PH collegiate sports

Apakah Soeharto layak diberi gelar pahlawan nasional?

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Apakah Soeharto layak diberi gelar pahlawan nasional?
Percakapan lintas generasi tentang gelar pahlawan nasional untuk Soeharto. Mereka sepakat penguasa Orde Baru itu tak sempurna.

 

JAKARTA, Indonesia — Usia Nuh “Kala” Ekalaya baru menginjak 20 tahun. Ia menggemari anime, seperti anak muda pada umumnya. Di usianya yang masih belia itu, ia mengaku tak banyak berbincang soal politik di negeri ini. 

Apalagi soal Soeharto yang akan mendapat gelar pahlawan nasional. “Enggak ada yang ngomong, enggak ada yang mencari,” kata Kala, menuturkan tentang teman-teman sepergaulannya. 

Ia justru baru mengetahui kabar itu dari ibunya, Naomi Srikandi, seorang seniman teater kawakan. Ibunya memang tak pernah memaksakan anaknya untuk mengerti agenda politik bangsa ini, semua dibiarkan mengalir apa adanya. 

Tapi Kala kini menyadari bahwa ada dua kubu yang sedang ramai berseteru, yakni mereka yang setuju Soeharto mendapat gelar pahlawan dan mereka yang menolak mentah-mentah. 

“Saya memilih tidak taking a side,” kata Kalla pada Rappler, Senin, 30 Mei. Mengapa? “Justru karena saya mendengar dari kedua belah pihak,” ujarnya. 

Menurutnya, apapun keputusannya, mendukung atau tidak mendukung, tidak masalah asal suasana tidak jadi keruh. 

Jika Presiden kedua RI itu dinobatkan sebagai pahlawan nasional, Kala ingin memberikan catatan bahwa gelar itu adalah untuk bidang pembangunan dan perekonomian, bukan yang lain.

Baginya, Soeharto masih memiliki cacat, utamanya dalam bidang hak asasi manusia (HAM). 

“Mungkin saya akan memilih setuju, karena kalau kita lihat dia punya poin plus di bidang pembangunan. Tapi kita tidak bisa menegasi kenyataan bahwa dia melanggar HAM berat, dia pernah merampas kemerdekaan atau kehidupan orang,” ujarnya.

Wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto sudah menjadi topik rutin tiap tahunnya, terutama menjelang Hari Pahlawan pada November. Namun baru-baru ini, Partai Golkar — mesin politik Soeharto pada era Orde Baru — mengusulkan untuk kembali memperjuangkan Soeharto sebagai pahlawan nasional.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Sidang Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) partai berlambang beringin itu, Nurdin Halid, kepada ketua umum baru Golkar di Bali pada 16 Mei lalu.

“Menginstruksikan kepada Ketua Umum DPP Golkar terpilih untuk memperjuangkan Jenderal Besar Purnawirawan Soeharto sebagai pahlawan nasional,” ujar Nurdin. Menurutnya, jasa Soeharto dalam pembangunan negeri ini sangat besar.

Umar Muhammad memiliki pandangan yang sama. Pekerja sales marketing yang berumur 22 tahun ini meyakini Soeharto layak mendapat gelar pahlawan nasional meski ia tak sepenuhnya sempurna.

“Kalau saya pro ya, setuju. Soeharto itu kan memang harus diberi penghargaan karena bagaimanapun ia sampai berkuasa 32 tahun itu layak mendapat gelar sebagai pahlawan,” kata Umar.  

Apa prestasi Soeharto menurut Umar? “Prestasinya banyak, aku enggak bisa nyebutin satu-satu. Salah satunya dia mengubah sejarah dari Orde Lama ke Orde Baru, dan sukses di bidang ekonomi,” ucapnya. 

Bapak pembangunan

Soeharto saat menaiki mobil Toyota. Foto diambil dari Facebook Siti Herdiati Rukmana

Septa Mellina (27 tahun) juga sedang menimbang-nimbang wacana gelar pahlawan nasional untuk Soeharto. Sebagai seorang editor dan penulis, ia paham betul kebebasan berekspresi di zaman Orde Baru tak sebebas hari ini. 

Tapi ia mencatat beberapa hal yang menurutnya bisa disebut sebagai prestasi Soeharto, antara lain kestabilan ekonomi. Saat itu harga per US$ 1 hanya mencapai Rp 2.500. Bandingkan dengan sekarang yang mencapai Rp 13.700 per satu dolar.

“Secara ekonomi beliau sangat berjasa,” kata Septa. 

Tapi ia ragu gelar pahlawan nasional bisa disematkan pada Soeharto, karena ada banyak pertanyaan yang belum terjawab terkait pengganti Presiden Soekarno itu.

“Kasus korupsi dia, kita tidak tahu seperti apa, kasus pelanggaran HAM, Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), banyak pertanyaan belum dijawab oleh pemerintah zaman sekarang,” katanya. 

“Jadi kalau gelar pahlawan nasional untuk dia, I think a little bit too much for him,” ujar Septa.  

