Indonesia

Alasan ‘Bang Maman dari Kali Pasir’ mesti minggat dari Jakarta

Camelia Pasandaran

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Alasan ‘Bang Maman dari Kali Pasir’ mesti minggat dari Jakarta
Cerita Bang Maman tidak cocok untuk anak SD karena kemampuan menafsirkannya masih terbatas

 

Apa salah Bang Maman? Sebagai sebuah cerita yang berkembang di masyarakat dan diklaim sebagai cerita rakyat, Bang Maman tidak membuat salah. Ceritanya, bila dilihat secara komprehensif, bertujuan untuk mengajarkan orang agar tidak berlaku materialistis. 

Tapi ketika si Bang Maman jadi bahasan anak sekolahan, gegerlah media sosial. Kenapa? Ini cerita singkatnya yang disarikan dari berbagai sumber:

Bang Maman adalah seorang pedagang buah di Kali Pasir, Jakarta. Dia menikahkan anaknya yang bernama Ijah dengan Salim. Ayah Salim adalah seorang kaya bernama Pak Darip. Singkat cerita, Pak Darip kemudian meninggal dunia dan meninggalkan kebun yang luas bagi Salim. 

Sepeninggal ayahnya, Salim yang tak lihai mengurus kebun meminta seorang bernama Kusen untuk mengurus kebunnya. Tapi, Kusen belakangan ketahuan menipu Salim, dan menjual kebunnya. Alhasil Salim jatuh miskin.

Salim yang miskin tak lagi bisa memberikan Bang Maman uang. Akhirnya Bang Maman minta Ijah menceraikan Salim. Permintaan ini ditolak putrinya. Bang Maman tak habis strategi, dia meminta seorang perempuan bernama Patme untuk menemui Ijah dan mengaku sebagai istri simpanan Salim. Ijah akhirnya menceraikan Salim. 

Datanglah Ujang, perampok yang mengaku sebagai orang kaya, hendak melamar Ijah. Bang Maman menerimanya. Di hari pernikahan Ijah dan Ujang, polisi datang menangkap Ujang. 

Penyusun cerita ini mungkin berniat baik, ingin membuat orang belajar bahwa bersikap materialistis tidak akan membawa kebaikan. Tapi ketika cerita ini, dengan berbagai variasinya, dijadikan bahan pelajaran SD pada 2012, hebohlah para orang tua. 

Setidaknya saat itu ada dua penerbit saat itu yang diketahui menggunakan cerita Bang Maman dalam buku Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta (PLBJ), Penerbit Erlangga dan Media Kreasi. Pada Agustus 2012, diberitakan bahwa buku tersebut sudah ditarik.

Kontroversi Bang Maman berlanjut lagi tahun ini. Seorang netizen bernama Agung Suharto mengatakan bahwa cerita Bang Maman kembali muncul di pekerjaan rumah anaknya yang bersekolah di sebuah sekolah dasar negeri di Pasar Rebo. PR yang diberikan baru-baru ini tersebut diambil dari soal ujian lama. 

Dia menyebutkan di status Facebook-nya bertanggal 21 Mei 2016 bahwa bukan hanya dijadikan PR, cerita Bang Maman juga ada di buku pelajaran Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta (PLBJ) anaknya. Buku tersebut dikarang oleh Sri Budi. 

Saya menelusuri buku tersebut, dan mendapatkan informasi bahwa buku tersebut diterbitkan oleh Aryaduta. Buku ini masih diperjualbelikan secara online.

Bang Maman harus di-DO

Saya bukan tipe orang yang menyetujui pelarangan buku. Buku adalah bentuk kebebasan berekspresi individu yang seharusnya tidak dibatasi. Toh, pembaca juga bisa memilih apa yang mereka mau baca. 

Namun lain halnya ketika buku tersebut dijadikan buku pelajaran wajib bagi siswa-siswi kelas 2 Sekolah Dasar yang secara umum kemampuan menafsirkannya masih terbatas. Mereka tidak punya pilihan untuk tidak membaca, apalagi ketika dijadikan PR. 

