Sepasang tangan mungil di ladang tembakau

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sepasang tangan mungil di ladang tembakau
Perusahaan yang membeli tembakau di Indonesia secara tidak langsung telah diuntungkan dari pekerjaan berbahaya yang dilakukan anak di perkebunan tembakau.

 

JAKARTA, Indonesia—Iklan itu dimulai dengan penampilan tiga pria berdada bidang dan berotot mengendarai sebuah mobil jeep dengan arah yang tidak teratur. Mereka melibas rerumputan yang hijau tanpa khawatir jeepnya terguling. 

Adegan selanjutnya bermain kano di Goa Jomblang, Gunung Kidul Yogyakarta. Lalu ketiganya menyelam di Maratua, Kalimantan, bersama penyu, hingga ditutup dengan mendaki gunung yang terjal, penuh bebatuan. 

Iklan rokok itu ditutup dengan kutipan My Life My Adventure.

Namun, di dunia nyata, petualangan sesungguhnya ternyata bukan dari mereka bertiga, tapi perjalanan sebatang rokok dari daun tembakau yang segar hingga menjadi kemasan modern yang dijual di toko-toko. 

Dari perjalanan sebatang rokok itu juga terungkap kisah mengenai pekerja anak-anak di perkebunan dan gudang tembakau. 

Ada tubuh-tubuh berperawakan kecil dan sepasang tangan mungil yang merawat daun tembakau yang masih hijau hingga mengering cokelat keemasan. 

Human Rights Watch (HRW) memperkirakan ada ribuan bahkan puluhan ribu anak yang dipekerjakan di perkebunan, dari total sekitar 500.000 petani tembakau di seluruh Indonesia.

Margareth Wurth, peneliti Human Rights Watch, kebetulan melakukan penelitian atas anak-anak ini sejak September 2014 lalu. Ia mewawancari 132 pekerja anak di perkebunan tembakau berusia 8-17 tahun dan 88 individu orang tua di empat provinsi. Yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. 

Saat ditemui Rappler di Jakarta pada Senin, 23 Mei lalu, ia menuturkan bahwa penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada penyimpangan pada pelibatan anak di sektor ini. 

Dari penelitiannya selama dua tahun itulah, terungkap kisah anak-anak di bawah umur yang mengeluh kesakitan hingga sekolahnya terlantar. 

“Saya muntah setiap kali memanen” 

PEKERJA ANAK. Anak-anak berbaur dengan orang dewasa saat bekerja memanen tembakau. Foto oleh Human Righst Watch

Salah satunya adalah Ayu, 13 tahun, siswi kelas 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP) asal Garut, Jawa Barat. Ayu mengaku harus berangkat pagi buta atau sebelum masuk sekolah ke perkebunan tembakau untuk membantu ayahnya untuk memanen. 

Selama itu juga, ia mengaku kerap muntah-muntah. “Saya muntah, saya terlalu lelah memanen dan mengangkut daun tembakau. Perut saya seperti… tidak bisa saya jelaskan,” katanya seperti dikutip dari laporan Human Rights Watch. 

“Mulut saya bau. Saya muntah berkali-kali. Saya selalu muntah setiap kali memanen,” katanya melanjutkan. 

Bukan hanya saat memanen, Ayu juga membantu ayahnya mencampur racun pestisida yang disemprotkan ke ladang tembakau. 

“Saya menuangkan tiga atau empat wadah bahan kimia ke dalam ember, menuangkan air, dan mengaduknya dengan tongkat kayu, lalu ayah saya menuangkan campuran itu ke dalam tangki,” katanya. 

Saat menuang bahan kimia itu, ia mencium bau yang sangat tajam dan mulai sakit perut. 

Musa, 16 tahun, asal Garut juga mengeluhkan hal yang sama. Ia mengaku menggunakan tangki dan memegang penyemprot untuk menyiram cairan kimia di pertanian tembakau keluarganya. 

Ia mengaku kerap sakit setelah mencampur bahan kimia dengan tangan kosong. “Mula-mula saya muntah dua minggu, saya tak bisa bekerja,” katanya. 

Ia kemudian pergi ke dokter. Menurut dokter, ia harus berhenti bersentuhan dengan bahan kimia. Tapi sayangnya, ia tak bisa begitu saja menghentikan aktivitasnya. Ia terus melakukan hal yang sama, memegang semprotan pestisida. 

Pekerja anak lainnya juga mengeluhkan hal yang sama. Ada Ama, 18 tahun, dari Sumenep, Madura. Ia sampai harus ditolong dengan oksigen karena tak bisa bernapas setelah ikut bekerja panen tembakau. 