Ia lebih setuju jika Soeharto mendapat gelar Bapak Pembangunan. “Menurut saya terlalu cepat untuk memberi gelar istimewa itu (pahlawan nasional). Kayanya jangan sekarang, nanti saja kalau pemerintah sudah bisa menjawab pertanyaan di atas,” ujarnya. 

Mendingan kasih ke Gus Dur,” kata Septa, merujuk pada presiden keempat RI, Abdurahman “Gus Dur” Wahid. 

Bicara soal ekonomi, seorang pengusaha bernama Sony Akbar mengakui bahwa Soeharto memang memberikan kestabilan pada dunia usaha pada zamannya.

“Inilah yang dilakukan oleh Soeharto. Indonesia kelihatan makmur, tapi asetnya sudah menjadi milik asing.”

Menurut pria berumur 53 tahun ini, setiap presiden memiliki catatan baik dan buruk. Catatan baik untuk Soeharto bagi Sony adalah saat ia dianggap berhasil membawa perekonomian Indonesia ke puncaknya, tepatnya saat berpasangan dengan Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai wakil presiden pada 1973-1978.

Bagaimana dengan utang luar negeri, bukankah saat itu Indonesia juga masih tergantung pada utang?

“Sekarang Jokowi (Presiden Joko Widodo) juga ngutang, SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) juga ngutang, biasa kok negara lain juga banyak yang berhutang,” kata Sony. 

Hanya saja, menurut Sony, kesuksesan itu kemudian disalahgunakan oleh kroni-kroni Soeharto. Penguasa Orde Baru itu disebut gagal mengontrol kroni-kroninya. 

“Anggaplah negara ini suatu perusahaan. Ada yang bagus manajemennya, tapi enggak bagus di controlling,” ujarnya. 

Akhirnya kondisi ekonomi pun menurun. Puncaknya pada 1998, ketika rupiah terpuruk terhadap dolar Amerika Serikat.

Tapi Sony menjuluki Soeharto sebagai orang bertangan besi yang bersarung tangan beludru. “Secara politik dia keras, makanya jarang sekali pemerintahannya diganggu, tapi dia lembut di beberapa bidang, seperti pembagian beras murah dan bensin murah (subsidi BBM untuk rakyat),” ujarnya. 

Melihat berbagai pertimbangan, ia pun setuju Soeharto diberi gelar pahlawan. Tapi Sony juga sepakat bahwa Soeharto memiliki nilai negatif dan positif.

“Positifnya, ya dia bapak pembangunan, karena itu saya setuju dia diangkat sebagai pahlawan nasional,” ujarnya.  

Sejarah kelam Soeharto yang tak pernah dibicarakan 

Presiden Soekarno (tengah) dan Letjen Soeharto (kiri) memberi hormat kepada bendera merah putih saat upacara kemerdekaan 17 Agustus 1966. Foto oleh AFP

Melihat fenomena pro dan kontra ini, Ariel Heryanto, profesor dari Australian National University (ANU), mengaku tak kaget. 

Ia menilai anak muda dan masyarakat pada umumnya berpendapat demikian karena belum banyak membahas referensi sejarah kelam tentang Soeharto, sehingga belum masuk menjadi pertimbangan. 

Misalnya, rekam jejak penguasa Orde Baru ini yang pernah menjadi tentara kerajaan Hindia Belanda (KNIL) pada zaman penjajahan kolonial tersebut. 

“Ada banyak yang perlu dipelajari. Di zaman penjajahan Belanda, Soeharto itu jadi tentaranya Belanda. Waktu penjajahan Jepang, dia jadi tentaranya Jepang. Waktu Indonesia merdeka, ia memberontak dan mengkhianati Soekarno,” kata Ariel. 

Tentang Soeharto mengikuti KNIL ini bisa dibaca juga di tulisan Linda Christanty di Indoprogress

Latar belakang Soeharto sebagai tentara Belanda ini juga banyak ditemukan di tulisan-tulisan Benedict Anderson, profesor emeritus dalam bidang Studi Internasional di Universitas Cornell, AS.

Dalam bukunya Indonesia’s New Order, Anderson menuturkan bahwa pada 1940, Soeharto mendaftarkan diri sebagai pasukan KNIL. Dua tahun kemudian, ia diangkat menjadi sersan. 

Lalu ketika KNIL jatuh dan Jepang berkuasa pada 1943, Soeharto kemudian bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) bentukan negara sakura tersebut. 

PETA adalah salah satu organisasi yang dipersiapkan untuk membela dan mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Pembentukan organisasi ini dimaksudkan Jepang untuk menarik hati masyarakat Indonesia 

Setelah itu, tentara PETA jatuh dan Soeharto tak pernah lagi terdengar memiliki aktivitas untuk membela negeri ini, hingga kemerdekaan dideklarasikan oleh Soekarno dan Hatta. 

Soeharto kemudian bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sejak 5 Oktober 1945. 