Cerita Bang Maman tidak cocok untuk anak SD karena kemampuan menafsirkannya masih terbatas. Foto dari Agung Suharto

Membaca melibatkan proses komunikasi yang kompleks, ada informasi yang disampaikan sumber dan ada pembaca yang menafsirkan pesan. Apakah pesan yang disampaikan si informan akan sama dengan yang diterima si pembaca? Tidak pernah akan bisa sama persis. Ini dipengaruhi oleh frame of experience dan frame of reference dari si pembacanya. 

Karenanya, tidak salah ketika Umberto Eco mengatakan, “Author should die once he has finished writing (penulis harus mati setelah menyelesaikan tulisannya)”. Karena lepas dari tujuan mulia penulis dan konteks penulisan, pemaknaan di kepala pembaca akan berbeda dengan apa yang dimaksudkan si penulis. 

Di tangan pembaca, dalam pandangan konstruktivis, ada interaksi antara teks dengan si pembacanya. Pembaca akan mengaitkan apa yang pernah dia alami, sikapnya, dan apa yang dia ketahui ketika menafsirkan teks. Proses negosiasi pesan ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. 

Dalam pandangan subjektivis, makna sepenuhnya bergantung pada interpretasi dari pembacanya. Si pembaca menciptakan ulang makna. 

Sederhananya begini. Siswa kelas dua SD yang mendapatkan pendidikan agama dan nilai-nilai kebaikan yang memadai, serta memiliki kemampuan memahami teks secara komprehensif, setelah membaca teks akan memahami bahwa Bang Maman adalah “the bad guy” dalam cerita tersebut, dan bahwa sikapnya harus dihindari. 

Tapi, siswa SD yang tidak cukup, atau belum, mengenyam nilai-nilai adiluhung yang mengajarkan kita untuk menjauhi sikap materialisme, bisa memiliki interpretasi yang salah. Dia bisa saja menilai sikap Bang Maman yang oportunis tersebut baik untuk ditiru, untuk memastikan keberlangsungan hidup.

Dia bisa saja menilai bahwa lembaga pernikahan bukanlah sesuatu yang perlu dipertahankan ketika badai keuangan mendera rumah tangga. Lebih buruk lagi, dia bisa saja menilai untuk menikah, yang penting pasangan kaya.

Seberapa besar kemungkinan interpretasi bebas ini mengarah ke jalan yang tidak baik? Ini bisa dilihat dari apakah dia pembaca yang baik atau yang buruk. 

Pembaca yang baik membaca pesan dengan akurat dan melihat kaitan antara kalimat dengan kalimat lainnya. Mereka berusaha memonitor pemahaman mereka sendiri dengan bertanya, parafrase dan merefleksikan kembali apa yang mereka baca.  

Sebaliknya, pembaca yang buruk biasanya mengalami kesulitan melakukan decoding makna. Mereka kerap membaca dan hanya memahami sepenggal, dan seringkali gagal memahami pesan inti dari bacaan. Pembaca yang buruk juga biasanya memiliki pemahaman yang minim terhadap teks. 

Nah, mari kita analisis kemampuan siswa sekolah dasar di ibu kota. Apakah mereka memiliki keterampilan yang cukup untuk membaca teks secara keseluruhan dan memaknainya sesuai harapan si penulis? 

Apakah bisa dipastikan mereka tidak akan membaca teks sepenggal-sepenggal sehingga tidak membuat interpretasi bebas tentang “sikap materialisme”? Apakah siswa sekolah dasar dibiasakan berpikir kritis terhadap apa yang mereka baca?

Kalau jawabannya kebanyakan tidak, saatnya untuk membuat Bang Maman drop out dari sekolah! —Rappler.com

Camelia Pasandaran adalah mantan jurnalis media cetak dan online. Ia adalah dosen komunikasi antarbudaya dan jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara (UMN).

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!