Lalu Wani dan Nina, masing-masing 16 tahun dan 18 tahun yang sama-sama bekerja di perkebunan tembakau di Sampang, Madura. 

Menurut Wani, ia juga muntah dan sakit kepala. Nina mengatakan ia cepat muntah saat memegang daun tembakau yang masih basah. 

Yang termuda adalah Arto dan Agung, masing-masing 8 tahun dan 9 tahun. Arto asal Probolinggo itu mengatakan ia mendapat ruam yang membakar kulitnya akibat getah daun tembakau. 

Agung yang bekerja di perkebunan tembakau di Lombok Timur, juga mengeluhkan hal yang sama. “Saya mulai merasa gatal saat berada di sekitar tembakau kering,” ujarnya yang mengenakan kaos bergambar Spider Man saat diwawancarai oleh HRW.

Mengapa anak-anak ini harus bekerja?  

Musa, pekerja anak asal Garut mengatakan, ia harus bekerja membantu orang tuanya. “Padahal dokter sudah bilang agar saya berhenti bekerja di dekat bahan kimia. Tapi bagaimana saya bisa melakukannya? Saya harus membantu orang tua saya. Siapa lagi yang menolong mereka jika bukan saya?” kata dia.

Jawaban serupa juga dilontarkan anak-anak dari 3 provinsi lainnya. Mereka harus membantu orang tua karena dililit kemiskinan.

Soal kemiskinan ini, Bank Dunia sebelumnya melaporkan 14,2 persen penduduk pedesaan Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, hampir dua kali lipat dari angka kemiskinan di perkotaan. 

Menurut Organisaasi Buruh Internasional (ILO), kemiskinan adalah penyebab utama adanya buruh anak di bidang pertanian di seluruh Indonesia. 

Penelitian Human Rights Watch juga menyebut bahwa kemiskinan keluarga adalah penyebab adanya pekerja anak di lingkungan pertanian. 

Ihwal ini juga diamini oleh orang tua pekerja anak. Ijo, 40 tahun, petani tembakau yang merupakan ayah dari empat anak mengatakan ia harus melibatkan anak-anaknya untuk menekan biaya untuk membayar buruh panen. 

“Tentu, saya tak ingin anak-anak saya bekerja di pertanian tembakau, banyak bahan kimia di sana, dan bisa membahayakan anak-anak saya. Tapi saya butuh banyak uang untuk membayar para buruh. Akhirnya saya meminta anak saya membantu di semua musim,” kata Ijo. 

“Anda bisa bayangkan, saya bisa menyimpan banyak uang saat anak saya bekerja membantu saya di ladang. Ini situasi rumit,” ujarnya. 

Bahaya nikotin dan pestisida pada anak 

MEMUPUK TEMBAKAU. Seorang pekerja anak menebar pupuk di ladang tembakau. Foto oleh Human Righst Watch

Meski demikian, menurut Margareth, tak ada orang tua yang sadar akan bahaya nikotin dan pestisida terhadap anak-anak mereka.

“Anak-anak yang bekerja rutin menangani tembakau itu punya potensi keracunan nikotin,” katanya. 

Nikotin terdapat di semua bagian tanaman dan daun tembakau dalam semua tahapan produksi. Nikotin mengandung toksin alias zat racun dan paparan nikotin telah lama dikaitkan dengan dampak buruk jangka panjang perkembangan otak. Bahkan penggunaan alat pelindung tak cukup menghilangkan bahaya lain, seperti beragam cedera karena suhu panas. 

Menurut laporan yang disusun Margareth, penelitian kesehatan masyarakat telah menunjukkan petani menyerap nikotin melalui kulit mereka saat menangani tembakau, terutama ketika tanaman itu basah. 

Dalam jangka pendek, penyerapan nikotin melalui kulit dapat menyebabkan keracunan nikotin akut yang disebut penyakit akibat daun hijau tembakau atau Green Tobacco Sickness

Laporan penelitian itu juga menunjukkan petani tembakau dewasa yang tidak merokok memiliki jumlah nikotin yang sama dengan perokok di masyarakat umum. 

Di dalam laporan itu juga disebut separuh dari pekerja anak yang diwawancarai mengalami setidaknya satu gejala yang konsisten dengan keracunan nikotin akut saat bekerja di pertanian tembakau, termasuk mual, muntah, sakit kepala, dan pusing. 