Menurut Ariel, rekam jejak Soeharto yang dianggap tak pernah membela negara ini oleh Anderson, sebenarnya sudah cukup menjadi bukti bahwa penguasa Orde Baru itu tak layak mendapat gelar pahlawan nasional.

Ariel menyebutnya sebagai “di luar nalar” kewarasannya.  

Masyarakat Indonesia terjangkit Sindrom Stockholm? 

Soe Tjen Marching, seorang Indonesianis, penulis, feminis, dan pendiri Majalah Bhinneka, punya analisis sendiri tentang pendapat pro dan kontra di masyarakat ini. 

Menurutnya masyarakat Indonesia sedang mengalami Sindrom Stockholm saat ini.

“Manusia itu mempunyai mekanisme untuk bertahan hidup. Akhirnya mereka menerima keadaan yang buruk dengan ‘menyukai’ keadaan tersebut. Banyak manusia Indonesia ini yang kemudian terkena Stockholm Syndrome,” kata Soe Tjen. 

“Mereka menerima represi Soeharto, lalu bahkan menyukainya. Dan jadinya ada simpati terhadap Soeharto. Ini yang menyebabkan wacana ‘Soeharto pahlawan’ santer terdengar beberapa kali,” ujarnya. 

Soe Tjen tak pernah menyalahkan korban, dalam hal ini masyarakat umum, karena ini adalah mekanisme bertahan. Apalagi jika korban tidak kritis. 

Ia juga menyebut, sindrom ini bisa menjangkiti siapa saja, bahkan lintas generasi. 

Lalu bagaimana dengan “kestabilan” ekonomi di era Orde Baru, berkat tangan besi Soeharto, jika dibanding era Orde Lama, misalnya? 

“Memang waktu zaman Soekarno, kelihatan rakyat miskin. Ini karena ada boikot dari Amerika. Tidak ada lagi tunjangan kepada Indonesia, karena Amerika marah, karena Soekarno tidak mau kompromi dengan perusahaan-perusahan besar seperti Freeport dan lainnya,” kata Soe Tjen. 

Tapi di era Soeharto, Indonesia dinilai lebih permisif pada investor. Sebagai bukti adalah disahkannya Undang-Undang No. 1 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). 

Maka, perusahaan seperti Freeport akhirnya dapat masuk ke Indonesia. Dan Soehartolah yang pertama kali menandatangani perjanjian investasi tersebut. 

“Inilah yang dilakukan oleh Soeharto. Indonesia kelihatan makmur, tapi asetnya sudah menjadi milik asing,” katanya. 

Gelar pahlawan hanya untuk rekonsiliasi  Presiden Soeharto dalam kunjungannya ke Paris pada 13 November 1972. Foto oleh AFP

Sementara itu, Letnan Jenderal (Purn) TNI Agus Widjojo memiliki pendapat berbeda dengan Ariel dan Soe Tjen.

Agus, yang merupakan Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional 1965 yang juga putra pahlawan Revolusi Jenderal Sutoyo tersebut, melihat penyematan gelar Soeharto penting dari sudut pandang rekonsiliasi. 

Ia mengakui bahwa Soeharto memang tidak sempurna, sama seperti tokoh yang lainnya. “Memang kita tidak bisa memuaskan semua orang,” kata Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) itu.

Tapi penyematan gelar pahlawan nasional pada Soeharto ini merupakan win-win solution untuk menjembatani pendukung dan mereka yang berseberangan dengan Orde Baru selama ini. 

Mereka kemudian terdikotomi menjadi pendukung Soekarno dan Soeharto. 

Menurutnya, baik Soekarno maupun Soeharto pernah sama-sama membuat keputusan yang merugikan rakyatnya. Tapi keduanya merupakan simbol, satu untuk kemajuan di bidang politik dan satunya lagi di bidang ekonomi. 

Agus berdalih, nama Soekarno perlu direhabilitasi atau dikembalikan nama baiknya. Tapi itu tak bisa terwujud jika Soeharto tak diberi gelar pahlawan, karena akan selalu ada gesekan antara kedua kelompok ini. 

Bedanya, kata Agus, gelombang penolakan untuk Soeharto lebih besar karena ia baru 18 tahun yang lalu lengser dari kursi kepresidenan. 

Lalu apakah penyematan gelar ini memungkinan di tengah gelombang penolakan yang besar terhadap Soeharto? 

“Sudahlah, tinggalkan masa lalu. Apa yang merupakan kesalahan Presiden Soekarno dan Soeharto, tinggalkan masa lalu. Jangan punya kebanggaan berlebihan di masa lalu, jangan punya dendam berlebihan juga di masa lalu,” kata Agus. 

Sementara itu, di tengah pro dan kontra ini, pihak keluarga Soeharto gencar mengampanyekan gelar pahlawan untuk Bapak Pembangunan ini. Salah satunya adalah anak Soeharto, Siti “Tutut” Herdiati Rukmana. 

Di laman fan page Facebook ini, ia membuat sebuah polling tentang ayahnya. Setujukah masyarakat jika Soeharto diberi gelar pahlawan nasional?

Lalu, bagaimana dengan Anda? —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!