Menunggu ‘legacy’ Jose Mourinho di Manchester United

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sembilan tahun lamanya Jose Mourinho menunggu kesempatan ini.

Jose Mourinho ketika meninggalkan rumahnya di London pada 22 Mei 2016. Foto oleh EPA

Suhu Januari pada sore itu begitu dingin. Seperti juga yang melanda sekujur Eropa. Hampir menusuk tulang. Tapi suasana di Stamford Bridge di awal 2014 itu begitu panas.

Tim tuan rumah Chelsea berhadapan dengan Manchester United.

Beberapa kali suporter United meneriakkan caci maki mereka kepada seseorang yang berdiri di pinggir lapangan. Yang sedang memantau pergerakan pasukannya: Jose Mourinho.

You wanted his job!” teriak para suporter tim berjuluk Setan Merah itu berkali-kali. Terdengar seperti dari berbagai penjuru. Bahkan suara-suara kasar itu tembus ke televisi yang menyiarkan langsung pertandingan tersebut.

Mourinho bergeming. Di sebelahnya, seseorang yang jabatannya paling dia idam-idamkan sedang memimpin pasukan lawan. Pelatih beruntung yang menggantikan kursi agung Sir Alex Ferguson di singgasana kepelatihan United: David Moyes.

Seorang pelatih tanpa satupun gelar domestik tiba-tiba ditunjuk menjadi nakhoda salah satu tim terbesar sejagat.

“Dia menangis saat tahu bahwa bukan dirinya yang ditunjuk Fergie,” tulis Diego Torres dalam bukunya, The Special One: The Secret World of Jose Mourinho.

Pada petang yang menggigil itu, Chelsea mengalahkan United 3-1. Tapi, kemenangan itu tak lantas membuat ambisinya menguap.

Mourinho memang sangat ingin menjadi pelatih tim merah tersebut. Terutama saat dia berada di akhir periode manajerial pertamanya di Chelsea pada 2007.

Pelatih kelahiran Setubal, Portugal, itu tahu bahwa dia tak bakal bisa berlama-lama di Chelsea. Dia sadar, berharap menjadi pelatih jangka panjang di bawah Roman Abramovich adalah kemustahilan.

Bahkan, saat sudah pindah ke Inter Milan pun dia masih menyimpan ambisi mengisi posisi tersebut. Dalam sebuah wawancara dengan MUTV sebelum Nerazzurri—julukan Inter—menghadapi United di 16 besar Liga Champions 2008-2009, Mourinho kembali mengutarkan keinginannya.

Saat itu, wartawan bertanya apakah dia ingin menggantikan Fergie. “Tentu saja saya sangat ingin. Walaupun harus menunggu lama. Selama 20 tahun menanti (dia pensiun) pun saya akan lakukan,” katanya.

Di masa itu, Mourinho memang sudah hampir meraih segalanya. Lima gelar liga domestik—satu bersama Porto, dua dengan Chelsea dan Inter Milan—sudah di tangan.

Begitu juga gelar paling bergengsi di Eropa, Liga Champions, yang dia raih bersama Dragoes—julukan Porto—dan kemudian bersama Inter Milan.

Dengan portofolio mentereng itu, dia ingin mendapat tempat yang menjadi perlabuhan lamanya. Sebab, dia tak bisa terus menerus menjadi pelatih “panggilan”. Hanya didatangkan demi gelar. Kemudian dipersilakan pergi saat tim terpuruk.

Dia butuh tempat yang lebih “permanen”. Yang membuat orang-orang akan mengidentikkan dirinya dengan posisi tersebut. Mourinho menginginkan legacy. Seperti Sir Alex Ferguson di klub tersebut.

Tapi, Fergie saat itu tak memilih namanya. Dia diveto oleh legenda United, Sir Bobby Charlton, karena perangainya yang kerap tak menghargai lawan-lawannya.

Namun, bagaimana sekarang?

United berada pada musim kemarau yang panjang. Sejak ditinggalkan Fergie pada 2013, mereka tak pernah juara domestik. Dan hanya sekali tampil di Liga Champions.

Gelar besar yang dimenangkan pun hanya Piala FA. Selebihnya, mereka terseok-seok menjaga posisinya di antara empat besar Liga Primer.

Ini bukan United yang kita kenal.

Tiga tahun terpuruk, dalam sepak bola modern, jelas pukulan keras. Tidak hanya soal potensi finansial yang menguap. Tapi juga situasi ini memberi peluang luas bagi lawan-lawan untuk semakin kuat.

Sejak Fergie pergi, tim-tim yang dulu tenggelam bangkit. Tottenham Hotspur musim ini menjadi satu-satunya penantang gelar juara hingga akhir musim.

Tim yang terancam degradasi musim lalu, Leicester City, meraih gelar. Arsenal finish sebagai runner up.

Tanpa Fergie, klub-klub Liga Primer tak lagi khawatir menghadapi United. Pertarungan sedikit lebih “fair”. Sebab, tak ada dominasi. Baik dalam hal pengalaman maupun pengetahuan taktikal.

Masalahnya, United akan terus terpuruk jika tidak ada seseorang yang bisa mendatangkan kesuksesan dengan cara yang instan. Dan figur paling tepat untuk solusi jangka pendek itu hanya Jose Mourinho.

Mereka tak punya pilihan lagi.

Apalagi, di kubu sebelah, rival sekota mereka sudah bersama jenius intelektual sepak bola Josep “Pep” Guardiola. Padahal, jika dilihat dari track record-nya, Mourinho jauh lebih berpengalaman dibanding Guardiola.

Lelaki Catalonia itu selalu menangani tim-tim besar yang sudah mapan. Mulai dari Barcelona hingga Bayern Muenchen. Dengan “bahan dasar” terbaik berupa pemain-pemain fantastis, Pep relatif lebih mudah meracik tim yang dia inginkan.

Bandingkan dengan Mourinho yang harus mengawali semuanya dari tim kecil seperti Benfica dan Uniao de Leiria. Kemudian tim “minder” Eropa seperti Inter Milan.

Porto, klub besar pertama dalam karir dia di Portugal, hanyalah tim periferi di level Eropa. Tapi dia berhasil membawa mereka meraih gelar Liga Champions melewati para raksasa di masa itu seperti United, Real Madrid, hingga di final mengalahkan AS Monaco 3-0.

Dia bisa jadi “juru selamat” Setan Merah.

Carlo Ancelotti, mantan manajer Chelsea yang musim depan akan menukangi Bayern Muenchen, sependapat dengan itu. Menurut dia, hanya Mourinho yang bisa dengan cepat mengentaskan kembali kondisi klub.

“Jose Mourinho adalah rekrutmen terbaik United. Dia adalah figur fantastik. Dia akan mengangkat tim menjadi lebih baik daripada dua tahun terakhir,” kata Ancelotti seperti dikutip BBC.

Namun, Ancelotti tidak menganggap rezim Louis van Gaal di United gagal total. Menurut dia, meneer 64 tahun tersebut adalah pelatih transisi. Dia membenahi United yang limbung setelah para pilar lama mereka tak lagi bermain.

“Ryan Giggs pensiun, begitu juga Rio Ferdinand. Ini kondisi yang sangat mempengaruhi klub,” kata mantan pelatih Real Madrid tersebut.

Van Gaal, kata Ancelotti, bertugas mengondisikan tim. Dan dia bisa dibilang sukses. Old Trafford kini memiliki pahlawan baru dalam diri pemain belia seperti Anthony Martial dan Marcus Rashford.

“Sekarang giliran Mourinho yang harus membawa mereka kembali ke jalur juara,” katanya.—Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!