Anak-anak mengatakan mereka mengalami gejala ini ketika membuang bunga dan daun busuk dari tanaman tembakau, memanen tembakau, membawa daun yang telah dipanen, membungkus dan menggulung daun, menyiapkan daun tembakau untuk pengeringan, dan saat bekerja di gudang pengeringan serta merawat tembakau kering. 

Sayangnya dalam perihal nikotin ini, Human Rights Watch tidak melibatkan tim kedokteran untuk memeriksa dampak fisik nikotin pada anak-anak. 

Selain nikotin, ada juga risiko kesehatan akibat terpapar pestisida. Pestisida masuk ke dalam tubuh manusia saat terhirup, tertelan, atau terserap melalui kulit. Pestisida menimbulkan risiko kesehatan serius pada individu yang menggunakannya, juga pada orang lain yang berada di dekatnya. 

Berdasar penelitian Margareth, pekerja anak terpapar pestisida karena karena mencampurnya dan memakainya, serta tanpa sengaja terkena semprotan atau percikan pestisida lewat hembusan angin dan saat pestisida itu disiram ke area perkebunan.

Diabaikan pemerintah dan perusahaan rokok?

NIKOTIN. Seorang pekerja anak sedang menyusun daun tembakau yang masih basah yang berbahaya bagi kesehatannya, karena nikotin lebih banyak terkandung pada daun yang basah daripada kering. Foto oleh Human Rights Watch

Lalu apakah pemerintah punya perlindungan terhadap pekerja anak ini? 

Dalam Undang-undang Ketenagakerjaan diatur tentang usia minimal anak untuk bekerja, yakni 15 tahun. Anak umur 13-15 tahun hanya boleh melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak berbahaya dan tidak menganggu sekolah. 

Dalam undang-undang itu juga disebut bahwa anak di bawah 18 tahun dilarang melakukan pekerjaan berbahaya, termasuk bekerja di lingkungan dengan zat kimia berbahaya. 

Terkait hal ini, Margareth mengaku telah berkomunikasi dengan sejumlah kementerian. Seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja, hingga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, bahkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.  

Namun ia belum mendapat respons yang tegas dari berbagai institusi tersebut.

Selain itu, Margareth juga mencoba menghubungi perusahaan rokok di dalam negeri. Banyak perusahan Indonesia dan multinasional yang membeli tembakau yang ditanam di Indonesia. 

Human Rights Watch menanyakan terkait pekerja anak di ladang tembakau, karena perusahaan yang membeli tembakau di Indonesia secara tidak langsung telah diuntungkan dari pekerjaan berbahaya anak di perkebunan tembakau. 

Mereka antara lain PT Djarum, PT Gudang Garam Tbk, PT Nojorono Tobacco International, dan PT Wismilak Into Makmur Tbk. 

Menurut Margareth, saat Human Rights Watch berusaha menghubungi ke empat perusahaan ini, tidak ada respons yang serius. 

Seorang wakil dari Wismilak menyatakan perusahaan tidak bisa menanggapi secara detail, mereka hanya mengirim sebaris jawaban. “Kami tidak berhubungan langsung dengan petani tembakau”

Sementara itu, Norojono menjawab melalui sebuah surat dan merujuk Human Rights Watch ke Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPRI). Namun saat dihubungi, GAPRI menolak bertemu. 

Ingin kembali sekolah

BOLOS SEKOLAH. Pekerja anak terkadang harus membolos sekolah jika masa panen tembakau tiba, untuk membantu orang tuanya. Foto oleh Human Righst Watch

Sementara belum ada respons dari perusahaan tembakau dan langkah dari pemerintah, pekerja anak bermimpi kembali ke sekolah lagi dan mengejar cita-cita masing-masing. 

Utama, 17 tahun, asal Probolinggo mengatakan ia harus berhenti sekolah dan bekerja di perkebunan tembakau, demi mencari sesuap nasi. “Saya dulu ingin jadi guru, tapi kamu tahu saya tidak bisa melakukannya. Kini saya ingin bekerja di toko,” katanya. 

Sari, 14 tahun, asal Magelang, juga mengucap hal yang sama. Ia bercita-cita ingin jadi perawat. “Saya ingin balik sekolah, tapi kami tak punya banyak uang,” katanya. 

Lalu sampai kapan anak-anak ini harus bekerja di ladang tembakau dan menanggalkan cita-cita mereka? Akankah pemerintah menerapkan regulasi yang lebih ketat? Apakah perusahaan rokok juga akan memperketat regulasi untuk membeli tembakau dari para petani? 

Yang jelas, dari setiap batang rokok ada perjalanan yang panjang, mulai dari kemiskinan hingga anak putus sekolah. —Rappler.com

BACA JUGA: 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!