orde baru semakin jelas saat Kees Snoek yang diutus oleh kementerian pendidikan dan ilmu pengetahuan Belanda mewawancarainya. 

Wawancara itu kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu berjudul Saya Ingin Lihat Ini Berakhir. 

Saat ditanya Snoek tentang karya-karyanya, Pram berbicara lebih bebas tentang kekesalannya saat naskah-naskahnya diburu oleh orde baru.

Ia bercerita bahwa ia sebisa mungkin menyelamatkan karya-karyanya. Terutama karyanya yang ia hasilkan saat ditahan di Pulau Buru oleh rezim Soeharto. 

“Hampir semua yang saya tulis di Pulau Buru harus saya alihkan kepada pihak yang lain kecuali catatan-catatan buku harian saya. Semua disita,” katanya. 

Beruntung Pram sempat membuat 4 salinan, salah satu salinannya diselamatkan oleh Gereja Katolik. Ia berhasil mengelabui Soeharto. “Orde baru berpikir bahwa masalah selesai ketika naskah asli itu disita. Tentu saja itu keliru.” Pram melawan. 

Puncaknya Pram dengan terang menyatakan kebenciaannya terhadap orde baru, tepatnya saat ditanya pemikiran politiknya. “Saya merasa di titik dasar kehinaan di Indonesia pada masa orde baru.” 

Penghinaan itu melekat pada Pram seumur hidupnya. Bahkan saat Soeharto sudah lengser pun, Pram masih skeptis bahwa pemerintah sudah terbebas dari cengkeraman orde baru.   

Dalam sebuah artikel berjudul Soeharto Tidak Mungkin Diadili di Jawa Pos, Senin, 12 April 1999, Pram blak-blakan soal nasibnya di orde baru. Pram mengungkapnya saat ceramah di depan mahasiswa dan pers Amerika serta pemerhati sastra dan politik di kampus George Washington University (GWU). 

Menurut Pram, Soeharto adalah penjahat dunia dan layak dituntut. Itu berdasarkan pengalaman pribadinya yang ditahan sepuluh tahun di Pulau Buru, disiksa, dianiaya tanpa proses pengadilan atau hukum. 

“Berdasarkan pengalaman saya sendiri, Soeharto adalah penjahat kemanusiaan. Setiap orang di mana pun di seluruh dunia berhak menuntut Soeharto.” 

Di wawancara itu, Pram juga mengungkap fitnah orde baru padanya, bahwa ia adalah orang Partai Komunis Indonesia. 

”Yang mengangkat saya menjadi PKI itu kan Orba, yang kemudian dikembangkan oleh pers Orba. Saya ini PKI nomor berapa? Hanya Orba saja yang bikin-bikin itu, yang lalu dikembangkan pers Orba. Saya justru pernah menanyakan, saya ini komunis nomor berapa sih? Kan komunis semua mempunyai tanda keanggotaan. Tidak ada yang pernah bisa menjawab,” kata Pram.

Setelah bertahun-tahun ‘berseteru’ karena ideologi dan keyakinan tentang Indonesia, Pram dan Soeharto akhirnya dijemput ajal. Pram menghembuskan nafas terakhir pada 30 April 2006 di umur 81 tahun. Sedangkan Soeharto wafat pada 27 Janiari 2008 di usia 86 tahun. 

Hingga ajal menjemput pun, Pram tak pernah memperoleh permintaan maaf dari Soeharto atas penderitaan yang ia jalani di tahanan Pulau Buru. Sementara itu, Soeharto tetap dikenang dan bahkan dijuluki sebagai bapak pembangunan, bukan bapak kejahatan manusia seperti yang diangankan oleh Pram. 

Tapi perjuangannya untuk meminta orde baru dan pemerintah selanjutnya tak pernah padam. Hingga akhir umurnya, ia tetap menyindir penguasa. Paling tidak hanya untuk memenuhi perkataannya sendiri, bahwa “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?” —Rappler.com

BACA JUGA: 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!