5 alasan kastrasi bukan jalan keluar kekerasan seksual anak

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

5 alasan kastrasi bukan jalan keluar kekerasan seksual anak
Beberapa ahli medis meragukan keampuhan kastrasi kimiawi dalam menekan angka kekerasan seksual. Mengapa demikian?

JAKARTA, Indonesia – Presiden Joko “Jokowi” Widodo meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1, 2016 pada Rabu, 25 Mei. Peraturan tersebut merupakan perubahan kedua undang-undang No.  3, 2002 mengenai perlindungan anak.

Berdasarkan aturan baru ini, pelaku tindak kejahatan seksual terhadap anak dapat diancam hukuman mati dan penjara sampai 20 tahun. Dalam kasus tertentu, para terpidana juga bisa dikebiri dengan suntikan kimia.

Namun, dua orang ahli medis meragukan apakah ganjaran ini memang sesuai dan akan efektif. Berikut alasan mereka: 

1. Bukan masalah libido saja

Menurut ahli neurologi Ryu Hasan, kekerasan maupun pemerkosaan bukan karena masalah libido saja. “Kejahatan itu tak ada hubungannya sama orientasi seksual,” kata dia saat dihubungi Rappler pada Kamis, 26 Mei 2016.

Menurut dia, seringkali pemerkosaan terjadi karena adanya keinginan dari pihak pelaku untuk menyakiti. Obyeknya seringkali alat kelamin perempuan, ataupun anak-anak. Selain itu, pemerkosaan juga tak melulu diiringi penetrasi benda, bisa dengan bentuk lainnya seperti verbal.

Libido tinggi tak selalu berujung pemerkosaan. “Libido rendah sekalipun, kalau memang dia ada niat jahat, ya akan terjadi juga,” kata dia.

Hal senada juga disampaikan oleh ahli andrologi dan seksologi Wimpie Pangkahila. “Sekalipun hasratnya dimatikan, masih bisa dibangkitkan lagi dengan memori pengalaman seksual yang dulu-dulu,” kata dia.

2. Efek tak permanen

Efek dari obat antiandrogen rupanya tak langsung efektif. Wimpie mengatakan penurunan libido baru akan terjadi setelah 3 bulan penyuntikan.

“Injeksi juga harus dilakukan rutin, seperti untuk obat Depro-Provera, itu sebulan dua bulan sudah harus disuntikkan lagi,” kata dia. Bila injeksi dihentikan, maka efeknya juga akan hilang dan para pelaku bisa mendapatkan kembali hasrat serta kemampuan ereksi mereka.

Cara ini justru dapat memperumit karena pemerintah harus menentukan jangka waktu pemberian obat. Bila obat disuntikkan selama pelaku dipenjara, artinya tubuh mereka akan menerima cairan dalam jumlah yang banyak.

Ryu juga membenarkan kalau zat antiandrogen bisa mengurangi libido. “Tapi tidak selalu, ada juga yang tak terpengaruh,” kata dia. 

3. Merusak organ lain

Efek cairan antiandrogen tak berhenti pada pengurangan libido. Dapat juga berdampak pada bagian lain seperti darah, tulang, jantung, hingga mental penerima cairan.

“Tak jarang yang depresi dan bunuh diri,” kata Ryu.

Wimpie menjelaskan dampaknya ke tubuh pasien seperti kemandulan, mempercepat proses penuaan, meningkatkan resiko penyakit jantung dan pembuluh darah, serta membuat tulang keropos dan mudah patah.

“Makanya ada pro dan kontra soal ini, kan yang disasar organ seksualnya, kok merembet ke organ lainnya,” kata dia. Efek ini akan timbul bila obat terus diinjeksikan rutin selama beberapa bulan.

Ia sepakat bila kebiri kimiawi ini bisa disebut sebagai hukuman mati perlahan karena merusak organ-organ tubuh lainnya.

4. Hukuman lebih berat dan efektif

Menurut Wimpie, bila melihat kasus dari negara lain yang sudah terlebih dahulu menerapkan hukuman ini, kebiri kimiawi ternyata tak terlalu efektif. “Tidak ada data yang menunjukkan kalau itu lebih efektif daripada hukuman lain,” kata dia.

Ia menilai sudah ada hukuman lain yang jauh lebih berat dan bisa membuat jera seperti hukuman mati dan penjara seumur hidup. “Kenapa tidak itu saja yang dipakai?” kata dia.

Beberapa pelaku pemerkosaan anak yang berakhir kematian biasanya memperoleh hukuman yang tak terlalu berat. Sebut saja seorang pelaku pelecehan terhadap 58 anak dari Kediri yang hanya dikenakan 10 tahun penjara. Demikian juga para pemerkosa YY di Bengkulu, yang juga dibui dalam rentang waktu sama.

“Intinya, kalau kita semua menghendaki hukuman seberat mungkin, sebenarnya sudah tersedia,” kata dia.

Ryu juga menambahkan metode lain seperti menjauhkan para pengidap paedofilia, ataupun penjahat kasus kekerasan seksual dari calon korban-korbannya. “Jangan diberi kesempatan,” kata dia.

Namun keduanya berandai-andai apakah memang menjadi tujuan pemerintah untuk secara perlahan membiarkan obat antiandrogen mengantarkan para pemerkosa menuju depresi dan bunuh diri. 

5. Melanggar kode etik kedokteran

Ryu dan Wimpie membenarkan kalau dalam kode etik kedokteran, sebenarnya kastrasi kimiawi ini tak dibolehkan. “Kalau ada yang menyuntik, itu bukan dokter,” kata Ryu.

“Kalau dokter melakukan tindakan, dia itu mengobati. Bukan menyakiti,” kata dia.

Namun, hukum tentu berbeda dengan kedokteran. Meski kastrasi secara fisik maupun kimia itu termasuk tindak menyakiti, kalau sudah diatur, maka dokter sulit untuk melawan.

“Ya itu terserah yang buat Perppu saja,” kata dia.-Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!