SEA Games

Hadapi MEA, perguruan tinggi di Indonesia harus terakreditasi

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Hadapi MEA, perguruan tinggi di Indonesia harus terakreditasi
Bila tidak, alumninya akan sulit mendapat pekerjaan karena dianggap kurang kredibel.

TANGERANG, Indonesia – United States Agency for International Development (USAID) mendorong perguruan tinggi di Indonesia melakukan akreditasi nasional atau internasional untuk memastikan lulusan-lulusan mereka mendapatkan pekerjaan yang baik.

“Kalau sudah terakreditasi, artinya kualitasnya sudah memenuhi standar internasional sehingga bisa bersaing secara global,” kata Titi Savitri Prihaningsih, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) saat diskusi panel simposium di Tangerang, Selasa, 24 Mei 2016.

Bukan fokus utama akademisi

Data terakhir dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) mencatat 3.738 program studi, baik dari universitas negeri maupun swasta, belum terakreditasi pada 2016 ini. Untuk institusi pendidikan, baru 163 dari 800 universitas di Indonesia yang terakreditasi.

Titi mengatakan, akademisi Indonesia memang tak memandang akreditasi institusi maupun program studi sebagai sesuatu yang penting. “Sebab itu berarti mereka harus merombak kurikulum dan rutin mengevaluasi sumber daya manusia mereka,” kata Titi saat ditemui Rappler seusai diskusi.

Untuk mendapatkan akreditasi, universitas maupun jurusan harus memenuhi beberapa persyaratan yang cukup rumit. Pertama, mereka harus mengumpulkan data yang lengkap terkait penelitian, finansial, dokumen legal lain. Selain bukti kertas, data yang dilampirkan juga harus teruji secara fisik. Seperti misalkan fasilitas, ataupun jurnal ilmiah.

Abdul Rahman, Quality Assurance Specialist USAID Higher Education Leadership and Management Project (HELM), mengatakan kebanyakan perguruan tinggi terganjal pada masalah ini. “Kan pemerintah suka tidak lengkap kalau memasukkan data suka kurang lengkap. Belum lagi kadang-kadang tidak diverifikasi,” kata dia.

Selain itu, akreditasi seringkali terganjal masalah sumber daya manusia. Seringkali, satu jurusan memiliki tenaga pengajar yang kurang memadai. Dosen sudah berusia tua, dan penerusnya belum memiliki kualifikasi yang cukup. Padahal, jurusan itu sangat diminati mahasiswa.

Atau ada juga kondisi sebaliknya di mana dosen muda dan cakap, namun jurusannya tak terlalu diminati. “Jadi susah kalau mau menilai outcome dari pendidikan di prodi itu,” kata dia.

Minim inovasi

Rendahnya semangat untuk memperoleh kredibilitas rupanya juga dipengaruhi oleh dosen yang tak melakukan inovasi. Abdul menilai selama ini dosen di Indonesia hanya fokus pada mengajar seadanya, dan lupa untuk melakukan pembaruan.

“Dampaknya juga ke industri. Padahal, kalau dosen mau berinovasi yang ada manfaatnya bagi industri, peluang kerjasama dengan universitas bisa terbuka lebar,” kata dia. Hasilnya, mahasiswa bisa memperoleh on the job training lewat jalinan hubungan itu.

Dengan demikian, saat menuntaskan pendidikan, mahasiswa juga sudah membawa bekal pengalaman kerja. Sayang, kebanyakan universitas sekarang masih berfokus pada materi semata dan minim praktek.

“Kebanyakan tenaga pendidik merasa repot kalau harus mengubah lagi kurikulum dan silabus yang sudah mereka keluarkan,” kata Titi. Padahal, sejak 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang sekarang menjadi Kementerian Pendidikan Tinggi sudah mewajibkan akreditasi berskala nasional dalam UU nomor 12 tahun 2012.

Namun, implementasinya masih belum selancar harapan. Masih banyak PT yang belum terakreditasi. Lulusannya, yang beberapa menjadi PNS, bahkan terancam kehilangan pekerjaan karena universitasnya nihil kredibilitas.

Bantuan pemenuhan syarat

USAID menawarkan pendampingan bagi universitas yang mengincar akreditasi. Saat ini, keberhasilan sudah diperoleh fakultas teknik Universitas Andalas, demikian disampaikan di Tangerang, Selasa, 24 Mei 2016.

Sejak 2012, USAID-HELM sudah menyediakan program bantuan bagi PT yang ingin memperoleh akreditasi. Mereka sudah berhasil mendorong 25 universitas di seluruh penjuru Indonesia memperoleh akreditasi pada 2014, dan pada periode 2016 ini sudah bertambah 25 lagi.

“Kami memberikan asesmen seperti pada manajemen keuangan, juga pelatihan sumber daya manusia,” kata Abdul. Kebanyakan yang berhasil adalah program studi teknik, karena menurut Abdul secara sistem sudah tertata lebih rapi dalam hal tenaga kerja dan kurikulum.

Sebenarnya, USAID sangat terbuka pada universitas maupun program studi manapun yang membutuhkan bantuan. Mereka menyediakan 13 kali pertemuan dan tele-conference dengan instruktur dari Arizona State University.

Mereka juga mendorong universitas-universitas ini untuk mendapatkan akreditasi internasional seperti Accreditation Board for Engineering and Technology (ABET) dan ASEAN University Network-Quality Assurance (AUN-QA). Menurut Abdul, saat ini jumlah program studi yang terakreditasi masih di bawah 10. Untuk AUN-QA, sudah cukup banyak meski belum menyeluruh.

Sayang, untuk universitas belum ada yang terakreditasi ABET sama sekali.Padahal, dalam menghadapi persaingan global di MEA mendatang, pengakuan kredibilitas internasional adalah hal yang mandatori. “Lulusan universitasnya tentu bakal tak dilirik kalau dibandingkan dari universitas terakreditasi,” kata dia.-Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!